Autokritik

Pendidikan136 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – “Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalua guru itu sudah bandit pula pada dasarnya”

– Pramoedya Ananta Toer

Belakangan ini, kami atau mungkin saya khususnya agak sedikit tergelitik dengan status yang sebentar lagi akan saya sandang, yakni gelar Sarjana Pendidikan. Bukan tanpa alasan, memasuki dunia baru pasca tamat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, punggung saya secara sosial diberi tanggung jawab lebih oleh lingkungan sekitar. Apalagi kalau bukan menjadi seorang pendidik yang harus baik budi pekertinya, ramah sikapnya, dan luas pengetahuannya.

Memang, berbagai bekal telah diberikan dengan baik oleh lembaga universitas. Namun, mumpunikah kiranya kapastias diri saya untuk berdiri sebagai etalase terdepan pendidikan Indonesia? Saya kira ini yang harus kembali dirumuskan dan direnungkan oleh masing-masing dari kita.

Sebenarnya, saya tak pernah bermimpi sedikitpun menjadikan gelar Sarjana Pendidikan sebagai alat untuk “menjual diri” saya di dalam dunia kerja. Saya, hanya meyakini apa yang dikatakan Rumi bahwa jika kemarin aku pandai, maka keinginanku adalah mengubah dunia. Dan jika hari ini aku menjadi bijak, kuputuskan untuk mengubah diriku sendiri.

Tak ada yang salah sebenarnya jika pada akhirnya saya menjadi tenaga pendidik, berusaha menyampaikan sedikit apa yang telah saya dapat dari berbagai jenjang pendidikan. Dengan harapan, apa yang saya bagi nantinya tidak menjadi kesalahan turun temurun, sebab saya gagal menyampaikan makna dari pengetahuan itu sendiri. Kalau itu terjadi, celakalah saya dunia akhirat. Namun, jika pola pendidikan hari ini menuntut banyak hal, secara terbuka dan rendah diri saya akui ketakmampuan saya.

Apalagi, industrialisasi pendidikan menjadi momok yang lagi-lagi lambat laun akan menjadi masalah baru. Artinya, fokus utama pendidikan hari ini adalah “kerja, kerja, kerja” sesuai dengan semboyan pemimpin kita, bukan mengatasi masalah utama bagaimana cara manusia Indonesia mampu hidup bersama, memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan. Hari ini, realita kenelangsaan masyarakat dan wajah sosial bangsa Indonesia makin jauh dari pengajaran dan pendidikan. Kita tidak lagi bercengkerama dengan keadaan, kita memisahkan diri dari kaum terdalam masyarakat yang kelimpungan menjalani hidup.

Ketika semua itu berlangsung, saya yang mungkin pada akhirnya menjadi tenaga pendidik, tengah sibuk menyiapkan tumpukan lembar administrasi pengajaran yang eksklusif. Pada akhirnya, rasa dilematis saja yang saya dapat, dan lingkaran setan ini akan terus berjalan, selama industrialisasi pendidikan itu sendiri tidak pernah dihentikan.

Bukan perkara mudah tentunya meretas segala njelimetnya pola pengajaran di lembaga pendidikan kita hari ini. Tuntutan yang besar, beban yang terlampau berat, dan ruwetnya sistem, secara tidak langsung telah mengubah paradigma masyarakat. Bahwa cukup pengajarlah yang mampu melakukan itu semua. Masyarakat pun akhirnya lepas tangan dari tanggungjawab bersama ini. Pertanyaan yang timbul setelahnya, apakah masyarakat sudah tak acuh dengan apapun yang terjadi, atau justru ekosistem pendidikan yang dengan sengaja memangkas jarak dengan mereka?

Saya, hanyalah seorang pembelajar yang memiliki batas upaya dan kemampuan. Mencoba melihat sisi lain dari sistem pendidikan negeri ini. Tidak perlu saya muluk-muluk mencontohkan negara lain yang sukses dengan pendidikannya, sebab kultur kita juga yang berbeda tidak harus dipaksakan keukeuh menerapkan apa yang mereka terapkan. Saya hanya bermimpi melihat wajah pendidikan Indonesia yang sederhana, berdampingan dengan sosiokultural masyarakat, dan ramah bagi siapapun.

Sudah sepatutnya kita merasa, bahwa kita sudah sama-sama keliru memandang apa itu pembelajaran dan pendidikan. Kita terlalu jauh berlari, sehingga tanpa sadar kita sebenarnya juga telah jauh meninggalkan apa yang sejatinya menjadi nilai-nilai utama pendidikan itu sendiri.

Sebagai pamungkas, saya tidak pernah puas untuk berkata bahwa saya hanyalah seorang pembelajar yang memiliki batas upaya dan kemampuan, saya hanya ingin berbagi apa yang lebih dulu saya dapatkan kepada kawan-kawan lain. Tanpa beban apapun. Tanpa rasa tanggung jawab yang kadarnya terlampau lebih. Saya hanyalah pembelajar yang diberi Tuhan kesempatan untuk mengakses jenjang pendidikan selanjutnya. Sebab kita tidak boleh buang muka, pendidikan hari ini masih jauh dari kata terbuka untuk siapapun. Hak ini belum sepenuhnya dirasakan oleh setiap manusia Indonesia. Dan segala apa yang saya tulis ini adalah bentuk tanggung jawab saya terhadap Tuhan dan diri saya sendiri. Saya tidak ingin tutup mata, bahwa saya hanyalah seorang pembelajar yang memiliki batas upaya dan kemampuan, bukan Avatar yang setelah banyak berlatih, sekejap mata mampu mengendalikan bumi, air, api, dan udara. Saya hanya ingin mengembalikan pendidikan kepada masyarakat secara gembira dan apa adanya. Lembaga pendidikan harus kembali dipercaya masyarakat agar tidak melahirkan bandit-bandit pintar namun jahat, seperti yang dikatakan Pram. (Linda Nurlaelasari)

Linda Nurlaelasari adalah Mahasiwa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP, Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *