Bahasa dan Simulakra Dunia Digital

Sosial, Teknologi100 Dilihat

DUNIA berkembang begitu pesat. Teknologi dengan segala embel-embel digitalnya membawa peradaban manusia pada era baru. Era digital perlahan membawa kita pada pergeseran konsep realitas. Pada era digital ini, realitas tidak lagi mengacu pada sesuatu yang riil semata.

Kini kita mengenal istilah realitas semu atau bahkan realitas ilusif yang sengaja dibentuk guna kepentingan tertentu. Fenomena tersebut yang dikenal dengan konsep simulakra. Simulakra merupakan istilah yang dipopulerkan oleh sosiolog dan filsuf postmodernism, Jean Baudrillard untuk mendeskripsikan keadaan manipulatif yang tercipta melalui tanda dan citra.

Siap atau tidak, kita sebagai bagian dari peradaban sudah dipastikan akan berada dalam gelombang perubahan tersebut. Adaptasi menjadi kata kunci agar kita dapat bertahan bahkan bersaing dalam era digital seperti sekarang. Adaptasi perlu dilakukan dalam berbagai ranah, termasuk bahasa dan fungsinya dalam konteks komunikasi digital.

Berbicara komunikasi digital, tidak mungkin lepas dari media sosial. Secara esensi banyak dampak positif dari kehadiran media sosial. Pada awal kemunculannya, media sosial hadir sebagai wadah interaksi sosial dalam bentuk maya. Kehadiran media sosial membuat jarak tak lagi jadi kendala bagi interaksi. Kehadiran media sosial membuat alur distribusi informasi cenderung bebas tak berbatas. Media sosial kini menjadi salah satu corong dari segala bentuk informasi.

Bak pisau bermata dua, selain dampak positif yang dirasakan, kehadiran media sosial juga teridentifikasi memunculkan problematika-problematika baru dalam masyarakat. Dengan segala perkembangan dan pembaharuan yang ada, media sosial seharusnya dapat menjadi wadah dialogis yang ideal.

Namun dewasa ini, khususnya di Indonesia, penggunaan media sosial didominasi dengan hal-hal yang bersifat narsistik, menjadi sarana utama untuk self branding sesuai “kepentingan” sang empunya akun. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, tetapi atmosfer media sosial sebagai wadah interaksi dialogis positif perlahan berkurang. Semua fokus pada sisi subjektif.

Warganet kita terlalu fokus pada diri sendiri, apa yang disenangi, hingga citraan yang harus ditampilkan dalam media sosial masing-masing. Tidak jarang saat ada pihak yang berbeda sudut pandang, debat kusir dan saling hujatlah yang jadi jalan keluar, bukan dialog ataupun diskusi.

Hal lain yang menjadi prolematika dalam bermedia sosial adalah penyebaran hoaks. Distribusi informasi yang cenderung tidak terbatas membuat media sosial menjadi salah satu sumber hoaks terbesar di Indonesia. Hal tersebut menjadi berbahaya saat dipadukan dengan minat baca yang rendah dari masyarakat Indonesia.

Mengacu pada problematika yang ada, setidaknya terdapat tiga kondisi yang jadi penyebab utama. Pertama, kondisi bias konfirmasi. Bias konfirmasi ini adalah kecenderungan warganet untuk mengonfirmasi atau memvalidasi hal-hal yang hanya sesuai dengan kepentingannya (subjektif) saja. Fakta-fakta yang tidak mendukung cenderung diabaikan. Tentu dengan kondisi seperti itu berpotensi memunculkan objektivitas yang semu.

Kedua, adanya titik buta. Titik buta merupakan kondisi ketidakmampuan warganet mendeteksi kelemahan dari argumen atau sudut pandang yang dibawa. Hal tersebut berpotensi memunculkan perdebatan dengan esensi dan tendensi yang negatif. Ketiga, adanya fanatisme buta. Kondisi ini adalah kondisi saat warganet mengadopsi pendapat dominan begitu saja, tanpa adanya sikap kritis.

Jika sebelumnya kondisi titik buta fokus pada ketidakmampuan mendeteksi kelemahan argumen atau sudut pandang yang dibawa, kondisi fanatisme buta satu tingkat di atasnya. Bukan lagi perkara “ketidakmampuan”, kondisi fanatisme buta sudah pada fase “keengganan” untuk mendeteksi kelemahan-kelemahan tersebut.

Contoh kasus, misalkan ada tokoh yang jadi idola, dalam kondisi fanatisme buta semua yang dilakukan dan dikatakan tokoh tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak dan tidak terbantahkan.

“BAHASA” HADIR SEBAGAI SOLUSI

Era digital membuat penyebaran informasi menjadi lebih luas dan luwes, menjadi lebih terbuka dan merdeka. Perkembangan tersebut juga perlu didukung oleh kesiapan semua elemen dalam mencerna beragam informasi. “Siap” dalam konteks ini, terepresentasi dalam sikap bijak dan kritis. Dua hal yang seakan kontradiktif, tetapi pada dasarnya sikap kritis dalam mencerna informasi pada kondisi  seperti sekarang (era disrupsi informasi) adalah bentuk kebijaksanaan yang paling ideal.

Bahasa menjadi salah satu solusi atas problematika dan kondisi yang dipaparkan sebelum ini. Terdapat beberapa fungsi bahasa dalam konteks komunikasi digital. Pertama bahasa berfungsi sebagai sarana berpikir kritis, kedua sebagai sarana berpikir strategis, dan ketiga sebagai sarana analisis sintesis. Jika ketiga fungsi ini sudah dijalankan dengan ideal, problematika komunikasi digital khususnya dalam ruang lingkup media sosial akan dapat diminimalisasi.

Warganet yang berpikir kritis akan mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam teks yang dibacanya, lebih skeptis, tidak mudah terdoktrin, dan akan melihat isu dari berbagai sudut pandang. Warganet yang berpikir strategis akan dapat merespons informasi yang didapat dengan respons yang ideal dan penuh pertimbangan. Sebagai sarana analisis sintesis bahasa berikatan erat dengan logika. Kita dapat mengidentifikasi sebuah informasi valid/tidak salah satunya dari kelogisan bahasa yang digunakan.

Tulisan ini ditutup dengan sebuah ungkapan, “kuasai bahasa, kuasai dunia”. Ungkapan tersebut mengejawantahkan kekuatan besar yang dimiliki bahasa sebagai “alat” untuk menguasai “dunia”. Terkesan naif, tetapi begitulah kenyataannya. Dunia dipenuhi permainan citra dan propaganda. Bahasa sebagai alat komunikasi menjadi bagian vital dari dua kegiatan tersebut. Melalui bahasa citra bisa dibangun sesuai keinginan. Melalui bahasa pula propaganda dilancarkan sesuai kebutuhan. Keinginan dan kebutuhan tersebut menjadi bagian dari konteks yang lebih besar, yakni konteks “kepentingan”. Oleh karena itu, bahasa menjadi bagian penting dalam dunia digital dengan segala bentuk “simulakra”-nya. (Fikri Hakim MHum)

Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Siliwangi;  Penggagas Komunitas Jagabasa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *