Rakyat Berdaulat

Politik152 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Barangkali sebagai pembelajaran, cukuplah sudah pesta demokrasi tahun-tahun ke belakang  membentuk karakter rakyat menjadi lebih dewasa dan memiliki daya tawar yang mahal. Rakyat pada hari ini bukan hanya sebatas nomenklatur atau legitimasi kelembagaan yang biasa, melainkan sebentuk komuni-manifes yang luhung. Di mana segala tabiat kehidupan seyogianya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyatnya.

Rakyat sebagai bahan bakar utama bagi mereka yang hendak melenggang ke kursi legislatif dan eksekutif, sudah pasti punya hak daulat yang tinggi dan menjadi perhitungan paling urgen bagi kemenangan para kontestan. Hanya dari sekian peristiwa hajat demokrasi yang sudah berlangsung, sebagian besar rakyat belum mampu mengilatkan tajinya kepada mereka.

Menjelang perhelatan akbar pesta demokrasi, hal paling mustahil jika tidak terjadi transaksi politik yang besar.  Mulai dari lobi, logistik, menderma (musiman) kepanti-panti, kepada masyarakat ekonomi lemah, serta persiapan serangan fajar itu sendiri. Maka dari itu, menurut hemat saya, rakyat hari ini jangan kepalang tanggung memasang bandrol setinggi mungkin untuk dada dan punggungnya, sebagai bentuk pengejawantahan dari daulat itu sendiri.

Para kontestan yang bakalan manggung, mencari banyak peluang untuk memomuliskan dirinya dengan memajang fotonya, menebar pesona dan visi-misi dalam berbagai bidang dan media. Lantaran demikian rakyat wajib berwiraswasta menyewakan sebidang lahan dada dan punggungnya, bilamana dari sekian calon ada yang meminta untuk dipakai kaos bergambar wajahnya. Itikad ini dalam ilmu ekonomi boleh jadi sebagai usaha sewa jasa, pengembangan ekonomi kerakyatan dalam penopang ekonomi makro.

Di banding papan reklame/billboard, tubuh rakyat lebih puitis karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan luwes sebagai media promosi. Tubuh rakyat sungguh dinamis juga luwes untuk masuki tempat-tempat peribadatan dan institusi pendidikan. Sementara papan reklame, baliho, tidak mungkin seatraktif tubuh rakyat. Meski pada kenyataan selalu tampak pamflet-pamflet nakal yang sengaja dimunculkan di arena terlarang.

Tubuh rakyat begitu puitis untuk dijadikan modal kampanye daripada visi-misi dan penyingkatan nama pasangan yang selalu memilih idiom agama. Tubuh rakyat suara paling daulat dalam segala hal.  Sementara kampanye di atas mimbar kebanyakannya semacam proses daur ulang dari sekian pesanan yang tak jarang dipaksakan.

Rakyat yang baik adalah rakyat yang bersikap, rakyat yang tidak terpancing mengobarkan semangat partai politik  dan para calon tertentu hanya dengan 25  hingga 50 ribu rupiah, yang kemudian tumplek ke jalan raya dan pelosok-pelosok kecamatan, mengencangkan tarikan knalpot dan pengeras suara lainnya.

Rakyat yang baik, rakyat yang memberikan kritik cerdas bagi visi-misi masing-masing calon yang terpampang jelas dalam baliho di pusat-pusat kota, pada pamflet-pamflet, dan stiker di kaca-kaca mobil pribadi juga angkutan umum yang selama ini nyaris luput dan pantauan kita.

Alhasil, dalam waktu dekat seluruh daerah setanah air ini hendak menyambut momen demokrasi. Beberapa parpol tengah merumuskan beragam strategi, menilai calon pasangan masing-masing, serta menghitung pengeluaran untuk setiap lumbung suara.

Di lain pihak, ada yang sowan ke pesantren, organisasi-organisasi kemasyarakatan, melalui program-program penyuluhan, pemberian bantuan, pembentukan organisasi musiman, hingga menjadi sponsor tunggal dalam salah satu even yang memberikan kesempatan kepada sang tokoh untuk memberikan beberapa patah sambutan.

Cara seperti ini sebenarnya gaya lama. Tradisi arkais untuk menambang suara dari sebagian rakyat yang empuk dininabobokan retorika. Dan selama rakyat betah dininabobokan, selama itu pula teriakan-teriakannya yang kritis mudah ditepis dan dibungkam, atau cukup tersangkut dalam yel-yel di lobang mikropon.

Pesta demokrasi tak ubahnya hajat bagi para pemegang kuasa (uang) untuk intim dengan panggung dan ribuan massa. Hangat dengan goyangan dangdut pengumpul massa, lalu mengumbar retorika. Kemudian pemandangan ratusan kepala, dari anak kecil sampai dewasa rela memanggang dirinya di bawah terik matahari di lapangan terbuka, meski ketika pulang ke rumahnya tak satu pun pesan yang mereka terima selain pseudo-uforia.

Mereka yang mahir berbicara di mimbar luput dari serangan kritis rakyatnya. Selain gencar diserang lawan politiknya. Dan serangan lawan politik tidak serta merta memberikan informasi menyehatkan selain nada saling menjatuhkan, sikut kiri-kanan.

Pesta demokrasi dinilai berhasil seandainya budaya rakyat yang berdaulat telah benar-benar berada pada relnya. Tidak lagi hidup dalam iming-iming sembako atau patuh pada pilihan yang ditentukan salah satu pimpinannya.

Realita ini terasa kontardikitif dengan banyaknya kalangan yang semestinya dijadikan panutan spiritual oleh seluruh lapisan rakyatnya, tiba-tiba terjebak dalam politik praktis dan secara terang-terangan mendukung penuh dengan membawa serikat “nama” besar. Miris rasanya ketika melihat ranah-ranah pengemban amanat spiritual terkotak sudah dalam kisruh politik dan kepentingan.

Bukankah pengalaman itu guru paling baik? Hari ini momentum terbaik untuk untuk mengingatkan sejatinya rakyatlah sebagai pemegang hak daulat yang merdeka. Rakyat sudah waktunya berani berkata “tidak” untuk menjaga harga diri dan idealismenya, agar para pemanggung diperas keras otaknya saat menghadapi rakyat yang sudah memiliki tabiat seperti ini.

Belum terlambat untuk bersikap malu menerima angpau serangan fajar yang tak seberapa itu, dengan kontribusi mencentang atau mencoblos foto mereka di bilik suara. Menolak penyeragaman pelimpahan suara kepada salah satu calon oleh karena daulat dari salah satu tokoh yang dituakan. Serta menjaga diri dari hipnotika foto-foto mereka yang terpampang di baliho-baliho ukuran besar yang selalu pasang gaya tersenyum.

Hak daulat yang dimiliki rakyat tak bisa ditawar-tawar lagi. Dan pada pesta demokrasi mendatang, para calon pemimpin harus sudah siap berhadapan dengan sosok wajah rakyatnya yang baru, yang evaluatif dan mahal. Viva Rakyat! (Budi Riswandi)

Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *