Pencitraan

Politik175 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Citraan dalam puisi adalah gambaran yang sampai pada kesadaran kita seakan kita mendengar, melihat, mencium merasakan sebagaimana digambarkan oleh puisi yang kita baca atau dengar. Citraan visual (penglihatan) adalah gambaran dalam kesadaran kita seolah kita melihat bentuk, wujud, bidang sebagaimana yang tertulis dalam puisi. Semua yang berhubungan dengan warna, bentuk, pemandangan, dan sebagainya. Contoh: merah mawar, hijau dedaunan, gunung menjulang, malam gelap, lampu yang terang, dan sebagainya.

Dalam puisi, citra (image) sangat dibutuhkan untuk menguatkan kesan dari gagasan (subjek yang diterangkan) Di samping penguatan kesan atas subjek, untuk memberi kesan hidup, konkret, mengontruksi imajinasi, terutama subjek yang abstrak.

Misalnya, ”jiwa yang kusut”. Jiwa (subjek, abstrak) tidak bisa diindra mata. Yang kusut (citra dari benang), kusut merupakan karakter benang yang tak terurus. Jiwa diibaratkan dengan benang (metafora) yang kusut (citra).

Intinya bahwa setiap benda (subjek) telah memiliki citra yang azali dan melekat sejak dilahirkan (ada). Misal: batu citranya keras. Bunga mawar, citranya harum. Air, citranya cair, bening, menetes, mengalir. Daun, citranya hijau. Untuk kepentingan imajinasi, citraan dari benda ini ilahar dipinjam oleh benda (subjek) atau yang dibendakan dan biasanya subjek abstrak, dan tak terindra oleh manusia.

Contohnya cinta, rindu, marah, nelangsa, dsb. Adalah abstrak dan tak bisa diindra oleh manusia. Tak terlihat, tak terdengar, tidak tercium, tidak teraba oleh fisik manusia. Untuk itu, karena di dalam puisi dibutuhkan imajinasi, untuk kesan yang digambarkan, maka dibutuhkan citraan.

Citra yang menyimpang kerap terdapat dalam puisi. Ada alasan terjadi seperti itu. Ada faktor tidak tahu, menggunakan instrumen puisi. Ada disegaja karena alasan ingin dianggap unik dan berbeda. Ada juga yang sengaja aneh untuk kebutuhan ”sensasi”.

Misalnya subjek yang mendapat citra adalah subjek yang bisa diindra oleh pendengaran, kemudian menggunakan citraan penglihatan. Atau keterbalikannya. Misalnya, tiba-tiba angin menguning di langit yang gemuruh.

Di sini terjadi penyimpangan tidak linier dari dua subjek. Angin dan langit. Angin (subjek) yang hanya bisa diindra oleh rasa. Lazimnya citraan yang kerap digunakan adalah, sepoy dan semilir. Terjadi penyimpangan angin yang diindra oleh kulit tapi citraanya menggunakan yang lazimnya diindra oleh mata. Menguning itu hanya bisa disimpulkan dengan penglihatan. Begitupun langit, hanya bisa sampai pada kesadaran kita melalui penglihatan. Bukan dengan pendengaran. Citra langit, lazimnya; biru, cerah, luas, dan sebagainya.

Apakah penyimpangan ini salah? Kaidah umum yang lazim digunakan tidak seperti itu. Jika dipaksakan seperti itu, bukan saja melanggar kaidah umum, tapi juga akan mengaburkan pemahaman pembaca. Ini sangat kontroversi dengan posisi penyair yang memiliki tugas untuk memelihara dan menjaga bahasa dari kekacauan.

Lain puisi, lain juga manusia. Tapi soal citra relatif sama pengertiannya. Baik pada puisi, yang digunakan pada subjek puitik, juga manusia. Kurang lebih pengertiannya adalah, nilai yang melekat pada subjek (orang atau benda) akibat dari segala perilaku positif maupun negatif.

Kalau mencoba memberi contoh. Seorang guru Sekolah Dasar, misalkan. Maka citra, gambaran, atau nilai yang akan sampai kepada kita adalah; pandai, rapi, disiplin, dan sebagainya. Sebab guru ditempatkan pada posisi yang bertugas memberi pelajaran (intelektual), pendidikan (moralitas), dan guru, wajib digugu dan ditiru.

Ketika seorang guru pandai, rapi dan disiplin adalah mutlak tuntutan kebutuhan profesi. Bukan karena ingin mengharap pujian. Itulah citra yang sebenarnya melekat pada guru. Ketika terjadi tidak seperti itu, maka sering dianggap ”cacat” oleh masyarakat. Akan mendapatkan komentar dari masyarakat: ”kok, guru kelakuannya gitu”. Ini misalnya.

Nah, bagaimana dengan pencitraan yang dibangun oleh mereka yang hendak mencalonkan diri jadi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur, atau Presiden? Apa yang dimaksud pencitraan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pencitraan adalah proses, cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Arti lainnya dari pencitraan adalah proses penggambaran dalam upaya menarik perhatian publik, dengan tujuan meningkatkan popularitas.

Secara hakiki manusia tidak bisa lepas dari konstruksi nilai yang dihasilkan moralnya yang didedah ke dalam perilaku. Positif maupun negatif. Ini akan diterima dan dicatat oleh kesadaran masyarakat sebagai referensi yang akan disimpulkan menjadi kolektivitas nilai yang menata ke arah pembentukan citra.

Dari semua manusia dari jenis apapun sama, memiliki citra. Seorang perampok misalnya, punya citra yang akan tersirat dalam bayangan kita secara umum, negatif; seram dan bengis. Seorang tentara misalnya, gambaran yang akan ditangkap oleh bayangan kita adalah, disiplin, tegas dan berwibawa.

Setiap orang memiliki nilai yang berbeda, diukur oleh kapasitas moralnya. Sedang moral akan ditentukan oleh keimanan dan ilmu. Bahkan menurut orang saleh, moral adalah keimanan itu sendiri. Maka kebaikan dan keburukannya atas dasar kesadaran pemahaman. Relevan dengan keikhlasan yang disembahkan kepada Sang Pencipta. Maka citra yang dimilikanya autentik.

Bagaimanakah makna pencitraan dalam politik?

Tuntutan kebutuhan popularitas dan elektabilitas memaksa harus dipenuhi dengan cara apapun, sebab setiap kontestan yang ikut ke gelanggang pertarungan politik; calon DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden, dituntut untuk menang oleh impiannya. Maka setiap tindakan yang mengarah kepada pemenangan harus dilakukan, termasuk pencitraan.

Pencitraan adalah proses pengumpulan dan upaya mengonstruksi nilai-nilai positif yang dilakukan dengan sadar, yang sebernarnya atau yang bukan sebenarnya untuk dilekatkan pada subjek (manusia) demi kepentingan propaganda untuk menarik minat dan dukungan. Bisa dipertegas bahwa pencitraan merupakan upaya manusia (kandidat) untuk kepentingan popularitas dan elektabilitas.

Pencitraan politik adalah segala upaya yang mengedepankan sebuah ”citra” yang positif untuk memperkuat kedudukan sebuah pejabat atau menggalang dukungan dari massa. Pencitraan tidak didasarkan dengan kerja nyata atau hasil yang substantif tapi hanya dari tampilan luar (Kim Litelnoni). (Yusran Nurlan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *