RADAR TASIKMALAYA – Di tengah tren hidup sehat yang melanda generasi muda, Kota Tasikmalaya sesungguhnya memiliki potensi besar yang sering terlupakan: Komplek Sarana Olahraga Dadaha. Kawasan ini bukan hanya sekadar ruang publik tempat orang berlari atau bersepeda, tetapi sebuah warisan sejarah panjang yang bisa ditransformasikan menjadi ikon sport tourism berkelas.
Sejak awal abad ke-20, Dadaha telah menjadi pusat olahraga. Pada 1920-an, arena ini dikenal luas sebagai lapangan pacuan kuda. Bagi masyarakat kala itu, pacuan kuda bukan sekadar tontonan, tetapi simbol keberanian sekaligus prestise. Catatan sejarah menyebut, ajang tersebut bahkan berstandar internasional dan diramaikan festival tahunan pada masa Hindia Belanda (Lubis, 2019). Dari sanalah akar identitas Dadaha terbentuk—sebuah kawasan yang sejak lama menyatu dengan denyut olahraga dan budaya.
Kini, wajah Dadaha hadir dalam bentuk modern. Kompleks seluas 16 hektar ini dipenuhi fasilitas: stadion, GOR, kolam renang, hingga taman yang selalu ramai oleh warga dari pagi hingga sore (UPTD Dadaha, 2018). Fenomena paling mencolok datang dari Gen Z dan Gen Alfa yang menjadikan joging sebagai bagian gaya hidup. Joging di Dadaha kini tak hanya sekadar olahraga, tetapi juga ruang eksistensi sosial—ajang berkumpul, berbagi konten media sosial, hingga menegaskan identitas sehat dan aktif.
Fenomena ini seharusnya dibaca serius oleh pemerintah daerah. Sport tourism sedang tumbuh menjadi magnet wisata global (UNWTO, 2021). Kota-kota lain sudah lebih dulu melangkah. Bandung punya Gasibu, Jakarta punya Gelora Bung Karno, Surabaya punya Taman Bungkul—semuanya menjadi ruang publik sekaligus ikon wisata perkotaan (Satria, 2020).
Bahkan, jika kita melihat ke mancanegara, Liverpool di Inggris menjadi contoh paling nyata bagaimana sport tourism mampu mengubah wajah kota. Berkat klub sepak bola Liverpool dan Everton, kota itu tak hanya dikenal sebagai pusat industri dan budaya, tetapi juga sebagai destinasi wisata olahraga kelas dunia yang setiap tahun menarik jutaan wisatawan (Smith, 2019).
Tasikmalaya tentu berbeda skala dengan Liverpool. Namun prinsipnya sama: olahraga bisa menjadi pintu masuk menuju penguatan citra kota. Dadaha memiliki modal yang tak kalah kuat: sejarah panjang, fasilitas memadai, dan masyarakat yang sudah terbiasa menjadikannya ruang hidup.
Tantangannya adalah bagaimana mengelola dan mempromosikan Dadaha sebagai destinasi sport tourism yang berdaya tarik. Event olahraga berkala, festival komunitas, hingga integrasi dengan produk lokal bisa menjadi langkah awal.
Lebih jauh, sport tourism di Dadaha dapat dikawinkan dengan konsep ecotourism. Taman-taman hijau di sekitar kawasan ini bisa difungsikan bukan hanya sebagai tempat bersantai, tetapi juga ruang edukasi lingkungan. Jalur joging dengan pepohonan rindang, taman tematik, atau kampanye olahraga ramah lingkungan akan memperkaya pengalaman pengunjung sekaligus menegaskan citra Tasikmalaya sebagai kota yang sehat dan hijau (Fandeli, 2002).
Manfaatnya tentu tidak sebatas kesehatan masyarakat. Kehadiran sport tourism terbukti menggerakkan roda ekonomi lokal. Pedagang kuliner, penyedia perlengkapan olahraga, jasa transportasi, hingga UMKM dapat merasakan dampak positif dari geliat aktivitas warga maupun wisatawan (Henderson, 2015). Jika Tasikmalaya mampu mengemas Dadaha dengan baik, maka setiap langkah joging di kawasan ini akan menjadi denyut ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Sudah saatnya pemerintah, komunitas olahraga, dan masyarakat bersama-sama mendorong Dadaha menjadi ikon sport tourism Kota Tasikmalaya. Jangan biarkan sejarah panjangnya berhenti sebagai catatan masa lalu. Dari pacuan kuda yang dulu penuh wibawa, hingga joging generasi muda yang penuh energi hari ini, Dadaha menyimpan peluang untuk tampil di panggung nasional bahkan internasional.
Sejarah telah menorehkan Dadaha sebagai simbol keberanian dan olahraga. Kini saatnya kita bertanya: apakah Dadaha mampu menuliskan bab baru sebagai kawasan sport tourism yang berdaya saing? (Muhammad Indra Gunawan MSi)
Penulis merupakan Dosen Bisnis Pariwisata, Universitas Mayasari Bakti