RADAR TASIKMALAYA – Raja Jawa dan Darurat Moral Bangsa. Masa kekuasaan Presiden Jokowi yang akan berakhir pada 20 Oktober 2024 nanti menyisakan beberapa catatan. Secara bersamaan anak sulung beliau akan dilantik menjadi Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto. Namun, akun Fufafa yang diduga menurut Roy Suryo dimiliki oleh Wakil Presiden terpilih yang tidak lain dan tidak bukan merupakan Wali Kota Solo sekaligus putra sulung Presiden Jokowi cukup menghebohkan masyarakat Indonesia. Ribuan postingan yang sangat sarkas, kampungan, serta vulgar menyerang pribadi lawan-lawan politik merupakan perilaku yang tidak patut untuk dicontoh sebagai suri tauladan.
Tidak cukup sampai di situ, putra mahkota lain juga dihebohkan oleh kasus hedonismenya bersama sang istri, yakni dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi, yang dikonfirmasi oleh Kaesang sendiri merupakan nebeng teman, namun yang aneh temennya tidak ikut, itu sudah membuktikan bahwa rezim ini sangat memalukan dan miskin adab. Bahkan, Kaesang dengan bangganya menantang para pengkritik dengan mengenakan baju Putra Mulyono saat blusukan ke masyarakat.
Presiden Jokowi, Mulyono dan Raja Jawa merupakan individu yang sama, sulit untuk memahami ucapan dan tindakan beliau, kecuali oleh kroni dan para pendukungnya, krisis identitas dan post power syndrome. IKN yang dibantah oleh beliau sebagai proyek presiden, diakuinya sebagai proyek seluruh rakyat Indonesia. Itu karena gagal mencapai target, batalnya pindah bahkan untuk pelantikan pun tidak akan bisa dilaksanakan di Ibu Kota Negara.
Suburnya Politik Dinasti
Politik dinasti, memang tidak hanya terjadi pada keluarga Presiden Jokowi saja. Pada kekuasaan lain yakni parlemen, hasil riset Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi menemukan sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 terindikasi dinasti politik atau punya kekerabatan dengan pejabat lainnya. Sementara itu, laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan. “Anggota DPR yang memiliki hubungan dengan dinasti politik cukup tinggi. 138 dari 580 anggota DPR memiliki hubungan dengan dinasti (atau 23,8 persen dari total anggota DPR).
Bahkan, banyaknya anggota dewan yang muda pun bukan karena kualitas mereka, dari generasi milenial 25 orang dan gen Z 6 orang, yang diketahui memiliki ikatan keluarga sebagai politisi atau pejabat. DPR telah menjadi tempat berkumpulnya keluarga, ada pasangan suami istri, juga orang tua dan anak. Bahkan, pada partai pemenang pemilu yakni PDIP, suara terbanyak ke satu dan kedua, rela mengundurkan diri untuk memuluskan suara ketiga yang tidak lain dan tidak bukan merupakan cucu Presiden pertama RI.
Kalau kita tari ke politik di daerah, akan ditemukan lebih banyak lagi politik dinasti, jangan salah juga Indonesia pernah menerapkan pasal yang melarang politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 mengatur, calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Calon kepala daerah yang dimaksud adalah calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota. Penjelasan pasal tersebut adalah calon kepala daerah tidak memiliki ikatan perkawinan dan darah, baik lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/istri, orang tua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun). Namun, MK menghapus pasal tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 huruf i ayat (2) UUD 1945 yang mengatur setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (2) yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan.
Imbas dari putusan MK tersebut, semakin menyuburkan bagi keluarga yang memiliki darah kekuasaan, walaupun memang secara prinsip sama dengan keluarga lain karena bertarung dalam pemilu langsung, namun modal sosial mereka lebih kuat daripada calon lain, apalagi masih menjadi yang penuh dengan konflik kepentingan. Hal ini yang terjadi pada kasus Gibran saat Pilkada Solo 2020 dan Boby di Kota Medan, serta Pilpres 2024.
Di negara maju seperti Amerika Serikat saja memang ini terjadi, seperti dinasti Bush, Kennedy, maupun keluarga Clinton, namun jangan lupa, mereka tidak mengesampingkan kualitas dan kapasitas sebagai politisi serta rentang waktu. Hal ini yang harus menjadi catatan penting bagi demokrasi di Indonesia, terutama partai politik sebagai sarana rekrutmen politik agar partai ini bukan hanya milik keluarga, tetapi tempat bagi putra putri terbaik bangsa untuk berada gagasan untuk kekuasaan.
Selamat Tinggal Era Reformasi
Suksesi kepemimpinan yang tidak sukses, kala etika tak menjadi pertimbangan lagi, maka peningkatan kualitas pemilih maupun yang dipilihnya harus dilakukan walau itu berat, maka, penulis berani mengatakan bahwa pergantian kekuasaan tahun ini merupakan akhir dari kisah reformasi. Apalagi kalau semakin marak politik dinasti, korupsi dan pemimpin yang ingkar janji. Padahal berantas korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan agenda reformasi, kini semuanya telah dilegalkan secara hukum, hukum yang dibuat berdasarkan selera dan kepentingan yang berkuasa. (Adi Saputra)
Penulis: Dosen Pendidikan Pancasila Universitas Siliwangi
Mudah dipahami bapak terimakasih
Hasil analisis artikel ini,, berdasarkan ideologi,filsafat dan etika. Pelaksanaan agenda reformasi jauh kata ideal malah keluar dari jalur, pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme yang dulu menjadi tujuan reformasi bisa dikatakan belum tuntas.
Secara filsafat para pejabat juga membohongi publik dengan janji jainji manis.
Secara etika, wakil presiden yang dilantik,harus terlebih dahulu mengutak atik konstitusi dimana bisa ditafsirkan “menghalalkan segala cara” agar bisa mendapatkan jabatan