RADAR TASIKMALAYA – Pengaruh kekuasaan di Cianjur secara historis dapat diamati dari keberadaan bangunan-bangunan kuno di sekelilingnya. Salah satu bangunan kuno yang sudah berdiri selama 138 tahun ini adalah Bumi Ageung. Rumah yang berdiri sejak tahun 1886 ini beralamatkan di Jalan Moch Ali, Kelurahan Solokpandan, Kecamatan Cianjur. Pada masa itu Bumi Ageung difungsikan sebagai Pasanggrahan (rumah kediaman) Bupati Cianjur ke-10 yakni RAA Prawiradiredja II.
Secara umum rumah ini mulanya di wariskan sang ayah pada Rd Ajeng Tjitjih Wiarsih sebagai anak dari RAA Prawiradiredja II, yang lantas diwariskan kembali oleh Juang Tjitjih pada anak cucuk keturunannya. Rumah tersebut telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasar pada peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.58/PW.007/MKP/20120 dengan nama “Rumah dr Toki Syamsuddin”.
Namun kini rumah tersebut diubah namanya dengan sebutan Bumi Ageung. Digantinya nama tersebut oleh Aom Pepet bukan tanpa alasan, nama ini diambil dari bahasa Sunda yang berarti ‘rumah besar’. Pemaknaan tersebut diambil dari dua suku kata yakni ‘Bumi’ yang dalam bahasa Sunda berarti ‘rumah’ dan ‘ageung’ berarti ‘keagungan’ atau ‘kejayaan’.
Selain itu penyebutan nama Bumi Ageung sering kali dilengkapi dengan kata Cikidang yang merujuk pada penamaan lama yang sekarang menjadi Jalan Moch Ali. Berdasarkan penuturan yang disampaikan oleh Aom Pepet bahwa toponim nama Cikidang bermula dari kondisi masa lalu Bumi Ageung sebagai rumah satu-satunya di daerah tersebut. Rumah yang dikelilingi oleh perkebunan yang subur dan disertai keberadaan kijang (sebuah satwa liar yang dalam penuturan bahasa Sunda disebut Kidang).
Kesuburan di lahan tersebut turut mengindikasikan keberadaan sumber daya air yang melimpah yang dalam bahasa Sunda disebut cai atau ci, alhasil, apabila kedua penggambaran kondisi tersebut dipadukan maka dihasilkanlah nama Cikidang.
Pasanggrahan Bumi Ageung Cikidang ini menjadi saksi bisu perjuangan aktivis perempuan asal Cianjur yakni, Raden Ajeng Tjitjih Wiarsih atau lebih familiar dengan sebutan Juang Tjitjih. Rumah yang dijadikan sebagai tempat rapat perkumpulan Pasundan Istri dan beberapa organisasi pergerakan lainnya. Oleh karenanya, Bumi Ageung yang menyimpan banyak nilai historis ini dialih fungsikan menjadi suatu pusat informasi kebudayaan yang dapat dirunut dalam lini masa yang panjang.
Sebagai pusat studi informasi kebudayaan, Bumi Ageung membuka akses kunjungan bagi masyarakat luas yang mau berkunjung ke rumah tersebut. Di dalam kegiatan kunjungan para wisatawan akan diberikan edukasi terkait dengan beberapa artefak koleksi di Bumi Ageung selain itu, Aom Pepet juga akan menjelaskan perihal sejarah yang bersangkutan dengan Bumi Ageung secara khusus dan Kabupaten Cianjur secara umum. Pada kunjungan ini saya di dampingi oleh Aom Pepet yang merupakan cucu dari Juang Tjitjih, namun terkadang proses pemanduan juga di dampingi oleh pak Fajar putra Bungsu Aom Toki kakak dari Aom Pepet.
Kunjungan yang saya lakukan pada hari Senin, 22 Juli 2024 ini menunjukkan beberapa klasifikasi koleksi yang dipajangkan. Di ruang tamu utama terpampang foto-foto kondisi Cianjur yang diambil sekitar tahun 1800-an, termasuk yang paling ciamik terdapat beberapa gambar yang menarik perhatian yakni logo Cianjur pada masa Hindia-Belanda, kemudian kantor Bupati (pendopo) yang masih terdapat bendera Belanda di bagian depan, kemudian terdapat foto siswi Sakola Istri yang bertuliskan tahu 1918 atas prakarsa dari R Siti Jenab yang dibantu dan didorong oleh sosok Juang Tjitjih dalam membangun pendidikan di Cianjur.
Kemudian memasuki ruang tengah dari Bumi Agung terdapat beberapa peninggalan milik RAA Prawiradiredja II, seperti almari hadiah dari pangeran Hungarian, kemudian lukisan pensil tentang sosok RAA Prawiradiredja II dari mulai menjabat dan mendapat medali dari beberapa kerajaan serta sebuah koran di masa Hindia-Belanda yang turut ia sokong secara materiil. Selain itu di ruang tengah pun terdapat foto Juang Tjitjih sewaktu muda, bahkan dari foto ini memiliki nilai historis dari sosok Juang Tjitjih yang memiliki banyak sahabat dari berbagai golongan, salah satunya adalah ibu (Ietje) atau RA Goemari Soepitraningrat sosok menak (bangsawan) putri Bupati Galuh RAA Koesoemasoebrata (1886-1914) sebelum priode Ciamis. “Kenangan ini terabadikan dengan baik oleh kedua belah pihak keluarga,” ujar Aom Pepet.
Memasuki ruang keluarga terdapat banyak foto yang mampu menjelaskan silsilah dari keluarga ibu Juang Tjitjih, sedangkan di bilik sebelah kanan terdapat silsilah dari suami Juang Tjitjih yakni pak Jakin, selain itu foto-foto tersebut masih tersimpan dengan baik di museum Bumi Ageung karena setiap gambar ini teringat jelas dalam benak Aom Pepet yang menjelaskan setiap perjalanan dan perjuangan ibu Tjitjih (neneknya).
Mulai dari ia berjuang di organisasi Pasundan Istri, kemudian mendirikan koperasi wanita yang merupakan turunan dari organisasi PASI, dan turut mendorong Juang Tjitjih untuk membangun bank wanita yang para nasabah dan pegawainya adalah wanita. Tidak selesai di situ perjuangan sang nenek (Juang Tjitjih) terus berlanjut dan nampak dengan jelas karena dirinya merupakan sosok dari pada pendiri Pembela Tanah Air (PETA) di Cianjur, hal ini dibuktikan dengan sebuah surat kesaksian Hasjim Ning yang diberikan pada panitia Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur pada tanggal 10 Juli 1984 dengan nomor surat No. 23/C/VII/84. Isi kesaksian dari surat tersebut yang saya tangkap adalah pada tanggal 5 September 1943 di kediaman dr Zaenoedin dengan dihadiri oleh: Gatot Mangkoepradja, RM Soehardiman, R Doedoeng Joesoef, dr Zaenoedin, R Koeswaja Hardjakoesoemah, RA Tjitjih Wiarsih, dan Hasjim Ning sendiri, sembilan tokoh ini lah yang kemudian merumuskan untuk mendirikan PETA dan meminta izin pada pemerintah Jepang dengan tujuan untuk menjaga wilayah teritorial nya sendiri yang berbeda dengan Heiho yang dikirim ke wilayah pertempuran di luar Indonesia. Mendengar hal tersebut pemerintah Jepang turut menyetujui dan memberikan pelatihan yang hampir sama seperti Heiho.
Penggambaran sosok Juang Tjitjih pada ruang keluarga ini begitu banyak, karena tingkat kepedulian beliau tentang dunia sosial ini turut terpancar ketika Cianjur mengalami krisis pangan, selain itu beliau juga menjadi donatur dari PMI, selain itu, beliau sempat menjadi anggota parlemen tingkat kotapraja (Gemeenteraad). Bangga rasanya bisa berkunjung dan berjumpa secara langsung dengan cucu dari Juang Tjitjih yang masih menjaga budaya tutur.
Sejatinya perjalanan dan perjuangan Juang Tjitjih begitu besar dalam menyokong Cianjur ke arah yang lebih baik, namun sayang sampai dengan hari ini nama Juang Tjitjih baru diabadikan sebagai nama jalan di sebelah barat Bumi Ageung, besar harapan saya esok namanya bisa masuk dalam kurikulum sebagai sosok aktivis perempuan asal Cianjur yang memiliki peran besar bagi dalam membangun pendidikan, sosial, ekonomi, serta emansipasi wanita di Cianjur. (Oellien Noeha)
penulis merupakan mahasiswa Unsil