RADAR TASIKMALAYA – Sebagai bahasa pemersatu, Bahasa Indonesia tentu memainkan peran penting dalam menyatukan lebih dari 270 juta penduduk yang berasal dari suku, agama, dan budaya yang berbeda. Namun, dengan seiring berkembangnya globalisasi yang sangat pesat dan meningkatnya pengaruh budaya asing yang kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari, muncul pertanyaan: Apakah Bahasa Indonesia masih menjadi kebanggaan kita, atau hanya sekadar formalitas?
Sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia telah menjadi simbol persatuan dan identitas bangsa. Bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi resmi di berbagai lapisan masyarakat, baik dalam pemerintahan, pendidikan, maupun media massa. Namun, kondisi saat ini menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan, terutama di kalangan generasi muda yang semakin banyak memilih menggunakan bahasa asing atau bahasa campuran dalam percakapan sehari-hari.
Data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 2023 menunjukkan bahwa 70% generasi muda di kota-kota besar lebih sering menggunakan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, di media sosial, bahkan ketika berbicara dengan teman. Hal ini seperti budaya yang sudah dimaklumi oleh masyarakat, karena bahasa asing dianggap lebih “keren” dan relevan dalam pergaulan global yang semakin erat. Nyatanya fenomena ini juga mencerminkan penurunan kebanggaan diri kita terhadap Bahasa Indonesia dan potensi krisis identitas di kalangan anak muda.
Di sekolah-sekolah pun, pelajaran Bahasa Indonesia sering kali dianggap kurang menarik oleh siswa. Berdasarkan survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2022, hanya 45% siswa yang mengaku tertarik pada pelajaran Bahasa Indonesia, sementara lebih dari 60% lebih tertarik pada pelajaran Bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam menjaga relevansi dan kebanggaan terhadap bahasa nasional bagi generasi penerus.
Di lingkungan kampus dan dunia kerja, penggunaan istilah asing sudah menjadi hal yang biasa. Istilah-istilah seperti “meeting,” “deadline,” atau “feedback” seolah lebih diterima jika menggunakan Bahasa Inggris. Bahkan, bahasa campuran seperti “Bahasa Inggris-Indo” sudah menjadi hal yang lumrah di perbincangan sehari-hari.
“Di kampus, lebih keren kalau kita mencampur Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam percakapan. Hal itu membuat kita terlihat lebih cerdas dan kekinian,” ujar Sahril Yogapranata, mahasiswa Universitas Terbuka. Menurutnya, penggunaan istilah asing dianggap lebih hebat dan sesuai dengan budaya di lingkungannya.
Tetapi tanpa kita sadari di balik fenomena ini, ada bahaya yang mengancam Bahasa Indonesia baik dalam lingkup formal maupun informal. Kondisi ini tidak hanya mengurangi kebanggaan terhadap bahasa nasional, tetapi juga menurunkan kemampuan generasi muda dalam menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Meski menghadapi tantangan yang cukup signifikan, ada sejumlah upaya pemerintah yang telah dilakukan untuk mengembalikan kebanggaan terhadap Bahasa Indonesia. Salah satunya melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang terus melakukan kampanye cinta Bahasa Indonesia pada masyarakat, yang sering disebarkan melalui media sosial maupun kegiatan literasi di sekolah. Beberapa upaya yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa adalah mempopulerkan kembali karya sastra Indonesia yang relevan dengan situasi masa kini, dan mempromosikan penggunaan bahasa yang baik di lingkungan pendidikan.
Selain pemerintah, figur publik juga memiliki peran penting dalam mempromosikan Bahasa Indonesia. Banyak penulis, musisi, dan kreator konten yang berusaha mempopulerkan Bahasa Indonesia dengan cara yang kreatif dan menarik. Musisi seperti Tulus dan Efek Rumah Kaca, misalnya, terus menggunakan lirik berbahasa Indonesia dalam lagu-lagu mereka dan berhasil menarik perhatian generasi muda. Tindakan mereka menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia bisa menjadi medium yang kuat dan ekspresif untuk berkarya, sekaligus menjadi alat komunikasi yang indah dan bermakna.
“Saya merasa, dengan menggunakan Bahasa Indonesia dalam karya saya, saya bisa berkomunikasi lebih jujur dan langsung kepada pendengar. Bahasa Indonesia sangat kaya, dan saya ingin menunjukkan bahwa kita tidak perlu merasa minder dengan bahasa kita sendiri,” ujar Tulus dalam sebuah wawancara.
Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi ia adalah cermin budaya, sejarah, dan identitas kita sebagai bangsa. Ketika Bahasa Indonesia mulai dianggap hanya sebagai formalitas, kita perlu mengingat peran penting yang dimainkannya dalam perjalanan bangsa. Bahasa Indonesia adalah perekat, pemersatu, dan cerminan keberagaman Indonesia.
Menguasai bahasa asing adalah hal yang penting dan bermanfaat di era globalisasi ini. Namun, kebanggaan terhadap Bahasa Indonesia tidak boleh hilang. Kita harus tetap menjaga, merawat, dan mempromosikan Bahasa Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi. Bahasa Indonesia adalah bagian dari identitas kita sebagai anak bangsa, dan identitas itu adalah sesuatu yang tak ternilai harganya.
Seberapa pun canggihnya teknologi dan seberapa pun cepatnya perubahan zaman, bahasa tetap menjadi salah satu identitas terkuat yang kita miliki. Jangan biarkan identitas itu luntur hanya karena kita lupa untuk menjadikannya kebanggaan, dan bukan sekadar formalitas. Mari kita rawat Bahasa Indonesia dengan sepenuh hati, agar tetap menjadi bagian dari hidup kita yang kita banggakan, sekaligus menjadi warisan bagi generasi selanjutnya. (Nita Nurmala)
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Siliwangi Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia