Paradoks Bulan Puasa

Kesehatan108 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Bulan suci Ramadhan merupakan waktu yang tepat bagi umat muslim selain ibadah shaum, juga untuk meningkatkan ibadah lain, baik yang wajib maupun sunnah. Bulan yang penuh rahmat ini pun merupakan sarana yang tepat untuk belajar menahan diri dari segala bentuk nafsu, obsesi serta ambisi yang tanpa kendali.

Momentum yang tepat bagi orang Islam untuk hidup sederhana, waktu makan dan minum yang dibatasi, tentunya akan mengurangi pengeluaran yang bersifat materi. Gaya hidup yang biasa bebas setiap saat, kini harus dialihkan pada sesuatu yang lebih mendekatkan diri pada Illahi. Bulan puasa merupakan tempat bagi manusia untuk tidak hidup berlebihan. Sebagaimana dalam Al-Quran surat Al Araf ayat 31. “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Namun, yang kerap kali terjadi sebaliknya, kesederhanaan malah berubah menjadi kemewahan. Pola konsumsi yang seharusnya berkurang malah berlipat ganda. Hal ini dapat dijumpai hampir setiap keluarga, belanja kebutuhan pokok akan jauh meningkat terlebih nanti menjelang hari raya Idul Fitri. Permainan harga pasar pun tidak kalah seru karena seolah sudah menjadi tradisi bahwa harga kebutuhan pokok mendadak semua naik.

Bagi yang mampu seolah ini ajang untuk menghabiskan dan menghamburkan anggaran keluarga, bahkan terkadang malah mubazir, membeli yang tidak dibutuhkan dan makanan yang tidak sempat dimakan. Efek bagi yang kurang mampu, mereka pun berupaya untuk mengadakan sesuatu yang diluar kemampuan. Merasa malu kalau tidak belanja Ramadhan, tidak merasa lebaran kalau tidak ada pakaian baru.

Pusat perbelanjaan semakin penuh sesak, berbagai motif pakaian tersedia, belanja pada pasar online pun lebih dari biasanya. Begitu pula dengan tempat kuliner yang menjajakan menu takjil dan buka puasa, tempat yang biasa sepi berubah jadi pasar dadakan. Memang memberikan berkah tersendiri bagi para pedagang, roda ekonomi lebih berputar dibandingkan pada bulan yang lain.

Dalam kehidupan bernegara pun tidak kalah paradoks, berapa banyak anggaran untuk kegiatan seremonial, seperti safari Ramadhan, buka puasa bersama ke berbagai tempat, atau kegiatan yang lebih formal dengan dalih program bulan Ramadhan. Tak jarang juga dijumpai para pejabat dan politisi yang mendadak religius, mendatangi masjid-masjid rakyat, mengunjungi pesantren dan mendekati ulama. Namun, itu semua hanya demi penilaian publik untuk  mencapai  tujuan politik tertentu,  kampanye terselubung apalagi di tahun politik ini menjelang tahun Pemilu serentak 2024.

Fenomena lain muncul dalam dunia selebriti, terutama para artis perempuan yang tiba-tiba tampil mengenakan hijab. Acara televisi terutama pada media yang mainstream malah bermunculan program lawak menjelang buka puasa dan menemani sahur. Kadang isinya hanya berupa saling hina dan bully yang jauh dari kesan bulan suci, kadang yang bikin sedih durasi para penceramah ketutup sama durasi para pelawak, tontonan yang sama sekali tidak menuntun.

Seandainya memaknai puasa ini secara mendalam, umat manusia lebih bertawadhu, niscaya akan banyak orang yang memiliki cadangan lebih untuk kebutuhan yang lebih penting setelah melewati ujian pada saat Ramadhan ini. Bagi yang sudah terbiasa dengan hidup kurang berkecukupan pun tentunya bulan ini akan terasa lebih bermakna, terlebih jika konsistensi ibadah terjaga. Intinya semua orang mampu menahan diri dan menghindari perilaku berlebihan.

Kemudian negara hadir untuk memberikan edukasi bahwa puasa bukan sarana untuk hidup berlebihan, tentunya dengan contoh nyata dari pemangku kebijakan. Apalagi pasca pandemi ini, pemulihan ekonomi maupun yang lain harus menjadi prioritas. Ada yang lebih penting dari sekadar ambisi dan obsesi politik penguasa.

Hindari politik kebencian dan saling menjauhkan satu sama lain. Jadikanlah puasa tahun ini sebagai masa untuk mengakhiri polarisasi yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun. Bersainglah secara sehat, tunjukan ide dan kebaikan masing-masing calon, bukan malah sambil menghujat.

Media pun sama, berikanlah warga negara tontotan yang bukan hanya menghibur demi keuntungan, tapi khusus bulan suci,  nilai religi adalah yang utama. Para artis bukan hanya memoles fisik khusus bulan puasa, tetapi ajang untuk menjadi public figure yang panutan, beperilaku baik secara fashion maupun inner beauty.

Walau terkesan banyak paradoks,  euforia puasa begitu spesial di Indonesia, dianggap sebagai sebuah tradisi atau budaya,  mulai dari munggahan, ngububurit dan mudik. Apalagi sempat terhenti pada saat pandemi. Memaksa orang lebih dari menahan diri tapi malah harus berdiam diri.

Semoga saja tempat ibadah malah jauh lebih meriah setelah sempat mengalami pembatasan juga. Hausnya orang akan perilaku konsumtif, berbanding lurus dengan kerinduan meningkatkan nilai ibadah. Rohani dan jasmani akan lebih sehat dan kuat. Istikamah dalam kebaikan, berhasil mengalahkan segala macam godaan, serta mampu mencapai kemenangan yang nyata. (K. Adi Saputra, S.Pd.,M.Pd.)

K. Adi Saputra, S.Pd.,M.Pd. adalah Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *