RADAR TASIKMALAYA – Penanganan bencana alam yang dilakukan pemerintah saat ini mayoritas bersifat kuratif dan insidental, sehingga apabila dilihat dari aspek waktu dan biaya yang dikeluarkan dinilai sangat tidak efektif dan tidak efisien.
Di dalam Al-Qur’an (Surah Ar-Ruum ayat 41) dijelaskan bahwa bencana atau kerusakan yang terjadi di muka bumi ini adalah akibat atau ulah perbuatan manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, jika kita melihat lebih jauh, pasti terdapat keterkaitan dan hubungan sebab akibat antara timbulnya bencana dan aktivitas manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya. Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan tatanan kehidupan di bumi ini dalam kondisi yang seimbang dan teratur, sehingga kerusakan dan ketidakseimbangan hanya akan terjadi apabila terdapat aktivitas pengelolaan alam yang tidak proporsional dan tidak bertanggungjawab.
Manusia sebagai makhluk hidup yang sangat bergantung pada lingkungan, sudah seharusnya menjaga kelestarian lingkungan tersebut untuk menunjang dan memenuhi berbagai kebutuhannya. Sebagai contoh, kita sangat membutuhkan air bersih untuk menunjang berbagai kebutuhan kita seperti minum, mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya, akan tetapi perilaku kita malah mencerminkan sikap orang yang sedang memutus suplai air tersebut untuk sampai kepada kita di antaranya dengan merusak hutan-hutan di pegunungan yang berfungsi menyerap air untuk ditampung menjadi mata air, mencemari sungai dengan sampah-sampah yang seenaknya kita buang secara sembarangan, dan aktivitas merusak lainnya. Ketika bencana datang, seringkali dengan mudahnya menyalahkan orang lain terutama pihak pemerintah yang dianggap tidak serius mengelola uang rakyat. Padahal jika kita termasuk orang-orang yang beriman dan memiliki akal, maka tindakan perbaikan seharusnya dilakukan pada ruang lingkup terkecil yaitu di lingkungan kita masing-masing.
Memang di dalam konteks penanganan masalah bencana yang dilakukan oleh pemerintah, masih banyak aspek yang harus diperbaiki dan ditingkatkan, salah satunya adalah masalah mindset atau pola pikir. Selama ini, penanganan masalah kebencanaan yang dilakukan pemerintah cenderung kurang memperhatikan aspek pencegahan, malah lebih bersifat kuratif dan insidental. Sehingga bencana alam seolah diperlakukan sebagai “Annual Event” dimana masyarakat harus siap menerima dan menyambutnya dengan berbagai persiapan yang matang. Dari sisi pencapaian target dan tujuan pembangunan nasional maupun daerah, hal ini tentu sangat tidak efektif karena akan memakan lebih banyak waktu untuk menyelesaikannya. Selain itu, pencapaian indikator-indikator dalam pembangunan nasional maupun daerah juga pasti sulit tercapai dan terealisasi.
Dari sisi penggunaan sumber daya, baik sumber daya manusia yang dikerahkan, perlengkapan yang dibutuhkan, serta jumlah dana yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah bencana tersebut juga sangat tidak efisien karena pasti akan menyedot pemanfaatan dan penggunaan sumber daya yang jauh lebih besar. Padahal, jika penanganan masalah kebencanaan dilakukan dengan menjalankan prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi, maka kelebihan waktu dan sumber daya, bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan lain yang tidak kalah penting untuk segera diselesaikan. Penyelesaian yang efektif belum tentu efisien dan begitu juga sebaliknya. Langkah penyelesaian yang efisien bisa saja membutuhkan sumber daya yang sangat besar, sedangkan yang efektif barangkali memakan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita semua (masyarakat bersama-sama dengan pemerintah) harus dapat mendorong efektifitas dan efisiensi dalam penanganan masalah bencana ini agar mencapai titik optimum.
Kurikulum Mitigasi Bencana
Program pencegahan atau mitigasi bencana harus dilakukan sejak dini dan masuk di dalam muatan yang diajarkan dalam sistem pendidikan kita, sehingga kemampuan mitigasi bencana dapat terbentuk di dalam setiap warga Negara dan kemudian bertransformasi menjadi budaya bangsa yang selalu siap dalam menghadapi setiap kemungkinan bencana yang ada. Karena seringkali, korban bencana tidak ditentukan oleh besar kecilnya bencana tersebut, akan tetapi karena ketidaktahuan dan kesalahan dalam menghadapi bencana yang terjadi.
Sebagai salah satu Negara yang termasuk kategori rawan bencana, baik banjir, tsunami, gunung meletus, dan bencana lainnya, sudah seharusnya kita mengalokasikan dana pencegahan bencana yang lebih besar melalui kegiatan edukasi dan mitigasi bencana di seluruh lapisan masyarakat, khususnya di kawasan yang dekat dengan potensi bencana tersebut. Mitigasi bencana harus dilakukan sejak pra bencana sampai pasca bencana. Mitigasi pra bencana yang sangat perlu untuk ditingkatkan adalah penyiapan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana, sedangkan mitigasi pasca bencana lebih diarahkan pada penyiapan kapasitas dan mental masyarakat dalam melakukan proses recovery pasca bencana agar tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan dan penderitaan.
Sebagai contoh kita bisa melihat dan meneladani bagaimana mental masyarakat Jepang ketika wilayahnya dilanda berbagai bencana seperti gempa yang terjadi dalam selang waktu berdekatan dan juga bencana banjir. Mereka dengan segera dan tanpa berlarut-larut langsung membangun kembali wilayahnya agar pulih seperti sedia kala. Begitu pula jika kita melihat mental warga di Gaza Palestina yang tanpa menunda-nunda langsung membangun kembali kotanya pasca diluluhlantakkan oleh rudal-rudal Zionis Israel.
Alhamdulillah, secara persentase pemerintah terus menaikan alokasi anggaran penanggulangan bencana melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dana on call atau dana siap pakai manakala terjadi bencana. Total pada tahun 2022 saja, anggaran yang dialokasikan bagi BNPB dan telah disetujui DPR adalah 1,7 Triliun (Antara news, 2021). Tinggal bagaimana kita mengawal serta mengoptimalkan program edukasi dan mitigasi bencana tersebut supaya berjalan lancar, tidak dikorupsi, dan tepat sasaran sehingga setiap program dalam penanganan kebencanaan dapat berjalan efektif dan efisien. (Dr. Dita Agustian, M.Pd.)
Dr. Dita Agustian, M.Pd. adalah Dosen Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Siliwangi.