Memahami Omnipotence Paradox dan Logical Fallacy 

Sosial821 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Omnipotence paradox adalah paradoks tentang ke-Maha Kuasa-an Tuhan dengan bentuk pertanyaan yang memaksa penjawab memberikan jawaban bahwa Tuhan tidak mahakuasa. Mari kita mulai dengan mengetahui pertanyaanya :

Jika Tuhan maha kuasa, apakah Tuhan mampu membuat batu yang sangat berat sehingga Tuhan Tidak bisa mengangkat batu tersebut?”.

Sepintas pertanyaan ini seperti pertanyaan tercerdas yang pernah kita dengar, padahal ini adalah pertanyaan terbodoh yang pernah ada. Kenapa demikian?, Jika kita bedah pertanyaan ini, maka kita akan menemukan sebuah kesesatan dalam berpikir atau logical fallacy. 

Logical fallacy atau sesat pikir adalah adanya kesalahan dalam menyusun struktur logika yang tepat dalam membuat argumentasi. Dalam membuat pertanyaan pun tentu membutuhkan ketepatan struktur logika agar bisa memberikan pertanyaan yang mudah dipahami dan tidak memaksa pada satu jawaban yang diinginkan oleh penanya. Contoh ; Seseorang bertanya pada seorang laki-laki

Apakah anda sudah berhenti mabuk?”

Jawaban dari pertanyaan ini hanya menyediakan jawaban Ya dan Tidak, yang kemudian memaksa penjawab untuk mengakui bahwa dia adalah seorang pemabuk atau pernah mabuk meskipun di tidak pernah mabuk. Oleh karena itu pertanyaan ini menjadi valid jika pertanyaan ini diajukan kepada Seorang pemabuk/pernah mabuk. Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang yang bukan pemabuk/tidak pernah mabuk, bagaimana ia menjawab hal yang tidak pernah dilakukan. Jika dia menjawab ya/tidak, maka secara tidak langsung dia mengakui bahwa dirinya seorang pemabuk padahal dia bukan seorang pemabuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanyaan tersebut mempunyai logical fallacy atau sesat pikir.

Mari kita beranjak kepada pembahasan utama kita :

Jika Tuhan maha kuasa, apakah Tuhan mampu membuat batu yang sangat berat sehingga Tuhan Tidak bisa mengangkat batu tersebut?”

Sama halnya dengan contoh sebelumnya, pertanyaan ini hanya menyediakan jawaban Ya atau Tidak. Selanjutnya, pertanyaan ini selalu mengarah kepada kesimpulan bahwa Tuhan kehilangan ke-Maha Kuasaan-Nya. Jika kita menjawab Yamaka pertanyaan berlanjut “jika Tuhan berhasil menciptakan batu tersebut, dan Tuhan tidak bisa mengangkat batu ciptaan-Nya sendiri maka Ia kehilangan kuasa atas ciptaanya sendiri“. selanjutnya, jika kita menjawab tidak, maka sudah jelas jawaban itu menolak ke-Maha Kuasaan Tuhan karena tidak bisa menciptakan batu yang berat dan tidak bisa diangkatnya”.

Di sini, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa ada fallacy dalam pertanyaan tersebut, karena jawaban apapun akan menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu Tuhan tidak Maha Kuasa.

Kita bisa menggali hal lain dan membuktikan betapa kacaunya pertanyaan tersebut yaitu dengan mengingat siapa yang mengajukan pertanyaan ini. Pertanyaan ini biasanya diajukan oleh seorang atheis kepada seorang theis untuk menolak keberadaan Tuhan.

Pengetahuan manusia terhadap Tuhan sangatlah terbatas, bahkan bagi seorang theis sekalipun. Jangankan berbicara tentang dimensi penciptaan, ruang atau waktu, bahkan hanya sekedar mengetahui wujud Tuhan tidak ada manusia yang tahu persis termasuk seorang Nabi sebagai utusan Tuhan. Dengan keterbatasan pengetahuan manusia terhadap Tuhan, maka pertanyaan tersebut sebenarnya tidak bisa diajukan karena mempertanyakan Tuhan yang manusia tidak ketahui. Bagaimana cara menyuruh Tuhan?. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengimani, tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang di larang-Nya melalui wahyu Tuhan yang disampaikan melalui Nabi dan kitab suci.

Untuk menanggapi pertanyaan tersebut akan lebih bijak jika tidak dijawab karena pertanyaanya pun salah atau  mengklarifikasi logical fallacy pada pertanyaan tersebut. (Ari Farizal Rasyid SUd MAg)

Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Siliwangi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *