INI bukan tulisan dengan basis hukum, meskipun berlatar kasus hukum yang sedang ramai dan hampir mendekati babak akhir. Ini adalah tulisan mengenai peristiwa sosial kasus pembunuhan Yoshua Hutabarat telah sampai pada vonis kepada para tersangka. Disebut hampir karena masih ada peluang berlanjut dengan banding, kasasi, dan proses peninjauan kembali yang mungkin diambil oleh para pihak.
Proses persidangan yang disiarkan secara live oleh beberapa chanel televisi dan kanal berita membuktikan banyaknya atensi masyarakat terhadap kasus ini, meski dari awal sebagian sudah menyadari adanya drama atas seluruh fakta yang coba digali. Para ahli hukum dan ahli terkait yang memberikan berbagai masukan dan penajaman atas berbagai fakta yang dikemukakan selama proses persidangan. Sebagai penikmat berita, tentu ini tentu menguntungkan, karena proses mendapatkan informasi dan pembelajaran hukum yang mudah difahami secara gratis.
Drama-drama yang dilakukan disikapi masyarakat secara berbeda, ada tersangka yang diberi gelar ratu drama meskipun dinilai gagal bermain drama karena gagal mengambil hati masyarakat untuk berpihak kepadanya. Ada juga tersangka yang berhasil mengambil hati masyarakat dan mendapat simpati bahkan dukungan luar biasa.
Dua “kekuatan” yang bertarung selama proses pengadilan mewakili masyarakat. Satu kelompok yang memiliki privilege sebagai kelompok yang mewakili kelas elit, kaya, berkuasa, versus kelompok yang berasal dari kelas bawah. Suami istri berasal dari kelaurga petinggi. Di persidangan terbuka fakta mengenai anak yang bersekolah memiliki “ajudan” yang mengurusi sekolah dan berhubungan dengan pihak sekolah.
Di sisi lain, eksistensi Richard Eliezer sebagai karyawan dengan pangkat terendah, paling muda, berasal dari keluarga yang biasa-biasa (ayah sopir dan ibu menjadi guru di sekolah minggu), seolah menjadi presentasi sebagian besar masyarakat. Sikap yang dipilih Eliezer untuk menjadi justice colabolator dengan kejujuran yang datang karena tekanan batin atas perasaan berdosa adalah perwujudan keterpaksaan masyarakat yang terpaksa melakukan hal yang tidak disetujui hati nurani karena keadaan.
Sikap kedua kelompok ini juga bertentangan. Pihak tersangka yang berasal darikelompok elit sangat egosentris selama persidangan sampai pledoi pembelaan. Menangis dan lupa menjadi kata kunci dari pernyataannya. Permohonan maaf kepada orang tua korban yang mereka sampaikan ditanggapi ketidakpercayaan masyarakat atas ketulusan hati yang tidak tampak. Pernyataan maaf yang disampaikan Eliezer sambal menangis terlihat tidak dibuat-buat dan disikapi kedua orang tua korban dengan tulus.
Yang mengherankan, tersangka perempuan yang mengaku menjadi korban perkosaan/pecelehan tidak mendapat dukungan dari organisasi perempuan yang selama ini bersuara keras membela kasus-kasus perempuan, terutama perkosaan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini tentu mengherankan bagi Sebagian masyarakat. Namun bagi orang/organisasi yang memahami advokasi dan pendampingan terhadap korban perkosaan ini bisa dimaklumi. Korban perkosaan mengalami berbagai trauma, yang tidak hanya sebatas trauma fisik, tapi mencakup trauma psikis yang bisa lebih akut. Tidak sedikit korban yang tidak mau menerima dirinya sendiri, menghilang dari dunia dengan mengucilkan diri, bahkan sampai berniat bunuh diri. Pada fase awal sebelum trauma healing berakhir, biasanya korban perkosaan tidak akan mau memperkenalkan diri dan mengaku sebagai korban perkosaan. Sikap berbeda ditunjukkan oleh tersangka yang mengaku korban. Ini dibaca oelh kelompok dan individu yang bersikap tidak akan membelanya.
Sikap masyarakat dalam membela Eliezer ini juga mencerminkan kerinduan kita akan sosok yang mewakili pribadi yang sudah sangat sulit ditemukan sekarang ini. Sosok seorang yang berani, jujur, tegas, berintegritas. Ini adalah pengakuan kita kehilangan sosok seperti ini.
Mari lihat sekitar kita, ada berapa orang yang memiliki sikap seperti Eliezer. Mari bertanya ke dalam diri kita, apakah kita memiliki sikap seperti itu? Apalagi dengan ancaman nyawa diri dan keluarga. Apakah kita akan sanggup bersikap tetap lurus dalam posisi tertekan? Tentu tidak mudah.
Bagaimana seorang Eliezer dapat memiliki sikap seperti ini? Mari kita lihat basic keluarganya. Ibunya yang menjadi guru sekolah minggu tentu mendidik anaknya lebih baik, secara religi. Semua agama mengajarkan kebaikan dan kasih sayang. Demikian juga Eliezer. Bagaimana dia berdoa minta Tuhan mengubah hati atasannya agar membatalkan perintah menembak. Doa ini menunjukkan ketidakberdayaannya. Kalau dia menolak perintah atasannya, bisa jadi dia yang akan ditembak. Hanya Tuhan yang dia punya. Tuhan mengabulkan doanya dengan cara berbeda.
Sikap Eliezer ini bukan hasil didikan satu hari, tapi didikan jangka panjang dan konsisten dari keluarga sebagai pendidik pertama dan utama. Fungsi lembaga keluarga ini sering diabaikan, sengaja maupun tidak. Kesibukan orang tua membuat proses pendidikan terabaikan. Berbagai kebutuhan hidup yang memerlukan biaya tinggi memaksa orang tua untuk bekerja di luar rumah meninggalkan anak dalam waktu lama. Ada kekosongan dalam proses mendidik anak ini.
Di sinilah kelemahan kita. Berbagai desakan kebutuhan menjadikan kita tidak mampu mengemban seluruh tugas dan amanah yang menjadi beban kita. Menitipkan anak pada nenek/kakeknya sering kali menjadi pilihan yang, sayangnya, tidak dimiliki semua orang tua. Menitipkan anak pada pengasuh di rumah, dengan konsekuensi adanya biaya rumah tangga tambahan. Menitipkan Pendidikan anak di pesantren, yang agak sulit untuk balita. Menitipkan anak di daycare, selain fasilitas masih sedikit, biaya juga jauh lebih tinggi. Dengan keterbatasan pilihan ini, pilihan alternatif adalah meningkatkan peran lingkungan. Keterikatan dengan tetangga dapat dibuat lebih formal dengan membagi tugas menitipkan anak. Ini memerlukan kerelaan dan kepercayaan semua pihak. Lembaga formal yang menyelenggarakan kegiatan pengembangan masyarakat, Pendidikan, Kesehatan, kesejahteraan keluarga dapat memfasilitasi hal ini.
Pendidikan anak yang diberikan secara dini dengan baik, kerinduan kita akan sosok yang jujur, berani, berintegritas, bukan tidak mungkin akan diwujudkan oleh anak-anak kita. Pemerintah juga bisa segera memulai menginisiasi hal ini. (*)
Direktur Galunggung Center for Research and Consultancy dan Pekerja Sosial