e-Government di Daerah: Sudah Matang atau Masih Setengah Jalan?

Pemerintahan43 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Perkembangan teknologi informasi telah menjadi motor utama transformasi pemerintahan modern. Salah satu bentuk konkret dari transformasi ini adalah penerapan electronic government (e-government), yakni pemanfaatan teknologi digital dalam meningkatkan kualitas layanan publik, efisiensi birokrasi, serta transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Indonesia telah menegaskan komitmen ini melalui berbagai regulasi strategis, seperti Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang SPBE dan Perpres No. 132 Tahun 2022 tentang Arsitektur SPBE. Namun, meski secara nasional e-government menjadi agenda prioritas, pelaksanaannya di tingkat lokal masih belum menunjukkan kematangan yang merata.

Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang dilakukan Kementerian PANRB sejak 2018 memang menunjukkan tren positif. Tahun 2022, Indeks SPBE nasional mencapai skor 2,34 dari skala 5—melewati target tahunan, namun masih dalam kategori “cukup.” Di level global, capaian Indonesia pun membaik. Berdasarkan laporan PBB tahun 2022, Indonesia naik ke peringkat 77 dari 193 negara dalam indeks e-government.

Namun demikian, tantangan di tingkat lokal masih mengemuka. Mulai dari infrastruktur digital yang belum merata, rendahnya kapasitas SDM, lemahnya koordinasi antarunit kerja, hingga belum optimalnya internalisasi nilai-nilai tata kelola digital.

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa kegagalan implementasi e-government kerap disebabkan oleh rendahnya e-readiness dan pengambilan kebijakan yang tidak berbasis data. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota seharusnya menjadi ujung tombak transformasi digital, namun banyak daerah masih tertinggal karena keterbatasan sumber daya dan visi kebijakan yang belum terintegrasi.

Untuk itu, pendampingan dan evaluasi yang sistematis menjadi kunci. Tahun 2023, pemerintah menggandeng 30 perguruan tinggi sebagai asesor eksternal untuk menilai kinerja SPBE daerah berdasarkan 47 indikator. Ini langkah maju, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan penguatan kapasitas lokal dan pemberdayaan aktor-aktor daerah dalam membangun ekosistem smart governance yang berkelanjutan.

Sayangnya, masih minim penelitian yang secara spesifik membedah tingkat kematangan e-government di level lokal dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Studi-studi terdahulu menyoroti pentingnya dukungan nasional, integrasi teknologi, dan penguatan kelembagaan. Tetapi untuk menjawab tantangan lokal yang sangat kontekstual, riset yang lebih mendalam berbasis data lokal sangat dibutuhkan.

Transformasi digital bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal perubahan budaya kerja dan tata kelola. Karena itu, pertanyaan pentingnya bukan hanya “apakah sudah ada e- government?”, tapi “sejauh mana e-government itu benar-benar bekerja bagi masyarakat?”

Untuk mengukur seberapa matang penerapan e-government di daerah, evaluasi SPBE menjadi instrumen utama. Tahun 2023, evaluasi ini diperkuat dengan melibatkan 30 perguruan tinggi sebagai asesor eksternal dan mengacu pada 47 indikator yang mencakup aspek kebijakan, tata kelola, manajemen, dan layanan.

Namun, penting disadari bahwa indeks dan angka tidak selalu mencerminkan kualitas implementasi di lapangan. Banyak daerah yang mengunggah dokumen kebijakan dan SOP hanya untuk memenuhi penilaian, tanpa penerapan nyata.

Kematangan e-government semestinya mencerminkan transformasi proses, bukan sekadar digitalisasi alat. Misalnya, pelayanan publik digital tidak hanya soal adanya aplikasi, tapi sejauh mana aplikasi itu efektif digunakan masyarakat dan mempercepat birokrasi. Selain itu, kematangan juga berarti adanya interoperabilitas sistem antarunit pemerintahan, bukan aplikasi silo yang tidak terhubung satu sama lain.

Kebijakan sayangnya, hingga kini masih sedikit penelitian yang secara spesifik menganalisis tingkat kematangan e-government di tingkat lokal dan faktor-faktor kontekstual yang memengaruhinya. Studi dari Sulistyaningsih et al. (2023) menegaskan pentingnya dukungan kebijakan nasional, integrasi teknologi, dan pembenahan kelembagaan untuk mempercepat kemajuan digital governance.

Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota memegang peran strategis sebagai pelaksana layanan publik. Oleh karena itu, studi-studi berbasis lokal yang menggali dinamika internal pemerintah daerah sangat dibutuhkan agar rekomendasi kebijakan menjadi lebih aplikatif dan tidak generik.

Transformasi digital bukan semata soal perangkat dan sistem. Ia menuntut perubahan cara berpikir, budaya kerja, dan paradigma pelayanan. Agar e-government benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, dibutuhkan sinergi antara regulasi nasional, kesiapan lokal, pendampingan berkelanjutan, serta evaluasi berbasis bukti.

Dengan arah yang tepat, pemerintah daerah bisa bergerak dari sekadar digitalisasi administratif menuju smart governance yang partisipatif, efisien, dan responsif terhadap masyarakat. Maka, pertanyaannya: apakah e-government daerah kita sudah matang, atau masih setengah jalan?

Transformasi digital pemerintahan adalah perjalanan panjang. Ia tidak bisa dilihat sebagai proyek teknologi semata, tetapi harus dipahami sebagai reformasi struktural dan kultural. E-government yang matang di tingkat lokal hanya akan tercapai jika seluruh elemen— teknologi, manusia, kelembagaan, dan kebijakan—bergerak dalam satu irama.

Pertanyaan pentingnya bukan lagi “apakah e-government sudah diterapkan?”, melainkan “apakah penerapannya benar-benar bekerja untuk masyarakat?”

Jika e-government hanya menjadi etalase kebijakan tanpa substansi pelayanan, maka kita belum benar-benar berada di jalur smart governance. Maka, inilah saatnya bagi semua level pemerintahan untuk berhenti sekadar menggugurkan kewajiban digital, dan mulai membangun transformasi birokrasi yang berbasis pada kebutuhan publik, bukan sekadar indikator. (Budi Nugraha SIP MAP)

Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *