HAM dan Media Sosial: Peluang Baru dan Tantangan Baru di Era Digital

Hukum152 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Di zaman modern ini kita pasti mengenal apa yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia.

Hak-hak ini bersumber pada moral dan pemikiran manusia untuk menjaga setiap harkat dan martabat setiap individu terjaga dan mendapatkan kehidupan yang setara dengan manusia lain. Jadi dapat diartikan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia yang bersumber dari moral dan pemikiran manhsia untuk menjaga setiap harkat dan martabat setiap individu dan menjadikannya setiap manusia setara.

Media sosial adalah suatu media secara daring sebagai tempat orang-orang melakukan aktivitas sosial bagi penggunanya. Di zaman sekarang kita dapat dengan mudah untuk terhubung dengan orang lain melalui gambar, tulisan, suara meskipun tidak bertemu secara langsung. Media sosial sering dipakai untuk berbagi pendapat, momen, kesenangan, maupun sebuah berita terhadap khalayak yang kita kehendaki. Contoh media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan masih banyak media sosial lainnya menjadi sebuah kebutuhan manusia zaman modern untuk berkomunikasi. Meskipun bersosialisasi secara offline tidak hilang namun penggunaan media sosial sebagai media bersosialisasi secara online menjadi pelengkap dalam bersosialisasi karena sifatnya yang fleksibel, mudah digunakan, dan bahkan dapat menjangkau orang yang belum pernah bertatap muka secara langsung.

Semua orang di era ini jamak sekali menggunakan Media Sosial. Arus informasi yang cepat bertebaran di media sosial dapat mempengaruhi opini kita terhadap suatu objek. Hal tersebut menjadi tantangan dan peluang tersendiri untuk menyuarakan Hak Asasi Manusia terhadap khalayak umum di media sosial. Media sosial mempunyai dampak yang besar bagaimana seseorang menyatakan, mencari, dan menemukan informasi. Seseorang bisa saja menjadi subjek diskriminasi melalui media sosial. Meskipun begitu, sebuah platform media sosial tidak terikat terhadap Hak Asasi Manusia  kecuali hal tersebut dibuat sebuah peraturan perundang-undangan di sebuah negara. Platform sosial media sendiri dihadapkan pada bagaimana kebebasan berekspresi dan Menegakkan batas kebebasan berekspresi. Sebagai contoh Facebook dalam standar komunitasnya bertujuan untuk menciptakan tempat bagi ekspresi dan memberi orang suara. Namun, di samping itu juga membatasi konten kekerasan atau ujaran tidak manusiawi, pernyataan inferioritas, hinaan, dan ajakan untuk pengucilan. Kasus yang menyita perhatian publik adalah penganiayaan Cristalino David Ozora oleh Mario Dandy Satrio yang videonya sempat tersebar di media sosial. Hal tersebut mengundang atensi masyarakat luas mendesak pelaku untuk dihukum seadil-adilnya. Namun begitu ajakan untuk mengucilkan kelompok tertentu masihkah terjadi yang kontra akan perjuangan HAM.

Media sosial dapat digunakan sebagai alat untuk menyuarakan hak asasi manusia, mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, dan memobilisasi masyarakat dalam perjuangan hak asasi manusia. Di Indonesia konten media sosial tentang HAM banyak berkenaan dengan kecelakaan HAM di Indonesia yang belum terselesaikan seperti kasus Munir. Hal ini untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat, dan agar kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyebaran nilai-nilai kemanusiaan dapat melalui kampanye media sosial yang meningkatkan kesadaran tentang isu-isu hak asasi manusia dan mengajak masyarakat untuk bertindak. Orang-orang juga dapat bergabung dengan komunitas online tentang hak asasi manusia yang di dalamnya ada orang yang memiliki minat yang sama untuk membicarakan terkait dengan hak asasi manusia. Seorang influencer juga bisa menjadi menyebarkan nilai hak asasi manusia terhadap pengikutnya. Media sosial juga dapat dipakai untuk mengajak dalam kegiatan perjuangan HAM. Yang terakhir penyebaran juga dapat dilakukan dengan membagikan konten edukatif mengenai HAM. Dengan penggunaan media sosial penyuaraan isu hak asasi manusia dapat berjalan efektif dan menjangkau banyak orang yang dapat membawa perubahan sosial yang positif.

Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan konten kebencian, memperkuat stereotip, dan memicu tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Hal ini terkait mengenai kebebasan dalam penggunaan media sosial yang membuat setiap orang dapat mengunggah konten apa saja. Konten ataupun komentar terhadap suatu etnis atau agama seperti ‘cina pelit’ dan ‘kafir’ dapat menimbulkan kebencian yang selanjutnya perlakuan diskriminasi dilakukan terhadap minoritas seperti pelarangan tempat ibadah. Integrasi antar agama, etnis, dan ras semakin sulit untuk diwujudkan karena kesenjangan hubungan dibatasi oleh kebencian dan stereotip buruk yang terus disebar dan diperkuat di media sosial.

Media sosial bukanlah masalah utama, tetapi bagaimana kita sebagai individu menggunakan platform tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dampak konten yang kita bagikan dan mempromosikan nilai-nilai inklusivitas, toleransi, dan menghormati hak asasi manusia di media sosial. Media sosial dapat menebarkan nilai-nilai kemanusiaan, dan menyuarakan hak manusia. Namun, juga dapat dipakai untuk menyebarkan kebencian dan diskriminasi terhadap mereka minoritas. Sekali lagi media sosial hanyalah alat seperti pisau bermata dua, kita sebagai penggunalah yang harusnya bijak dalam penggunaannya. Pejuang hak asasi manusia dapat menggunakan media sosial sebagai media penyebaran nilai-nilai kemanusiaan, isu-isu HAM untuk mendapatkan dukungan masyarakat secara luas agar tujuannya dapat tercapai. Begitu pun menjadi tantangan pejuang hak asasi manusia menghadapi mereka yang kontraproduktif dengan apa yang mereka perjuangkan. (Maulana Azi Nazib)

Maulana Azi Nazib adalah mahasiswa semester 6 dari Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed