Hedging Bukan Ketidaktegasan, Rasionalitas Diplomasi Indonesia Dalam Lanskap Geopolitik yang Terbelah

Politik34 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dalam beberapa tahun terakhir, pembicaraan tentang diplomasi Indonesia selalu ramai ketika menyentuh isu rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok. Sebagian orang merasa Indonesia terlalu “main aman”, terkesan hati-hati, bahkan dianggap tidak berani mengambil posisi.

Setiap kali Indonesia tidak mengeluarkan pernyataan keras ke salah satu pihak, langsung ada komentar bahwa diplomasi kita lembek. Padahal kalau kita menggunakan teori dan cara pikir Colin S Gray, salah satu tokoh besar dalam studi strategi modern, justru pilihan Indonesia itu sangat masuk akal.

Strategi, menurut Gray, bukan cuma soal memilih siapa kawan dan siapa lawan, tetapi kemampuan membaca lingkungan, memahami geografi, menilai kekuatan, dan yang paling penting bersikap fleksibel sesuai perubahan situasi.

Gray selalu bilang bahwa strategi yang baik itu seperti seni mengatur risiko bukan soal berani atau pengecut, tapi soal bagaimana menjaga agar negara tidak kehilangan ruang gerak. Ada pribahasa yang mengatakan “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”, begitupun sikap Indonesia yang memilih hedging terlihat jauh lebih rasional daripada terlihat ragu-ragu.

Kalau ditanya kenapa Indonesia memilih strategi hedging, jawabannya sederhana keadaan global memang memaksa Indonesia untuk berhitung cermat. Amerika Serikat jelas penting bagi keamanan kawasan, kerja sama militer, dan akses teknologi tinggi.

Tapi pada saat yang sama, Tiongkok juga punya peran sangat besar dalam ekonomi nasional kita. Mereka adalah mitra dagang terbesar, investor infrastruktur terbesar, dan punya pengaruh ekonomi yang makin sulit diabaikan.

Dalam situasi seperti ini, sangat berisiko kalau Indonesia tiba-tiba memutuskan memihak satu kubu. Dampaknya tidak main-main baik terhadap investasi, perdagangan, keamanan, sampai posisi Indonesia di kawasan.

Maka dari itu, hedging menjadi cara terbaik agar Indonesia tetap bisa menjaga hubungan baik dengan dua kekuatan besar ini tanpa harus terjebak pada salah satu.

Menurut Gray, strategi yang efektif justru bukan yang memaksa diri masuk ke satu kotak, melainkan yang menjaga pilihan tetap terbuka. Dunia terlalu cepat berubah untuk membuat keputusan-keputusan yang sifatnya final dan tidak bisa ditarik kembali.

Kalau kita lihat langkah-langkah diplomasi Indonesia, sebenarnya sangat terlihat bagaimana hedging itu bekerja. Di satu sisi, Indonesia rutin mengadakan latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, mengirim perwira untuk pelatihan strategis, dan bekerja sama dalam isu-isu maritim.

Tapi di sisi lain, proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat, pengembangan kawasan industri, dan smelter nikel banyak dibiayai oleh Tiongkok. Banyak orang memakai ini sebagai bukti bahwa Indonesia tidak konsisten. Padahal justru inilah bentuk konsistensi Indonesia konsisten menjaga fleksibilitas.

Gray sering mengingatkan bahwa geografi dan kepentingan nasional harus menjadi kompas utama. Indonesia yang berada di posisi strategis dalam jalur perdagangan global butuh stabilitas, bukan ketegangan tambahan. Maka wajar saja jika diplomasi Indonesia tidak mengikuti logika “kubu-kubuan”, karena itu akan sangat merugikan diri sendiri.

Bahkan dalam isu-isu sensitif seperti Laut Cina Selatan, strategi ini terasa jelas. Indonesia menerima investasi besar dari Tiongkok, iya. Tapi ketika klaim nine-dash line mengganggu wilayah laut kita, Indonesia tetap tegas menolak, mengirim kapal, dan menguatkan posisi berdasarkan hukum internasional.

Hal seperti ini sering dianggap kontradiktif oleh pengamat awam. Tapi lagi-lagi, kalau pakai logika Gray, inilah strategi menerima keuntungan dari kerja sama, tapi tetap menetapkan batas ketika kepentingan nasional terancam.

Tidak fanatik ke satu hubungan, tetapi juga tidak alergi pada kerja sama. Bahkan kalau kita lihat bagaimana Indonesia menanggapi tekanan Amerika Serikat dalam isu-isu seperti Indo-Pacific Strategy, Indonesia justru memilih menggunakan bahasa diplomatik yang halus namun menjaga kemandirian. Tidak ikut- ikutan memperkeras sikap terhadap Tiongkok, tapi juga tidak menolak sepenuhnya kerja sama keamanan.

Salah satu poin yang sering ditegaskan Colin S Gray adalah bahwa strategi itu harus selalu realistis terhadap kemampuan nasional. Indonesia memang sedang meningkatkan kemampuan pertahanan, tapi belum sampai pada level yang memungkinkan gaya diplomasi agresif.

Kita masih membutuhkan kerja sama luar negeri, akses teknologi, investasi, dan stabilitas regional untuk mendukung pembangunan nasional. Dalam kondisi seperti ini, memilih strategi konfrontatif hanya akan membuka risiko lebih banyak. Karena itulah Indonesia mengembangkan industri pertahanan secara bertahap, membeli alutsista dari berbagai negara, dan sibuk memperkuat diplomasi maritim, semua ini dilakukan sambil tetap menjaga hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan besar, pendekatan seperti ini mungkin tidak terlihat dramatis, tapi secara strategis sangat matang.

Yang juga sering luput adalah bagaimana hedging sebenarnya memberikan keuntungan strategis. Dengan tidak memihak, Indonesia punya ruang negosiasi yang besar. Kedua pihak baik AS maupun Tiongkok selalu berusaha menjaga hubungan dengan Indonesia. Inilah yang oleh Gray disebut sebagai strategic leverage.

Negara yang tidak sepenuhnya terikat pada satu kubu punya daya tawar yang lebih tinggi. Ketika ada tawaran kerja sama, investasi, atau proyek militer, Indonesia bisa memilih berdasarkan yang paling menguntungkan, bukan berdasarkan kewajiban politik atau aliansi.

Bahkan di ASEAN, posisi Indonesia sering jadi penyeimbang karena tidak terbawa arus pemihakkan. Kalau Indonesia tiba-tiba memilih satu kubu, ASEAN bisa kehilangan titik tengahnya, dan itu akan mengurangi pengaruh Indonesia sendiri di kawasan.

Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa sikap ini membuat Indonesia “abu-abu”. Tapi sebenarnya, hedging bukanlah zona abu-abu tanpa arah hedging adalah strategi yang jelas menjaga kedaulatan, mengurangi risiko, memaksimalkan peluang, dan memastikan kepentingan jangka panjang tetap aman.

Dunia hari ini bukan dunia Perang Dingin yang memaksa negara untuk hanya punya dua pilihan. Hubungan antarnegara sekarang lebih kompleks, saling terkait, dan sering kontradiktif. Karena itulah diperlukan pendekatan yang tidak kaku. Lagi pula, kalau kita lihat sejarah politik luar negeri Indonesia sejak era awal kemerdekaan, prinsip bebas-aktif memang selalu menjadi fondasi. Hedging hanyalah bentuk kontemporer dari prinsip itu bebas menentukan sikap, aktif menjalin hubungan dengan semua pihak.

Pada akhirnya, kalau kita melihat diplomasi Indonesia melalui teori Colin S Gray, “ketidaktegasan” itu sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah kalkulasi. Hedging itu semacam seni menjaga keseimbangan tidak mudah tergoda janji kekuatan besar, tidak panik menghadapi tekanan, tetapi juga tidak menutup pintu pada peluang.

Diplomasi Indonesia mungkin tidak selalu keras suara, tetapi justru itulah yang membuatnya efektif ia stabil, berhati-hati, dan tidak terjebak dalam permainan geopolitik yang dibuat oleh negara-negara besar. Dalam dunia yang semakin terbelah, strategi paling waras bukanlah memilih sisi, melainkan memastikan negara tetap bisa bergerak bebas, dan sejauh ini itu yang Indonesia lakukan. (Ilavi Hayatinufus Zahra)

Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *