BENCANA yang menimpa sejumlah wilayah di Sumatra di akhir tahun 2025 bukan semata akibat hujan ekstrem atau pergerakan tanah. Bagi warga yang terdampak langsung, bencana adalah pengalaman kehilangan, keterputusan akses hidup, dan ketidakpastian. Namun di balik itu, bencana juga membuka pertanyaan politik yang lebih mendasar: di mana posisi negara ketika masyarakat bergerak lebih dulu untuk menyelamatkan dirinya sendiri?
Hingga kini, bencana di Sumatra belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Keputusan ini bukan soal teknis belaka. Dalam tata kelola kebencanaan Indonesia, status nasional menentukan besaran sumber daya, fleksibilitas anggaran, serta koordinasi lintas lembaga. Dari perspektif warga di lapangan, ketiadaan status tersebut sulit dipahami ketika kerusakan infrastruktur, korban terdampak, dan kebutuhan dasar masih belum tertangani sepenuhnya.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia masih mampu menangani bencana tanpa bantuan asing dibaca secara beragam oleh publik. Di satu sisi, pernyataan ini mencerminkan keinginan negara tampil berdaulat dan percaya diri. Namun di sisi lain, bagi masyarakat terdampak, ukuran keberhasilan bukan terletak pada simbol kedaulatan, melainkan pada seberapa cepat bantuan tiba, akses pulih, dan keselamatan terjamin.
Di titik inilah jarak antara bahasa politik negara dan pengalaman warga mulai terasa. Respons birokrasi di berbagai level turut memperkuat kesan tersebut. Penekanan berulang pada prosedur, izin, dan koordinasi administratif kerap dipersepsikan warga sebagai hambatan di tengah situasi darurat. Ketika jalan terputus, rumah rusak, dan logistik terbatas, kebutuhan mendesak sering kali tidak sejalan dengan ritme birokrasi yang serba formal. Dalam situasi krisis, keterlambatan bukan sekadar masalah teknis, melainkan persoalan hidup dan mati.
Sebaliknya, masyarakat bergerak dengan cara yang berbeda. Relawan lokal, komunitas warga, organisasi kemanusiaan, hingga individu-individu biasa membuka posko bantuan, menggalang dana, dan menyebarkan informasi kebutuhan lapangan. Mereka bergerak tanpa struktur komando negara, tetapi dengan pengetahuan lokal dan rasa urgensi yang tinggi.
Gotong royong kembali menjadi modal utama ketika negara terlihat lamban menyesuaikan diri dengan kondisi darurat. Perbedaan ini bukan sekadar soal siapa yang lebih cepat, melainkan mencerminkan ketegangan politik dalam tata kelola krisis. Negara memandang bencana sebagai masalah yang harus diatur, dikendalikan, dan distandarkan.
Masyarakat memandangnya sebagai pengalaman kolektif yang menuntut aksi segera. Ketika kedua cara pandang ini tidak dipertemukan, yang muncul adalah fragmentasi respons dan erosi kepercayaan publik.
Dalam kajian politik dan governance, kondisi ini sering disebut sebagai krisis legitimasi respons. Negara mungkin memiliki kapasitas formal anggaran, aparat, dan kewenangan hukum tetapi legitimasi itu diuji oleh persepsi warga di lapangan. Ketika bantuan warga dianggap mengganggu atau harus dibatasi oleh izin yang berlapis, negara berisiko dipersepsikan lebih sibuk menjaga kontrol daripada memfasilitasi penyelamatan.
Persoalan ini juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi ekologis. Banjir, longsor, dan bencana berulang di Sumatra berkaitan erat dengan degradasi lingkungan, tata ruang yang lemah, serta tekanan perubahan iklim. Dari sudut pandang masyarakat, penanganan bencana yang hanya berfokus pada respons darurat tanpa koreksi kebijakan lingkungan akan selalu terasa setengah hati.
Warga tidak hanya membutuhkan bantuan hari ini, tetapi jaminan bahwa bencana serupa tidak terus berulang. Dari perspektif masyarakat, negara yang dibutuhkan dalam situasi krisis bukanlah negara yang bersaing dengan warga soal siapa yang paling berwenang, melainkan negara yang mampu mendengar, memfasilitasi, dan memperkuat inisiatif sosial yang sudah berjalan. Negara tetap penting sebagai koordinator, penjamin keselamatan, dan penyedia sumber daya besar.
Namun peran itu akan kehilangan makna jika tidak diselaraskan dengan realitas sosial di lapangan. Bencana adalah ujian paling konkret bagi relasi negara dan masyarakat. Ketika warga bergerak cepat sementara negara tertahan oleh prosedur dan simbol, persoalannya bukan lagi sekadar efektivitas kebijakan. Ia menjadi pertanyaan politik tentang untuk siapa negara bekerja dalam situasi paling genting. Negara yang kuat bukan negara yang menutup diri atas bantuan dan inisiatif warga, melainkan negara yang hadir bersama masyarakatnya terutama ketika mereka berada dalam kondisi paling rapuh. (Farah Rosada)
Penulis merupakan mahasiswi Pascasarjana Department Politik dan Pemerintahan UGM












