RADAR TASIKMALAYA – Di banyak daerah Indonesia, baliho telah menjelma menjadi ”kitab suci” baru yang dibacakan para kandidat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tasikmalaya dengan lanskap budaya Sunda yang penuh dengan nilai kesantunan, religiusitas, dan simbol tidak luput dari ritual politik visual ini. Ruang publik yang semula menjadi ruang interaksi sosial kini berubah menjadi museum terbuka yang dipenuhi senyum politisi, slogan religius, dan janji yang sering kali tak lebih dari ornamen retoris. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan strategi komunikasi politik, tetapi juga mencerminkan pergeseran logika kekuasaan: dari politik yang seharusnya berbasis visi, program, dan tata kelola, menjadi politik yang mengandalkan estetika visual sebagai dalil utama menggapai suara.
Pilkada Tasikmalaya dalam beberapa periode terakhir menghadirkan potret yang menarik. Mulai dari maraknya baliho bertema religius sebuah estetika yang memanfaatkan citra “Kota Santri” hingga strategi personal branding yang terlihat lebih sibuk menata pose dibanding menata gagasan. Di tengah kompleksitas sosial Tasikmalaya yang ditandai dengan keberadaan pesantren besar, komunitas santri, serta jejaring kiai, pencitraan visual sering menjadi cara paling instan untuk memperoleh legitimasi simbolik. Seperti yang dikemukakan Pierre Bourdieu (1991), kekuasaan sering kali bekerja tidak secara eksplisit, melainkan melalui simbol-simbol yang mampu membentuk persepsi publik. Baliho, dengan demikian, bukan sekadar gambar; ia adalah instrumen produksi makna.
Persoalan dan Kerangka Konseptual
Masalah utama dalam kontestasi Pilkada Tasikmalaya bukan pada keberadaan baliho itu sendiri, tetapi pada dominasi pencitraan yang menggeser peran visi politik menjadi sekadar formalitas administratif. Di banyak kasus, visi-misi kandidat baru muncul secara substansial pada saat debat publik atau dokumen resmi KPU, jauh setelah publik telah dijejali oleh representasi visual yang minim isi. Hal ini menunjukkan terjadinya ”defisit gagasan,” di mana kandidat memilih jalan pintas estetika daripada menyusun agenda pemerintahan yang konkret.
Secara teoritis, fenomena ini dapat dipahami melalui beberapa kerangka:
- Politik Simbolik
Murray Edelman (1964) menekankan bahwa simbol-simbol politik sering kali digunakan untuk menciptakan persepsi stabilitas, kepedulian, atau kompetensi, meskipun tidak selalu diikuti konten substantif. Baliho menjadi simbol kepedulian, kesalehan, atau kedekatan, meski kedalaman visi politiknya nihil.
- Komodifikasi Kandidat
Guy Debord (1967) mengemukakan bahwa dalam ”masyarakat tontonan,” citra lebih penting daripada realitas. Kandidat berubah menjadi komoditas visual yang dijual melalui poster dan spanduk, bukan figur dengan agenda transformasional.
- Teori Pemasaran Politik
Newman & Sheth (1985) menjelaskan bahwa kandidat sering diperlakukan layaknya produk komersial yang terpenting ialah kemasan. Model ini tampak jelas dalam Pilkada Tasikmalaya, ketika keindahan visual dianggap lebih efektif daripada kedalaman visi.
Analisis Satir: Ketika Baliho Mengambil Alih Arena Politik Tasikmalaya
Fenomena yang terjadi di Tasikmalaya sangat kaya untuk dibaca dalam bingkai satir. Di sepanjang jalan protokol Cihideung, pusat kota Tasik, hingga jalur Singaparna–Mangunreja, warga dapat menemukan ratusan baliho dengan pose serupa: tangan mengepal, senyum 45 derajat, dan slogan motivasional yang terdengar seperti mantra seminar nasional. Tidak ada penjelasan soal bagaimana kandidat akan mengatasi problem kemiskinan yang per 2023 berada di angka ±8,7% menurut BPS Tasikmalaya atau isu pengangguran yang masih menjadi persoalan struktural. Yang ada hanyalah retorika: ”Tasik Maju,” ”Tasik Berkah,” atau ”Tasik Juara.” Satirnya, banyak baliho menampilkan kandidat dengan latar belakang masjid atau pesantren untuk mengasosiasikan diri sebagai pemimpin religius. Padahal, dalam praktik elektoral, religiusitas sering kali direduksi menjadi ornamen simbolik belaka. Fenomena ini memperlihatkan bahwa identitas religius bukan sekadar nilai, tetapi komoditas politik yang dijual melalui estetika poster.
Di sisi lain, publik Tasikmalaya yang religius dan kolektivis sering kali menilai kandidat berdasarkan simbol dan kesan pertama. Dalam beberapa studi lokal misalnya penelitian Dede Kurniasih (2021) tentang perilaku pemilih di Tasik Selatan visual branding justru memiliki pengaruh signifikan dalam proses pengenalan kandidat. Artinya, baliho tidak hanya mempengaruhi persepsi, tetapi turut membentuk pilihan politik.
Sementara itu, visi-misi yang seharusnya menjadi inti kontestasi justru tereduksi menjadi dokumen formal KPU. Dalam beberapa Pilkada sebelumnya, warga Tasikmalaya kerap mengaku tidak tahu substansi visi kandidat tetapi hafal baliho yang mereka lihat saban hari. Ini menunjukkan bahwa politik telah mengalami ”visual over substantive shift”: pergeseran dari konten ke citra, dari gagasan ke gestur.
Penutup
Pilkada Tasikmalaya adalah potret kecil dari bagaimana demokrasi lokal di Indonesia mengalami estetisasi berlebihan. Baliho telah menjadi dalil, sementara visi politik sekadar formalitas yang dibaca saat debat dan dilupakan sehari kemudian. Satire ini bukan untuk merendahkan proses demokrasi, melainkan untuk mengkritik praktik politik yang menjadikan pencitraan sebagai kompas utama dalam mencari suara.
Jika demokrasi ingin tetap bernilai, maka ruang publik harus kembali menjadi arena diskusi gagasan, bukan galeri wajah kandidat. Publik perlu menuntut lebih dari sekadar slogan dan senyum di spanduk. Kandidat harus hadir dengan agenda konkret, analisis kebijakan, strategi pembangunan, dan keberpihakan yang jelas terhadap problem struktural masyarakat Tasikmalaya.
Tasikmalaya membutuhkan pemimpin, bukan model billboard. Dan Pilkada seharusnya menjadi momen kompetisi gagasan, bukan kompetisi desain grafis. Satir ini akhirnya mengingatkan kita bahwa demokrasi akan kehilangan rohnya ketika baliho berbicara lebih nyaring daripada visi. (Rysha Nadya Permana)
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya.






