RADAR TASIKMALAYA – Wacana publik belakangan ini riuh membicarakan pengusungan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai cawapres untuk Prabowo Subianto. Gibran melaju setelah Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya mengabulkan gugatan syarat batas usia capres dan cawapres melalui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia capres dan cawapres.
Beberapa waktu sebelum MK “meloloskan” Gibran menjadi bakal cawapres Prabowo, Golkar telah mendahului pengusungannya dalam Rapimnas II Golkar. Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Golkar menyebut nama Sutan Sjahrir ketika mengusulkan Gibran menjadi bacawapres Prabowo. Gibran sendiri baru saja menginjak usia 36 tahun. Usianya sama ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri.
Apabila Sjahrir disebut-sebut pernah menjadi Perdana Menteri pada usia 36 tahun. Terdapat figur lain yang juga menjadi Perdana Menteri pada rentang usia yang nyaris sama. Lantas, siapakah orangnya? Ia adalah Boerhanoeddin Harahap, seorang tokoh Masyumi dari Medan, Sumatra Utara.
Pemuda Kaya Pengalaman
Boerhanoeddin Harahap dilahirkan di sebuah kota kosmopolitan Sumatra Utara yakni Medan pada 12 Februari 1917. Ia merupakan Perdana Menteri Indonesia ke-5 di era Demokrasi Parlementer yang terkenal atas kesuksesannya melaksanakan Pemilu 1955.
Boerhanoeddin dilahirkan dari keluarga yang cukup terpandang. Ia mewarisi nama marga “Harahap” dari orang tuanya. Ayahnya bernama Mohammad Junus, seorang Mantri Kepolisian Sumatra Timur yang sering kali berpindah tugas dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan ibunya bernama Siti Nurfiah. Boerhanoeddin adalah anak kedua dari tujuh orang bersaudara.
Boerhanoeddin memang tidak memperoleh pendidikan Islam secara formal. Ia menamatkan seluruh jenjang studinya di sekolah-sekolah Belanda. Meski begitu, pria yang dilahirkan di Medan ini belajar memperdalam Islam dengan mengikuti Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada awalnya, perjalanan studi Boerhanoeddin berlangsung dengan mulus sekali pun ia sangat aktif berorganisasi. Ia tergolong murid bumiputra yang cerdas. Oleh karenanya, Boerhanoeddin berkesempatan melanjutkan jenjang studinya ke Algemene Middelbare School (AMS) dan Rechts Hoge School (RHS), dua jenjang sekolah elite di Pulau Jawa. Di tanah perantauan inilah, pengalaman organisasi Boerhanoeddin semakin mantap. Sewaktu di RHS ia bergabung dengan Studenten Islamische Studieclub (SIS). Di SIS, ia didapuk menjadi sekretaris mendampingi Prawoto Mangkusasmito sebagai ketuanya.
Sebagai pemuda yang haus pengalaman, Boerhanoeddin melakoni kiprah aktivisnya dengan menjadi anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Saat itu, ia menjadi perwakilan dari SIS. Selama menjadi anggota PPPI, nalar kritis dan cakrawala pemikiran Boerhanoeddin makin terbuka. Melalui organisasi ini, jangkauan relasinya semakin meluas. Ia mulai menambah jejaring pertemanan dengan tokoh-tokoh muda lintas organisasi.
Boerhanoeddin, pemuda yang baru berusia 25 tahun mulai dikenal Dwi-Tunggal Indonesia ketika berdiri menyampaikan sambutan dalam acara malam perjumpaan Bung Karno dan Bung Hatta yang telah kembali dari pengasingan di Gedung Deutsches Haus, Jakarta pada 1942. Ketika itu, ia secara mendadak ditunjuk Soepeno, pimpinan PPPI untuk berbicara atas nama mahasiswa.
Badruzzaman Busyairi dalam buku Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi (1989) dikisahkan, mengenang kejadia itu, Boerhanddin mengaku dirinya agak gugup. “Jadi seingat saya dalam kata sambutan yang singkat itu, saya mengatakan antara lain dan kurang lebih sebagai berikut: Dengan adanya kedua pemimpin nasional ini kembali di tengah-tengah kita, semoga kita tahu ke arah mana mereka membawa kita.”, tuturnya.
Kader Muda Masyumi dan GPII
Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 menetapkan salah satu resolusi yang isinya menjadikan Masyumi sebagai badan perjuangan (baca: partai politik) tunggal umat Islam di Indonesia. Mendengar kabar itu, hati Boerhanoeddin segera terpanggil untuk memenuhi panggilan perjuangan Islam dan negara tercinta.
Sebagai pemuda Islam yang kaya pengalaman, Boerhanoeddin berkhidmat pada dua badan sekaligus yakni Masyumi dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Tanpa menunggu waktu lama, Boerhanoeddin diminta oleh dr. Soekiman Wirjosandjojo, selaku Ketua Pengurus Besar Masyumi untuk menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), mewakili partai tersebut. BP KNIP adalah cikal bakal dari DPR Indonesia hari ini.
Soekiman percaya bahwa pemuda dari Sumatra Utara ini sangat potensial dan akan mampu diandalkan. Oleh karenanya, ia menghadirkan Boerhanoeddin dalam rapat Pengurus Besar Masyumi. Para peserta rapat lalu menyepakati permintaan Soekiman. Dengan demikian, Boerhanoeddin resmi menjadi anggota BP KNIP mewakili Masyumi, padahal ketika itu usianya baru 29 tahun, umur yang terbilang sangat muda dibanding anggota BP KNIP lainnya.
Masa kerja Boerhanoeddin di BP-KNIP kurang begitu efektif. Pasalnya, pada awal tahun 1946, ibukota Indonesia dipindahkan dari Jakarta menuju Yogyakarta. Keadaan mencekam ketika Belanda melancarkan agresi ke sejumlah wilayah dan berhasil menguasai Yogyakarta. Oleh sebab itu, Boerhanoeddin terpaksa harus terjun bergerilya ke pelosok Yogyakarta untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia kembali bertugas mewakili Masyumi di DPR setelah Indonesia dan Belanda sepakat untuk berdamai pada 1949.
Menjadi Perdana Menteri
Pada awal kemerdekaan, kepala pemerintahan Indonesia kerap silih berganti. Meskipun, Bung Karno dan Bung Hatta adalah Presiden juga Wakil Presiden, namun urusan pemerintahan sesungguhnya dipimpin oleh Perdana Menteri dari partai tertentu. Jika seorang Perdana Menteri diganti, maka otomatis para menteri berikut dengan kebijakannya turut berganti.
Masyumi merupakan salah satu partai terkuat pada 1950-an. Beberapa kader partai ini pernah dipercaya menjadi Perdana Menteri. Kader-kader Masyumi yang tercatat pernah menjadi Perdana Menteri yaitu Natsir (1950-1951), Soekiman (1951-1952), dan Boerhanoeddin (1955-1956).
Boerhanoeddin tidak pernah sekali pun berambisi untuk menduduki jabatan Perdana Menteri. Ia menyadari, masih banyak tokoh-tokoh senior yang lebih layak menduduki posisi tersebut. Namun, setelah Kabinet Wilopo (1952-1953) jatuh dan usianya baru saja mencapai 36 tahun, para pimpinan Masyumi memintanya menjadi formatur kabinet.
Mendengar hal demikian, Boerhanoeddin terkejut karena ia masih sangat muda. Ia juga mengaku belum berpengalaman. Oleh karena pimpinan Masyumi telah bersepakat menunjuknya, maka Boerhanoeddin berusaha melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sayangnya, saat itu, ia gagal membentuk kabinet karena formatur kabinet dari PNI yaitu Sukri Hadikusumo nampak sengaja mempermainkannya.
Kesempatan menjadi formatur kabinet dating untuk kedua kalinya kepada Boerhanoeddin. Ketika itu, Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) telah resmi mundur. Berbeda dengan sebelumnya, ia ditunjuk langsung oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta supaya menjadi formatur kabinet. Seperti biasa, Boerhanoeddin menolaknya dengan halus. Ia mengusulkan kepada Bung Hatta supaya menawarkannya dahulu kepada Soekiman. Namun, orang yang dimaksud gagal membentuk kabinet.
Melihat situasi seperti itu, Boerhanoeddin dengan tenang menyanggupi permintaan Bung Hatta. Ia mulai bekerja menjadi formatur kabinet untuk kedua kalinya pada 3 Agustus 1955. Bercermin dari pengalaman sebelumnya, Boerhanoeddin telah menyiapkan rencana lain jika PNI tidak bersedia berkoalisi dengan Masyumi.
Prediksi Boerhanoeddin terbukti tidak meleset. PNI enggan berkoalisi dengan Masyumi. Sebagai gantinya, ia mencari kekuatan koalisi dari partai-partai lain yang sepadan seperti NU, PSII, serta partai-partai kecil lainnya kecuali PKI.
Boerhanoeddin dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ia mempelajari secara teliti masing-masing orang yang diusulkan oleh para pimpinan partai agar dapat menjalankan tugas sesuai keahliannya. Boerhanoeddin menyerahkan draf format kabinet kepada Bung Hatta. Setelah itu, proses pelantikan digelar pada 12 Agustus 1955 di Istana Merdeka dihadiri pula oleh Presiden Sukarno.
Kabinet yang dipimpin oleh Boerhanoeddin ini bertahan selama 7 bulan. Meski tidak lama, kabinet ini mampu memperbaiki kewibawaan pemerintah di mata rakyat. Penekanan inflasi, pemberantasan korupsi, pelaksanaan Pemilu 1955 dan penyelesaian konflik di tubuh TNI AD menjadi program monumental yang berhasil ditorehkannya
Boerhanoeddin Harahap menjadi kepala pemerintahan (baca: Perdana Menteri) ketika usianya 38 tahun. Usia yang terbilang muda untuk memimpin sebuah negara modern. Kendati demikian, pria yang berasal dari Medan ini sama sekali tidak mengakali konstitusi apalagi memanfaatkan hak istimewa dari ayah maupun paman untuk mencapai posisi tersebut. Boerhanoeddin adalah pendekar demokrasi sejati. (Naufal Al-Zahra)
Penulis adalah Mahasiswa Bidang Studi Sejarah PPG Prajabatan Unsil 2023