Menyikapi Indonesia sebagai Juara Sampah Plastik di Dunia

Lingkungan77 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dewasa ini sampah masih menjadi permasalahan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sebagai hasil kegiatan manusia, maka seharusnya peningkatan timbulan sampah diimbangi dengan kemampuan pengelolaan sampah yang baik sehingga tidak menimbulkan masalah yang serius bagi lingkungan dan kesehatan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2022, timbulan sampah di Indonesia mencapai 18,89 juta ton/tahun. Namun, sampah yang dikelola baru mencapai 77,58% atau 14,66 juta ton/tahun. Sedangkan sisanya masih terdapat 22,42% atau 4,24 juta ton/tahun sampah yang tidak terkelola.

Berdasarkan komposisinya, jenis sampah paling banyak di Indonesia adalah sampah sisa makanan (41,1%,) kemudian sampah plastik (18,2%). Sejalan dengan data tersebut, banyaknya sampah plastik yang dihasilkan masyarakat Indonesia menjadikan Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan penghasil sampah plastik terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China pada tahun 2020. Pada tahun tersebut, Indonesia menghasilkan sampah plastik sebanyak 67,8 juta ton. Sampah plastik juga berpotensi mencemari ekosistem laut. Hasil perkiraan World Population Review sekitar 4,8 hingga 12,7 juta meter ton plastik mencemari laut setiap tahunnya dan 5 negara sebagai kontributor sampah plastik terbanyak di dunia pada tahun 2021 adalah Cina, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Menurut catatan World Population Review, terdapat 56 ribu ton sampah plastik di laut Indonesia pada tahun 2021.

Sampah plastik memberikan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Kantong plastik terbuat dari zat ethylene yang merupakan hasil penyulingan antara gas dan minyak. Penggunaan minyak dan gas sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui menyebabkan sumber daya tersebut akan cepat habis. Plastik bersifat sulit terurai karena bukan berasal dari komponen biologis. Proses penguraian sampah plastik bahkan memerlukan waktu yang sangat lama mencapai 100 sampai dengan 500 tahun. Tentu saja hal ini akan menimbulkan masalah karena dapat mencemari air, tanah bahkan udara. Plastik merupakan senyawa berbasis karbon yang mengandung beberapa komponen racun, di antaranya ftalat, bahan kimia polifluorinasi, bisphenol-A dan antimon trioksida, yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Proses pembakaran sampah plastik, apalagi jika pembakarannya tidak sempurna akan menghasilkan zat-zat pencemar udara yang salah satunya dapat menimbulkan efek rumah kaca. Zat-zat pencemar tersebut diantaranya furan, merkuri, dioksin, dan bifenil poliklorinasi. Dioksin yang terhirup manusia dapat memicu terjadinya kanker, gangguan sistem syaraf, pembengkakan hati dan gejala depresi. Dalam proses penguraian sampah plastik juga akan dilepaskan gas karbon dioksida dan gas lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya masalah yang berbeda seperti perubahan iklim, pemanasan global dan hujan asam. Sampah plastik juga mengandung mikroplastik yang bersifat mudah mencemari lingkungan melalui sumber primer dan sekunder. Mikroplastik yang terbuat dari bahan kimia berbahaya dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

Kompleksnya dampak yang diakibatkan sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik, seharusnya dapat menjadi fokus perhatian, terlebih Indonesia telah dinobatkan sebagai salah satu negara yang menyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan sampah telah tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam UU tersebut, upaya pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan sampah. Hingga tahun 2022, data KemenLHK menunjukkan upaya pengurangan sampah yang sudah dilakukan baru mencapai 26,48% atau 5 juta ton/tahun. Adapun upaya penanganan sampah terhadap timbulan sampah yang ada baru mencapai 51,1% atau 9,65 juta ton/tahun. Artinya, Indonesia masih mengalami masalah dalam pengurangan dan penanganan sampah secara umum. Upaya pengurangan sampah itu sendiri terdiri dari konsep 3R yang dikenal dengan istilah ‘reduce’, ‘recycle’ dan ‘reuse’. Upaya ’reduce” dilakukan melalui pembatasan timbulan sampah. Upaya ‘recycle’ dilakukan melalui pendaur ulangan sampah; dan ’reuse’ adalah pemanfaatan kembali sampah.

Mengingat sumber penghasil sampah terbesar adalah dari rumah tangga (43,3%,), kemudian 24,1% berasal dari pasar tradisional, 10,5% bersumber dari kawasan, 8,6% dari pusat perniagaan, dan sisanya dari sumber yang lain. Maka, masyarakat memiliki peran penting untuk dapat berpartisipasi aktif membantu pemerintah dalam pengelolaan sampah di Indonesia, terutama pada upaya pengurangan timbulan sampah atau reduce di tingkat paling hulu atau di sumbernya.

Dalam skala rumah tangga, untuk dapat mengurangi timbulan sampah atau reduce, masyarakat dapat mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Seiring dengan hal tersebut, sebetulnya Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.71/Men LHK – II/ 2015 tentang Pembatasan Pemberian Kantong Plastik, yang berisi himbauan kepada pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota termasuk produsen serta pelaku usaha melakukan upaya untuk menstimulus pengurangan dan penanganan sampah plastik. Awalnya kebijakan tersebut diimplementasikan pada 22 kota secara bertahap namun kemudian kurang berjalan dengan baik.

Salah satu daerah yang mengimplementasikan aturan ini adalah Provinsi DKI Jakarta yang mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan (KBRL) di Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat. Sebelum diberlakukan kebijakan tersebut, dilakukan sosialisasi dan pemberitahuan resmi oleh pengelola pasar kepada seluruh pelaku usaha di lingkungan pasar rakyat tentang penggunaan KBRL dan tidak disediakannya kantong belanja plastik sekali pakai. Untuk menjamin aturan tersebut dapat ditaati oleh seluruh pelaku usaha, pengelola pasar juga bertindak tegas dalam menerapkan Pergub tersebut. Tidak hanya berdampak terhadap pelaku usaha, Pergub tersebut juga diharapkan dapat mengubah pola hidup masyarakat.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, pada beberapa toko swalayan di beberapa kota sudah menerapkan kebijakan tidak menyediakan kantong plastik bagi orang yang berbelanja, salah satunya ditemukan pada toko swalayan di Kabupaten Kuningan. Hal ini menstimulus masyarakat untuk membawa kantong sendiri dari rumah yang terbuat dari bahan yang dapat digunakan berulang kali. Kebijakan ini tentu diharapkan dapat mengurangi timbulan sampah plastik. Namun, tentu saja kebijakan ini akan berjalan dengan baik, jika sebelumnya masyarakat diberikan edukasi terlebih dahulu mengenai pentingnya pembatasan kantong plastik sekali pakai sehingga memiliki pengetahuan yang baik mengenai hal ini. Sebagaimana teori Lawrence Green mengatakan bahwa ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi perilaku sehat seseorang yaitu faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap dan lain-lain, kemudian faktor enabling seperti adanya kebijakan dan sarana prasarana yang mendukung serta faktor reinforcing seperti adanya contoh dari tokoh masyarakat. Dengan adanya Hari Tanpa Kantong Plastik Sedunia atau International Plastic Bag Free Day yang diperingati setiap tanggal 3 Juli juga diharapkan semakin menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya pembatasan pengguaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. (Nissa Noor Annashr, SKM., MKM)

Nissa Noor Annashr, SKM., MKM adalah Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *