RADAR TASIKMALAYA – Dark pedagogy merupakan pendekatan dalam dunia pendidikan yang menantang pemahaman linier dan gamblang dengan mengajak peserta didik menghadapi ketidakpastian, kompleksitas, dan aspek-aspek gelap dari berbagai isu global, seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Pendekatan ini menekankan pentingnya refleksi mendalam dan keberanian untuk berada dalam zona ambiguitas dan ketidaknyamanan, dengan tujuan membangun pemahaman yang lebih tangguh, mengembangkan kesadaran kritis, serta mendorong tindakan transformatif yang lebih bermakna dalam menghadapi tantangan pelik yang tidak dapat sepenuhnya diatasi melalui solusi sederhana atau logika tradisional.
Eksplorasi filsafat kritis ini didasarkan pada buku “Dark Pedagogy: Education, Horror and the Anthropocene” tahun 2019 karya Jonas Andreasen Lysgaard, Stefan Bengtsson, dan Martin Hauberg-Lund Laugesen, para penulis mengacu pada karya penulis horor klasik HP Lovecraft serta menghubungkannya dari pandangan realisme spekulatif, isu pedagogis dan pendidikan.
Mereka mengaitkan berbagai kisah mengerikan atau kisah horor karya Lovecraft dengan berbagai isu lingkungan yang saat ini menghantui dunia. Dalam proses ini, mereka menarik paralel antara cara manusia selalu berhubungan dengan hal-hal mengerikan
yang berada di luar pemahaman kita dan bagaimana pendidikan dapat merespons era “krisis global” di zaman Antroposen saat ini.
Berkaitan dengan hal tersebut, Lysgaard tahun 2022 juga menuliskan dalam book chapter dengan judul “Action Incontinence: Action and Competence in Dark Pedagogy” yang membahas dark pedagogy dengan berbagai isu kompleks tentang lingkungan.
Berdasarkan artikel tersebut dark pedagogy menawarkan ruang dalam pertemuan antara “dunia-untuk-kita” dan “dunia-tanpa-kita,” untuk menghadapi ketegangan eksistensial ini melalui refleksi kritis dan mendalam. Selain itu pendekatan ini didasarkan atas pentingnya tindakan yang didasari pemahaman (informed action) serta peran kehendak bebas (free will) peserta didik atau mahasiswa dalam proses pembelajaran
Landasan filosofis dari dark pedagogy berawal dari pemikiran yang terkait dengan filsafat eksistensialisme dan filsafat kritis. Pada eksistensialisme manusia seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche (1883 dan 1885) dan Jean-Paul Sartre (dalam Being and Nothingness, 1943) menekankan pentingnya menghadapi kegelapan sebagai bagian dari prosedur dalam mencari makna mendalam dalam konteks pendidikan.
Hal tersebut berarti bahwa pengalaman sulit (tidak menyenangkan) atau bahkan traumatis dapat menjadi pemicu bagi perkembangan identitas dan pemahaman yang lebih mendalam. Filsafat kritis yang diusung oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer (dalam Dialectic of Enlightenment, 1947) menyoroti pentingnya merenungkan sisi gelap peradaban dan sejarah untuk mencegah pengulangan tragedi yang buruk di masa depan.
Dark pedagogy menawarkan pendekatan yang relevan dengan tantangan unik pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, mahasiswa dapat diajak untuk menghadapi realitas kompleks yang sebagian besar merupakan “konsep gelap”, misalnya, isu perusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, dan kekerasan sistemik.
Pendekatan dark pedagogy ini sebenarnya merupakan ajakan kepada para pengajar untuk menjadikan topik-topik yang sulit sebagai alat konstruktivis bagi terciptanya pemahaman yang kritis. Proses pembelajaran juga menggunakan ketidaknyamanan intelektual untuk mendukung transformasi pribadi mahasiswa, mengajak mereka keluar dari zona nyaman untuk merefleksikan isu-isu yang menentang nilai dan keyakinan mereka.
Dark pedagogy berfungsi sebagai alat dekonstruksi terhadap narasi dominan yang sering kali menyederhanakan realitas. Misalnya, dalam konteks sejarah, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk melihat dari sudut pandang pihak “agresor” tetapi juga dari sudut pandang korban, sehingga membuka pandangan yang lebih mendalam mengenai suatu peristiwa yang telah terjadi.
Di tingkat nasional, pendekatan ini dapat digunakan untuk membahas beberapa topik sejarah seperti kolonialisme atau konflik masyarakat, sehingga memastikan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang identitas kolektif bangsa mereka agar kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan seperti itu tidak terulang kembali.
Untuk pembelajaran multitransdisiplin seperti biologi konservasi yang dapat berkaitan dengan biologi, ekonomi dan politik, fenomena seperti konflik sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan konflik sosial. Misalnya eksploitasi terhadap SDA (tambang, hutan dsb), serta keterkaitannya untuk memahami dampak destruktif dari kebijakan politik dan ekonomi global yang tidak adil. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi mahasiswa dalam pembelajaran untuk dapat merancang solusi berbasis keadilan dan perdamaian.
Selain itu, dalam konteks meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental saat ini, dark pedagogy juga dapat berpotensi membantu mahasiswa untuk memberdayakan ketahanan emosional. Dengan mendiskusikan topik-topik gelap secara terbuka, pendidikan dapat menjadi ruang yang membantu mahasiswa dalam mengelola emosi negatif, mempersiapkan diri, dan mengembangkan alat untuk menghadapi ketidakpastian masa depan.
Mahasiswa Indonesia pada berbagai perguruan tinggi skala nasional yang umumnya memiliki latar belakang budaya dan sosial yang beragam, dengan menggunakan dark pedagogy, dapat mendorong dialog antar budaya dan latar belakang. Pendekatan ini juga mendorong mahasiswa untuk menghargai berbagai perspektif yang berbeda, membangun solidaritas dalam keberagaman, dan menciptakan rasa kebersamaan dalam keragaman lokal, nasional dan global.
Meskipun pendekatan dark pedagogy ini menawarkan potensi besar untuk pembelajaran transformatif di perguruan tinggi, pendekatan ini masih kontroversial dan menghadirkan tantangan etika yang signifikan serta membutuhkan banyak pertimbangan.
Pertama, ada risiko terjadinya retraumatisasi, terutama bagi mahasiswa yang memiliki pengalaman pribadi terkait topik yang sedang dibahas. Oleh karena itu, dosen harus lebih berhati-hati dalam merancang pembelajaran yang tidak memperburuk luka emosional yang mungkin pernah dialami oleh mahasiswa.
Selain itu, bagian kedua yang cukup penting dalam dark pedagogy yaitu keseimbangan yang cermat antara eksplorasi tema gelap yang sedang dibahas dan penyediaan ruang untuk refleksi dan pemulihan bagi mahasiswa. Tanpa adanya komponen reflektif yang memadai, pengalaman gelap bahkan mungkin memainkan peran negatif (destruktif) daripada positif (konstruktif) bagi siswa.
Pada intinya dark pedagogy memiliki kekuatan dalam memberikan pembelajaran yang mendalam mengenai isu-isu global yang relevan, seperti perubahan iklim dan ketidakadilan sosial, serta mendorong empati, kreativitas dan refleksi kritis. Namun, pendekatan ini juga memiliki kelemahan, seperti risiko emosional berlebihan, kesulitan dalam pengelolaan topik sensitif, dan potensi penyalahgunaan.
Di sisi lain, terdapat peluang untuk mengintegrasikan dark pedagogy dalam pendidikan berbasis nilai, kolaborasi antar disiplin, dan pemanfaatan teknologi digital, yang dapat meningkatkan kesadaran global. Namun, terdapat ancaman berupa resistensi dari orang tua atau institusi, stigma, serta potensi dampak psikologis pada mahasiswa jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Di era global yang penuh dengan tantangan besar, dark pedagogy menawarkan solusi alternatif untuk mempersiapkan mahasiswa agar menjadi lebih baik dan bijak secara intelektual, emosional, dan juga secara etis. Melalui hal ini juga mahasiswa diharapkan dapat menjadi lebih reflektif dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia pendekatan ini relevan untuk mengatasi tantangan sosial, budaya, dan lingkungan karena secara bersamaan berpotensi memperkuat pemahaman mahasiswa tentang hubungan kontekstual dan keterkaitan antara isu-isu lokal, nasional, dan global. (Diki Muhamad Chaidir)
Penulis merupakan Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Siliwangi; Mahasiswa Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang