RADAR TASIKMALAYA – Tulisan ini terinspirasi dari beberapa pakar terkait dengan individu, organisasi dan manajemen, diawali dengan ungkapan Mc. Gregor mengatakan bahwa “human being is a lazy organism”, yang kemudian dikuat dengan kalimat yang bernada cukup santun yakni “human being is a learning organism”, artinya semalas-malasnya manusia jika dibandingkan dengan makhluk lain, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang punya nalar dan bisa belajar.
Belajar adalah sebuah sarana untuk memperbaharui diri, tanpa belajar kita akan terperangkap pandangan hidup pada masa lalu. Sebagaimana diungkapkan oleh pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries (1988) yang mengatakan bahwa salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena kita selalu menempatkan diri sebagai produk dari masa lalu. Situasi ini mengingatkan saya pada saat menyaksikan film “The last Samurai”, yang mensiratkan Kaisar Jepang membuka diri untuk melakukan perubahan namun harus berhadapan dengan Katsumoto, seorang samurai yang menghendaki kemurnian budaya yang memilih lari ke hutan dan menentang modernisasi.
Maka tak mengherankan bila ada ungkapan bahwa “Culture is about people”, manusia adalah asset paling berharga dalam sebuah organisasi, oleh karenanya harus ada upaya untuk memahami dan mengenali potensinya dan menjadi prioritas dalam menanganinya. Hubungan pertemanan yang berkembang menjadi kolega akan membuat kerjasama lebih efektif. Dimanapun bekerja jika suasana tersebut dibangun maka akan menciptakan suasana yang penuh keakraban, kemitraan, dan kesetaraan serta sebisa mungkin menghapus sekat dan jarak yang menghambat komunikasi. Membangun kebiasaan seperti itu tidak mudah, budaya unggah-ungguh, ewuh pakewuh, yang sangat kental dalam budaya kita.
Sehingga bagaimana membangun hubungan kerja yang sinergis menjadi sangat penting, karena organisasi memerlukan individu yang kemampuannya tidak hanya sebatas “just identify problem”. Karena pada saat seorang pemimpin harus memilih beberapa pilihan, maka akan lebih baik berada dalam satu tim yang tidak banyak melakukan “basa-basi”, tapi punya kapabilitas, produktif, dinamis dan kaya akan gagasan-gagasan alternatif untuk menciptakan, membangun dan menghasilkan value creation. Prinsip utama yang harus dibangun dalam menghadapi masalah individu dalam suatu organisasi adalah bahwa akhirnya setiap individu akan ditanya, dinilai dan di evaluasi dalam ukuran-ukuran yang jelas. Jadi ingat SKP!!!
Begitupun pernyataan Prof. Jokosantoso mantan Dirut BRI dan juga guru besar UMS tersebut, dalam sebuah seminar pernah berpesan: jika menghadapi anggota tim atau individu yang berbeda visi, maka katakan “do it may way or go to the highway”, meskipun seorang pemimpin kadang-kadang mengalami situasi yang dilematis untuk bersikap tegas dan bijaksana. Perbedaan persepsi dalam sebuah organisasi itu lumrah terjadi, terkadang dibutuhkan argumentasi yang tegas dan bahkan sangat sengit dalam memperkuat suatu keputusan. Situasi tersebut sebenarnya bagus bahkan dapat menjadi sebuah dinamika. “We have to celebrate the difference”, perbedaan itu ibarat vitamin, sesuatu yang bermanfaat bagi tubuh, tapi bila berlebih harus dibuang karena tidak berguna. Namun bila perbedaan itu mengarah pada perbedaan kepentingan, perbedaan visi dan aspirasi, ini yang harus diwaspadai, maka waspadalah…waspadalah…!!! terlebih bila berkembang menjadi “office politics” yang kontra produktif, maka kita perlu lebih berhati-hati.