RADAR TASIKMALAYA – Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa arti dari kata sastra adalah kata serapan dari Bahasa Sanskerta yaitu shaastra yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Shaastra berasal dari kata dasar śãs atau shaas (sanskerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra (Sanskerta) yang berarti alat atau sarana. Teks sastra juga tidak hanya teks yang berisikan tentang instruksi ajaran, lebih dari itu dalam Bahasa Indonesia kata ini bisa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan, persuratan, atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu .
Dari pemaparan di atas, jelas sudah bahwa makna kata sastra sangat lah luas. Hal yang perlu diketahui juga ada pemaknaan istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai definisinya sebagai sekadar teks. Sementara itu, sastrawi lebih mengarah kepada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Karena sastrawan adalah orang yang menyukai nuansa puitis dan abstraknya, tidak sekadar teks.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Pertanyaan dasar lanjutannya, kenapa generasi bangsa harus memahami sastra? Tidak bisa dipungkiri bahwa kini zamannya dunia siber (cyber world), dalam arti dunia siber yang tidak sekadar maya, mengapa? Cyberspace bukan ruang khayalan atau angan-angan yang nyatanya tidak ada atau sulit dibuktikan. Karena dunia siber memang tidak maya. Istilah cyberspeace ini mengacu pada semua sistem komunikasi digital dan area informasi yang dihasilkan, dipertukarkan, atau disimpan secara elektronik.
Tidak dipungkiri oleh kita semua bahwa kehadiran dunia maya (internet) mampu atau memungkinkan pengguna untuk menghubungi satu sama lain di seluruh dunia tanpa batasan geografis, waktu atau spasial (berkenan dengan ruang atau tempat). Dunia maya itu adalah ruang digital di mana individu, organisasi, dan mesin dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan bertukar informasi melalui berbagai platform dan aplikasi online.
Jelas sudah bahwa generasi bangsa harus memahami makna sastra secara utuh, guna bisa berkomunikasi dengan baik salah satunya pun bisa mencerna berbagai berita dalam ragam gaya bahasa dengan tidak salah dalam mengartikannya. Jauhnya tidak terjebak dengan berita-berita yang bernuansa hoaks. Disadari atau tidak oleh kita, bahwa kenyataannya kehadiran internet menopang ruang siber yang menjadi dunia yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh manusia sebelumnya, yang mampu melahirkan perang narasi (sastra) secara besar-besaran, hal ini mampu melahirkan dampak dalam plus-minus logika berpikir bagi setiap generasi bangsa.
Dari dampak plus-minus inilah peran sastra dalam dunia siber mampu membangun karakter bangsa secara perlahan. Istilah siber pertama kali diperkenalkan justru pada sebuah novel fiksi ilmiah karangan William Ford Gibson, tahun 1971. Gibson menginterpretasikan cyberspace sebagai perwakilan antara komputer, jaringan terkomunikasi, dan multimedia. Padahal di era tersebutlah internet baru saja lahir dan masih seru-serunya ‘diasuh’ oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam proyek ARPANET (Advanced Researrch Project Agency Network). Itulah salah satu alasan kenapa William Ford Gibson dijuluki “The Man Who Saw Tommorow”.
Bagaimana dengan di Indonesia? Istilah cyberspace itu sendiri diprediksi mulai banyak digunakan oleh pegiat teknologi informasi di Indonesia sejak tahun 90-an. Istilah cyberspace di era 90-an berkesan sangat futuristik dan progresif bagi yang mendengarnya saat itu. Namun entah siapa yang memulai duluan, istilah cyberspace kemudian dialihbahasakan menjadi kata “maya” atau “mayantara” .
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, kata maya diartikan sebagai “hanya tampaknya ada dalam angan-angan; khayalan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia lain mengatakan kata atau makna maya sebagai “yg khayal; yang sebenarnya/taka da:angan-angan belaka” (Suharso, Ana Retnoningsih, 2008). Ada juga Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Tim PrimaPena mengartikan maya sebagai “yang ada dalam khayalan, yang ada dalam angan-angan; tampaknya ada, tapi sulit dibuktikan”. Ke semuanya merujuk pada makna maya yang berarti tidak benar-benar ada.
Sebagaimana yang sudah saya paparkan dalam paragraf pertama bahwa makna dari kata sastra mengandung makna teks yang mengandung instruksi. Ketika kita mencermati secara seksama dari arti teks yang mengandung makna instruksi jelas sudah bahwa turunan definisinya mengandung makna maya (yang ada dalam khayalan, yang ada dalam angan-angan; tampaknya ada, tapi sulit dibuktikan). Perspektif inilah yang menjadikan peran(nan) sastra dalam membangun karakter bangsa. Menelaah sastra sebagai salah satu unsur dalam perkembangan bahasa. Meninjau kembali hubungan antara sastra dan budi pekerti. Membaca sastra memaknai budaya. Menjaga sastra, menjaga harmoni.
Dalam dunia sastra siber, bukanlah rahasia lagi bahwa konsumen terbesarnya adalah generasi bangsa. Pertanyaannya adalah apakah ruang siber adalah ruang khayalan atau ruang angan-angan yang nyata tidak ada atau sulit dibuktikan? Saya yakin kita sepakat bahwa ruang siber adalah ruang nyata dalam bentuk virtual, meski banyak pengguna yang berpura-pura nyata di ruang siber. Namun ruang atau dunia siber itu sendiri nyata keberadaannya .
Hemat saya, diperlukan adanya Polisi Apresiasi Sastra atau Lembaga Pengawas Siber yang mampu menyaring akulturasi budaya sebelum konvensi itu pecah di masyarakat dan menjadi budaya baru. Imbas dari bacaan siber sastra inilah yang kini sudah terjadi di Indonesia, sehingga salah satunya yang sudah terjadi itu adanya bahasa gaul, bahasa slank yang lengkap dengan pertumbuhan kaum budayanya. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa dunia maya adalah suatu bentuk fisik yang nyata merupakan satu lingkungan maya tanpa batas ruang dan waktu, yang mana menunya terdiri dari atau berisikan tentang data, informasi, dan komunikasi digital yang dinyatakan dalam bentuk abstrak seperti teks, gambar, audio, video, dan data lainnya.
Inilah yang harus kita waspadai dari dunia sastra siber bagi generasi bangsa itu yang mana imbas dari virtual dan abstrak. Terbuka dan terhubung. Interaktif. Lingkungan digital. Infrastruktur dan jaringan. Tidak dibatasi oleh batas geografis. Kecepatan dan keterjangkauan. Ketergantungan pada teknologi digital. Peluang dan tantangan. Transformasi digital. Mampu melahirkan ragam budaya, bisa menyingkirkan budi pekerti generasi bangsa secara perlahan.
Salah satu solusi lainnya yaitu generasi bangsa harus memahami makna sastra secara utuh sampai mengerti pada peribahasa: boleh ikuti arus yang ada, tapi jangan sampai hanyut. Meski memang tidak bisa kita pungkiri bahwa arus akulturasi dari dunia siber sastra di dunia maya sulit untuk dibendung, tapi setidaknya peranan orang tua, lembaga pendidikan dan pemerintah harus mampu meredamnya dengan memberikan pengetahuan secara utuh di ruang-ruang belajar, sehingga sinergitas terjadi dalam pembentukan karakter generasi bangsa dalam rupa kolektif atau gotong royong sesuai dengan butir Pancasila sila ke 4. (Syifa Siti Sofia SPd)
Penulis merupakan Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi, Guru Bahasa Indonesia SMAN 9 Kota Tasikmalaya