RADAR TASIKMALAYA – Agustus lalu, jalanan di berbagai kota besar kembali dipenuhi massa. Spanduk terbentang, poster-poster bernada protes diangkat tinggi-tinggi, dan teriakan penuh amarah menggema di udara. Di setiap sudut, kita melihat wajah-wajah rakyat yang lelah menahan kecewa, lalu melampiaskannya dengan turun ke jalan. Pemandangan ini sebenarnya bukan hal baru di negeri kita. Demo sudah menjadi bagian dari denyut politik Indonesia sejak lama. Tetapi setiap kali ia terjadi, selalu ada sesuatu yang menggetarkan hati. Ada rasa bangga karena rakyat berani menyuarakan pendapat, tetapi sekaligus ada rasa getir karena demo sering berubah arah, dari ruang aspirasi menjadi arena kerusuhan.
Rakyat turun ke jalan tentu bukan tanpa alasan. Kekecewaan menumpuk dari hari ke hari. Janji-janji politik yang tak kunjung ditepati, kebijakan negara yang dirasa menekan, harga kebutuhan pokok yang makin melambung, hingga wakil rakyat yang bersikap nirempati pada penderitaan rakyatnya. Semua itu membentuk akumulasi rasa frustasi. Maka demo bukanlah sekadar hura-hura politik, melainkan ungkapan dari rasa jenuh dan marah yang sudah tak tertahankan. Secara moral, kemarahan itu valid. Bahkan kita yang hanya menjadi pengamat pun bisa ikut merasakan luka yang sama.
Tetapi yang mengganggu adalah ketika kemarahan itu kehilangan arah. Demo yang mestinya menjadi saluran aspirasi berubah menjadi amuk massa. Vandalisme, perusakan, pembakaran fasilitas umum, bahkan penjarahan, menjadi berita yang ikut viral. Massa yang tadinya datang untuk menuntut perubahan, justru meninggalkan jejak kerusakan. Di sinilah kita berhadapan dengan fenomena psiko massa. Individu yang dalam keseharian mungkin tenang dan taat aturan, bisa berubah total ketika larut dalam kerumunan. Identitas personal melebur, rasa takut terhadap sanksi hukum berkurang, dan yang muncul adalah perilaku agresif yang ditularkan dari satu orang ke orang lain.
Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk dinamika ini. Jika pada masa lalu informasi tentang demo didapat dari koran keesokan hari atau laporan televisi, kini cukup lewat ponsel. Notifikasi berdering tanpa henti, timeline penuh dengan potongan video, meme, dan komentar yang memanas. Kecepatan informasi ini membuat emosi publik meluap lebih cepat daripada logika sempat bekerja. Ironisnya, yang tersebar bukan hanya fakta, melainkan juga hoaks. Dan siapa yang menyebarkannya? Influencer. Mereka yang punya jutaan pengikut, yang sehari-hari mungkin dikenal karena konten hiburan, fashion, atau kuliner, tiba-tiba berubah menjadi ”narator politik” dadakan.
Persoalannya, dalam iklim digital sekarang, orang cenderung lebih percaya pada influencer ketimbang pakar atau jurnalis. Sebab influencer dianggap ”lebih dekat”, bahasanya lugas, emosional, bahkan kadang kasar. Justru karena itulah mereka lebih dipercaya. Padahal, sering kali narasi yang disampaikan tidak diverifikasi. Satu video dengan caption provokatif bisa membuat ribuan orang mendidih. Satu cuitan emosional bisa menjadi pemicu kerumunan. Yang lebih menyedihkan, banyak dari influencer ini tidak benar-benar memahami persoalan, tetapi sadar bahwa isu politik dan demo bisa menaikkan engagement. Mereka meraup popularitas, sementara rakyat larut dalam kemarahan. Rakyat marah, influencer untung.
Fenomena ini sangat selaras dengan teori psikologi massa. Gustave Le Bon, seorang pemikir klasik, pernah menulis bahwa dalam kerumunan, individu kehilangan rasionalitasnya dan digantikan oleh emosi kolektif. Seseorang yang biasanya tenang bisa berubah agresif. Seseorang yang biasanya takut bisa tiba-tiba berani. Semua karena dorongan massa. Efek bola salju terjadi, satu orang berteriak, yang lain ikut; satu orang melempar batu, maka orang lain merasa wajar melakukan hal yang sama. Dan jika dalam situasi itu ada narasi provokatif yang ditiupkan oleh influencer, maka kerumunan bisa dengan cepat berubah menjadi amuk yang tak terkendali.
Pertanyaannya, kenapa rakyat begitu mudah percaya pada narasi influencer? Jawabannya sederhana karena ada kekosongan komunikasi dari negara. Pemerintah sering terlambat merespons kegelisahan rakyat. Informasi resmi disampaikan dengan bahasa birokrasi yang berbelit, penuh istilah teknis, dan terasa jauh dari keseharian rakyat. Rakyat yang sedang marah dan frustrasi tentu tidak sabar untuk menunggu klarifikasi resmi yang kaku. Mereka memilih mencari alternatif informasi yang lebih cepat, meski tidak kredibel. Di ruang kosong inilah influencer hadir sebagai ”pahlawan palsu”.
Ini mencemaskan. Demokrasi memang memberi ruang bagi rakyat untuk marah, tetapi demokrasi juga menuntut tanggung jawab. Marah boleh, tetapi tidak dengan merusak. Demo sah, tetapi tidak dengan menjarah. Aspirasi harus dibangun di atas fakta, bukan kebohongan. Jika demo digerakkan oleh hoaks, yang lahir bukanlah perjuangan, melainkan kesalahpahaman massal. Kita boleh membela hak rakyat untuk demo, tetapi kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa perusakan fasilitas umum, pembakaran, atau penjarahan adalah tindak kriminal.
Di sisi lain, negara pun tak bisa cuci tangan. Rakyat marah tentulah karena ada sebabnya. Tugas negara bukan hanya menjaga ketertiban, tetapi juga mendengar dan memberi jawaban yang jujur. Semakin negara menutup telinga, semakin besar rasa frustrasi. Semakin negara menekan dengan aparat, semakin rakyat melawan. Dan selama komunikasi negara lemah, selama pejabat lebih sibuk menjaga citra ketimbang berbicara dengan fakta, selama itu pula hoaks akan terus berkuasa.
Di sini kita melihat sebuah ironi besar. Negara yang seharusnya menjadi sumber informasi paling kredibel, justru kalah oleh narasi influencer. Rakyat lebih percaya pada unggahan Instagram atau TikTok daripada konferensi pers resmi. Sebab yang resmi penuh basa-basi, sementara yang informal terasa lugas, meskipun sering menyesatkan. Rakyat ingin mendengar suara yang jujur, bukan sekadar kalimat yang sudah dipoles.
Maka, yang kita butuhkan sekarang adalah kesadaran bersama. Bagi rakyat, penting untuk belajar menyaring informasi. Jangan mudah percaya hanya karena sesuatu ramai dibagikan. Bagi influencer, ada tanggung jawab moral yang besar. Pengaruh sosial bukan mainan. Kata-kata bisa memicu amarah, amarah bisa memicu kerusuhan, dan kerusuhan bisa memakan korban. Popularitas tidak bisa menjadi alasan untuk menutup mata terhadap risiko itu. Dan bagi negara, sudah waktunya untuk memperbaiki cara berkomunikasi dengan rakyat, komunikasi yang lebih cepat, jujur, dan sederhana.
Demo Agustus lalu meninggalkan banyak luka. Luka di jalan-jalan, pada fasilitas umum yang rusak. Luka di hati rakyat yang merasa semakin jauh dari negaranya. Tetapi luka itu juga bisa menjadi pelajaran. Bahwa amarah itu sah, tetapi arah marah itu harus jelas. Bahwa demo adalah hak rakyat, tetapi hak itu datang bersama tanggung jawab. Bahwa hoaks bisa memicu tawa di layar ponsel, tetapi bisa juga menimbulkan tangis di jalanan.
Kita punya modal besar untuk memperbaiki keadaan ini. Bangsa ini memiliki tradisi musyawarah, nilai agama yang menekankan keseimbangan, serta kearifan lokal yang mengajarkan hormat dan sabar. Semua itu bisa menjadi dasar untuk mengelola konflik dengan cara yang lebih sehat. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan kolektif: rakyat yang kritis, influencer yang bertanggung jawab, dan negara yang jujur.
Pertanyaannya, maukah kita belajar? Atau kita akan terus membiarkan hoaks menjadi kompas amarah? Pada akhirnya, pilihan itu ada di tangan kita semua. Demokrasi tidak akan sehat jika rakyatnya mudah terprovokasi, jika pemimpinnya terus menutup telinga, dan jika pengaruh sosial dipakai tanpa tanggung jawab. Kita hanya akan terus menjadi massa yang kehilangan arah, digiring oleh kebohongan, dan akhirnya menjadi tontonan menyedihkan. Tetapi jika kita mau berubah, demo bisa kembali menjadi alat mulia untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan perubahan yang bermartabat. (Aye Rakhmat Hidayat)
Penulis adalah kolumnis dan esais Tasikmalaya.