Fenomena Glorifikasi Akun Kampus Cantik/Ganteng

Sosial15 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Baru-baru ini muncul fenomena menandai mahasiswa/i dengan ungkapan cantik/ganteng. Beberapa memberikan pelabelan dengan sebutan cantik/ganteng kemudian memberi rating dengan mengelompokkan dan mengekspos di khalayak umum dalam bentuk akun media sosial.

Hal tersebut memberikan kesan berlebihan terhadap objek dan menstandarisasi lingkungan dengan standar berdasarkan penampilannya. Dalam KBBI, cantik memiliki arti 1elok, molek (tentang wajah, muka perempuan; 2indah dalam bentuk dan buatannya. Sedangkan ganteng memiliki arti 1elok dan gagah (tentang perawakan dan wajak, khusus untuk laki-laki); 2tampan.

Unggahan di media sosial disertai identitas mahasiswa/i dapat membahayakan individu yang bersangkutan. Bisa jadi awalnya muncul perasaan bangga dan mendapat validasi penampilan individu tersebut, tetapi hal tersebut dapat membahayakan dan mengganggu privasi.

Akun-akun yang diberi imbuhan cantik/ganteng/fineshyt bertujuan untuk menunjukkan bahwa perguruan tinggi tersebut memiliki banyak mahasiswa/i yang memiliki paras cantik/ganteng. Pelabelan cantik/ganteng menekan argumen mengenai kekerasan seksual di ruang publik. Hal tersebut memberikan ruang kekerasan kultural di lingkungan kampus dan bertentangan dengan peran kampus untuk memberikan ruang yang aman, nyaman, dan terbebas dari kekerasan seksual.

Kekerasan kultural berdasarkan teori sosiolog Johan Galtung (1990) merupakan salah satu kekerasan di dalam segitiga kekerasan (triangle violence). Teori tersebut memetakan kekerasan ke dalam tiga bagian yaitu kekerasan langsung (direct violence), kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan kultural (cultural violence).

Kekerasan langsung acapkali terjadi diakibatkan karena kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Dimana kekerasan struktural merupakan kekerasan yang disebabkan oleh sistem/struktur sosial yang distriminatif. Dan kekerasan kultural menjadikan berbagai aspek kultural untuk melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural.

Untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural penting untuk direduksi sehingga proses pencegahan kekerasan langsung bisa dilakukan dengan maksimal.

Akun-akun kampus cantik/ganteng/fineshyt memberikan kesan patriarki dan membuat mereka tercerabut dari peran sosial  dan seksualnya. Mahasiswa/i dipajang layaknya katalog untuk laki-laki dan menjadikan mereka korban objektifikasi. Objektifikasi mahasiswa/i dalam dunia pendidikan berdampak terhadap posisi mereka dalam dunia akademik.

Hakikat mahasiswa/i sebagai civitas akademik mengalami degradasi yang rentan terhadap kekerasan seksual. Kemudian, fenomena tersebut juga tidak hanya berakhir pada komentar seksis tetapi juga dapat mengakibatkan pelecehan dan menjadi korban KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) bahkan sampai di dunia nyata.

Objektifikasi tersebut sangatlah merusak semua tatanan pendidikan. Hal tersebut terjadi akibat dari internalisasi nilai-nilai partiarki yang mengubah cara pandang mahasiswa terhadap dirinya sendiri (self-objectification). Sehingga mahasiswa menstandarisasi dirinya berdasarkan standar-standar yang dilakukan akun-akun tersebut.

Penentuan mahasiswa/i yang cantik dan ganteng juga menunjukkan bias laki-laki dan mengacu pada kecantikan yang toksik. Tak ayal, standar kecantikan yang dijadikan sebagai penentuan mahasiswa/i yang diunggah di media sosial adalah berdasarkan ciri-ciri warna kulit (biasanya berkulit cerah), hidung mancung, serta langsing. Lensa bias bernama male gaze direpresentasikan dalam preferensi dan hasrat laki-laki yang melanggengkan budaya patriarki di kampus.

Fenomena bagaimana menstandarisasi kecantikan melalui akun-akun berimbuhan cantik/ganteng/fineshyt merupakan bagian dari kekerasan kultural yang jika dibiarkan akan mengundang terjadinya kekerasan secara langsung. Glorifikasi berupa penyanjungan berlebihan terhadap penampilan dengan narasi-narasi yang merujuk pada kondisi fisik seseorang menggerus parameter utama pendidikan yaitu nilai akademik dan prestasi.

Beauty fetish hingga user-generated content menjadi tujuan media informasi akun kampus yang bermunculan. Penambahan narasi seperti “Mahasiswa teknik tetapi looks aktor korea” atau “dosen ganteng yang bikin gak mau bolos kuliah” menjadi beauty fetish yang membuat kampus bukan lagi ruang ilmu tetapi menjadikannya runway melalui pencarian “maba cantik/ganteng” bukan “maba berprestasi”. Akibatnya terjadi brain drain terselubung yang membuat mahasiswa/i yang fokus belajar malah dianggap “cupu”.

Glorifikasi akun kampus cantik/ganteng/fineshyt adalah cermin bahwa lingkungan masih terjebak standar kecantikan kolot -hanya berpindah media saja. Padahal kampus seharusnya menjadi wadah bagi ide-ide besar, bukan feed wajah-wajah terfilter. Unggahan tersebut meresahkan dan bisa mencemari dunia akademik yang mendegradasi standar pendidikan.

Hingga saat ini, belum ada kampus yang memberikan sikap penolakan terhadap keberadaan akun kampus cantik/ganteng/fineshyt. Padahal akun-akun tersebut seringkali menggunakan logo kampus beserta informasi fakultas dan jurusannya. Hal tersebut menandakan proses legitimasi untuk pendegradasian harkat dan martabat mahasiswa/i kampus masih berjalan dan terjadi di ruang digital.

Keberadaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) memiliki peran untuk memutus rantai objektifikasi sebelum menjadi trauma. Glorifikasi akun kampus cantik/ganteng/fineshyt bukan sekadar masalah “konten ringan” tetapi menjadi ujung tombak budaya yang mengukur nilai seseorang dari wajah bukan dari kontribusi atau karakternya.

Karena itu, glorifikasi wajah tanpa izin dipandang sebagai pelanggaran serius yang tidak ditoleransi oleh PPKPT. Langkah tegas ini bertujuan untuk mewujudkan kampus yang aman dan inklusif bagi seluruh civitas akademika. (Irani Hoeronis)

Penulis merupakan dosen Informatika Fakultas Teknik Universitas Siliwangi, Ketua Satgas PPKPT Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *