Bangsa Indonesia, Bangsa Mahasiswa

Pemerintahan, Politik196 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Saya beri tajuk tulisan ini dengan dua kata yang sederhana. Gagasan pemberian judul ini muncul di benak saya melalui proses kreatif yang sederhana pula. Pasalnya, bagi seorang peminat sejarah pergerakan, saya merasa sulit untuk mengingkari bahwa mahasiswa merupakan unsur vital yang mendorong perubahan sosial di Indonesia.

Bila ditelisik lebih jauh, gerakan mahasiswa di negeri ini tidak dapat dipisahkan dari serangkaian perjalanan gerakan elite maupun massa yang berawal pada awal abad ke-20. Pada saat itu, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan kebijakan Politik Etis sebagai motif “balas budi” dari penjajah kepada tanah jajahan. Padahal, sesungguhnya, kebijakan ini tiada lain ditujukan untuk kepentingan penjajah guna melanggengkan hegemoni mereka atas Hindia Belanda.

Pendidikan

Salah satu program yang disoroti kebijakan Politik Etis adalah pendidikan. Di depan publik, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan membuka akses pendidikan yang lebih luas lagi untuk kaum pribumi (selanjutnya disebut dengan istilah “bumiputra”) dari masa sebelumnya. Namun, alih-alih menjangkau masyarakat umum, pendidikan masih tetap ditujukan kepada anak-anak bangsawan atau sekurang-kurangnya adalah anak-anak pegawai rendahan kolonial.

Alasan di balik program ini tiada lain hanyalah modus penjajah yang ingin memanfaatkan tenaga bumiputra dengan kualitas SDM baik untuk kepentingan eksploitasi mereka. Anak-anak bangsawan atau pegawai kolonial ini dididik oleh penjajah kemudian dipekerjakan untuk kepentingan penjajah lalu diberi upah yang murah. Dengan demikian, praktis, hanya segelintir masyarakat yang menerima hak istimewa dari kebijakan Politik Etis, padahal  sebelumnya, kebijakan ini digadang-gadang akan menjadi tonggak perubahan dan kemajuan kaum bumiputra di Hindia Belanda.

Pada kenyataannya, tidak semua kaum terpelajar ini bersedia menjadi “kaki-tangan” penjajah. Alih-alih menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, mereka memilih menjadi kelompok yang merintis jalan dan pergerakan sendiri. Kaum terpelajar ini umumnya memilih karier atau profesi yang memungkinkan mereka berinteraksi secara langsung dengan kaum bumiputra, seperti menjadi guru, wartawan, advokat, dan pemimpin organisasi pribumi.  Mereka kemudian muncul sebagai kelas sosial baru di Hindia Belanda.

Meminjam teori yang dikemukakan Arnold J Toynbee, kaum terpelajar kemudian tampil di panggung sejarah menjadi kelompok creative minority yaitu “kelompok kecil” yang menggerakkan dan mengubah sejarah bangsa mereka. Kaum terpelajar inilah yang tampil menjadi unit penggerak dan unit yang berkontribusi dalam perubahan sosial. Mereka menghimpun ide-ide brilian dari berbagai macam spektrum pemikiran, merumuskan identitas keindonesiaan, dan membentuk nation-state bernama Indonesia yang didasarkan pada gentlemen’s agreement. Hingga beberapa tahun berikutnya, kaum terpelajar masih mengambil peran sebagai pengawal perubahan sosial di Indonesia.

Satu Cita-Cita

Mahasiswa sebagai salah unit kaum terpelajar telah memegang peranan penting sebelum Indonesia merdeka. Di sejumlah daerah, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah tinggi sesuai dengan rumpun keilmuan tertentu seperti Technichse Hogeschool te Bandung (THB) atau sekolah tinggi arsitektur di Bandung pada 1920 dan Recht Hoge School (RHS) atau sekolah tinggi hukum di Batavia pada 1924. Selain itu, penjajah juga mengakomodasi keinginan belajar kaum bumiputra berprestasi dengan mengirimkan mereka supaya berkuliah di perguruan tinggi Belanda. Sejumlah bumiputra berkuliah di Universitas Amsterdam dan Universitas Leiden.

Sebagai implikasi dari program pendidikan yang diagendakan Politik Etis, beberapa mahasiswa pribumi berhasil mengidentifikasi dirinya sebagai kaum yang tertindas dan terjajah. Akses terhadap bahasa dan literatur yang diperoleh dari pelajaran di bangku sekolah maupun perkuliahan secara langsung maupun tidak langsung membuka cakrawala pemikiran para mahasiswa dari kalangan bumiputra. Mereka juga berkaca, mengambil inspirasi dari gerakan rakyat bangsa-bangsa lain seperti India, Tiongkok, dan Turki.

Atas pengamatannya terhadap berbagai isu maupun fenomena tersebut, para mahasiswa bumiputra mencoba merintis sebuah gerakan baru untuk meruntuhkan hegemoni penjajah di Hindia Belanda. Mereka mengevaluasi kegagalan perjuangan para pendahulunya dalam melawan dominasi para penjajah yang cenderung menggunakan model kepemimpinan karismatik dan selalu bertumpu pada perlawanan bersenjata. Saat itu, mereka mulai merumuskan strategi perjuangan baru yakni dengan menghimpun dan memobilisasi massa serta bersuara melalui opini di media massa. Oleh sebab itu, jika kita membuka kembali membuka lembar sejarah, maka tidaklah mengherankan apabila kita jumpai dalam periode awal abad ke-20, begitu banyak organisasi maupun pers bumiputra yang bermunculan di Hindia Belanda.

Gerakan mahasiswa di Indonesia tidak terkonsentrasi pada suatu wadah perjuangan tunggal. Sejak awal kemunculannya, mereka tumbuh dengan warna dan corak yang berbeda antara satu dengan yang lain. Umpamanya, sebelum kemerdekaan, para mahasiswa yang berkuliah di Belanda membentuk Indische Vereeniging (IV) yang kemudian bertransformasi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Kemudian, para mahasiswa berpaham nasionalis radikal di Bandung membentuk organisasi Algemenee Studieclub yang nantinya menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI)  Selain itu, para mahasiswa berpaham sosialis membentuk Unitas Studentsorum Indonesiaensis (USI). Sedangkan, para mahasiswa Islam membentuk Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islamische Studieclub (SIS).

Sekali pun, organisasi-organisasi mahasiswa ini secara selintas, diikat oleh kesamaan ideologis, namun dalam praktiknya, mereka semua disatukan oleh satu cita-cita yang sama yakni membebaskan tanah air mereka dari pengaruh dan eksploitasi penjajah yang tak berkesudahan. Motivasi gerakan mahasiswa kala itu jauh dari kata anasir-anasir keinginan yang mendambakan keuntungan pragmatis. Para alumnus kampus yang dahulunya berkarir menjadi aktivis terbukti berhasil mengemban tugas sejarah mereka dengan baik yakni mengantarkan Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaannya.

Tinggal Kenangan?

Gerakan mahasiswa mengalami pergeseran setelah Indonesia memasuki alam kemerdekaan. Pada masa Pendudukan Jepang, geliat mahasiswa kurang begitu menonjol. Kiprah mahasiswa Indonesia mulai terlihat mencolok manakala Indonesia sedang dan setelah menghadapi Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Pada masa ini, muncul berbagai organisasi mahasiswa yang bernafaskan aliran ideologi dan berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.

Organisasi mahasiswa paling awal yang dibentuk pada awal kemerdekaan Indonesia adalah Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Didirikan oleh para cendikia Islam pada 1948, disusul dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pada 1954, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada 1956 yang dikenal berafiliasi dengan PKI, kemudian Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga muncul menjadi onderbouw Partai NU pada 1960, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada 1964.

Gerakan mahasiswa di Indonesia tampak menggeliat dalam usaha menggulingkan Sukarno dan menaikkan Soeharto sebagai presiden. Saat itu, berbagai organisasi mahasiswa tergabung dalam front Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Namun, kemesraan hubungan Rezim Soeharto dengan mahasiswa ini tidak bertahan lama.  Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) pada 1974 menjadi pemecah hubungan antara keduanya. Pada tahun-tahun berikutnya suara-suara bernada kritis dari para mahasiswa selalu bergema hingga ikut andil mengawal proses penggulingan Soeharto pada 1998. Gegap gempita menyeruak, para mahasiswa zaman itu bergembira karena turut andil dalam melengserkan rezim korup.

Memasuki era Reformasi, gerakan mahasiswa mengalami anomali yang membingungkan. Di satu sisi, mereka selalu menghadirkan nuansa romantisme perjuangan para pendahulunya. Tetapi di sisi lain, unsur-unsur penunjang pergerakan seperti literasi, diskusi, dan aksi tampak semakin menyusut. Aksi demi aksi diinisiasi, namun terasa seperti seremoni. Duhai mahasiswa, mari belajar dari sejarah! (Naufal Al-Zahra)

Penulis merupakan Mahasiswa Bidang Studi Sejarah PPG Prajabatan Unsil 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *