Membongkar Mitos Perpustakaan Sepi: Benarkah Pengguna yang Hilang, atau Layanan yang Tidak Berubah?

Pendidikan78 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Setiap kali mendengar kata perpustakaan, banyak orang langsung membayangkan ruangan gelap yang sunyi, kursi-kursi tua yang kosong, rak-rak buku yang berdebu, dan petugas galak yang sibuk menjaga meja sirkulasi.

Gambaran ini begitu kuat sehingga muncul anggapan: perpustakaan itu sepi, horor dan terbelakang. Perpustakaan dianggap sebagai tempat yang ditinggalkan, tempat yang bahkan tidak masuk list destinasi untuk belajar yang relevan di era digital.

Tetapi, benarkah kenyataannya memang demikian? Apakah benar penggunanya yang menghilang, atau justru layanan perpustakaan yang tak lagi mengikuti perubahan zaman?

Sebagai pustakawan, penulis sering mendengar kemudian merenungkan mitos ini. Faktanya, masyarakat indonesia tidak pernah berhenti mencari informasi. Mereka tetap membaca, tetap belajar, dan tetap haus pengetahuan. Hanya saja caranya mungkin berubah.

Generasi kini lebih nyaman scroll konten daripada membuka katalog fisik. Mereka memilih e-book, jurnal online, podcast, atau video pembelajaran daripada duduk berjam-jam di ruang baca. Mereka tetap belajar, hanya dengan cara yang berbeda.

Lalu, jika perpustakaan masih berdiri tegak di jalan-jalan kota, sekolah dan kampus, mengapa pengunjung enggan masuk? Beberapa faktor mempengaruhi oleh adanya stigma, kenapa perpustakaan sepi? bukan hanya semata karena akses perpustakaan, tapi apakah benar perpustakaan sekarang sudah improve tapi penyampaian informasi terkait citra perpustakaan itu masih terbelakang?

Dulu, perpustakaan adalah satu-satunya pintu untuk menemukan pengetahuan. Melalui koleksi fisik perpustakaan yang lengkap, buku, majalah, laporan penelitian, atau surat kabar yang hanya bisa diakses di rak-rak perpustakaan. Karena keterbatasan akses, generasi zaman dahulu rela berlomba berkunjung ke perpustakaan untuk sekedar membaca atau menulis informasi yang didapat dalam selembar kertas.

Kini, pola akses itu berubah drastis. Pengetahuan sudah hadir dalam hitungan detik, Google menampilkan ribuan artikel. Video tutorial di Youtube dapat menggantikan jam pelajaran, sementara informasi bisa diakses tanpa harus mengunjungi perpustakaan. Di titik inilah, muncul jurang antara perpustakaan dan penggunanya: masyarakat tidak berhenti membaca, tetapi media yang mereka pilih tidak lagi identik dengan perpustakaan.

Apakah perpustakaan sudah cukup sigap membaca perubahan ini? Ataukah ia masih terpaku pada paradigma lama yang menempatkan koleksi fisik sebagai pusat dunia?

Tidak sedikit perpustakaan di negeri ini yang masih berkutat pada pola lama. Katalog manual, koleksi yang jarang diperbarui, dan layanan digital yang setengah hati menjadi pemandangan biasa. Beberapa perpustakaan memang sudah meluncurkan OPAC, e-book, atau aplikasi digital, tetapi sayangnya belum semuanya ramah pengguna. Banyak yang sekadar formalitas, tanpa disertai strategi promosi dan pendekatan ke pengguna.

Generasi Z yang lahir beriringan dengan majunya teknologi merasa perpustakaan terlalu kaku, terlalu lambat, terlalu jauh dari gaya hidup mereka. Akibatnya, stigma “perpustakaan sepi” terus hidup, meskipun sebenarnya masyarakat tidak pernah berhenti belajar.

Lebih dari itu, pustakawan pun kerap terjebak dalam rutinitas administratif. Alih-alih menjadi fasilitator pengetahuan, banyak pustakawan lebih sibuk dengan laporan, surat menyurat, atau inventarisasi. Padahal, peran sejati pustakawan adalah menghubungkan masyarakat dengan informasi, bukan sekadar menjaga rak.

Mari kita kritisi anggapan bahwa perpustakaan sepi karena penggunanya hilang. Sebenarnya, sepi bukan berarti ditinggalkan. Sepi bisa jadi sinyal bahwa layanan perpustakaan tidak lagi relevan. Sepi adalah cermin yang memperlihatkan jurang antara ekspektasi pengguna dengan apa yang perpustakaan tawarkan.

Seorang mahasiswa mungkin tidak datang ke ruang baca, bukan karena malas belajar, tetapi karena jurnal terbaru lebih mudah diakses melalui Google Scholar. Seorang pelajar mungkin tidak meminjam buku cetak, bukan karena tak suka membaca, tetapi karena aplikasi digital menyediakan bacaan lebih cepat dan interaktif. Seorang pekerja mungkin jarang mampir ke perpustakaan, bukan karena tidak butuh informasi, melainkan karena perpustakaan tidak menyediakan ruang fleksibel yang sesuai ritme kerjanya.

Sepinya perpustakaan bukanlah kutukan, melainkan panggilan. Panggilan bagi pustakawan untuk berbenah, untuk jujur mengakui bahwa zaman berubah, dan perpustakaan tidak bisa lagi hanya mengandalkan koleksi sebagai daya tarik utama.

Fenomena menurunnya jumlah pengunjung perpustakaan kerap dianggap sebagai tanda bahwa minat masyarakat terhadap literasi telah merosot. Namun, narasi semacam ini perlu dikaji ulang secara lebih kritis. Dalam era yang ditandai oleh perubahan teknologi informasi yang sangat cepat, tantangan utama perpustakaan bukan semata-mata terletak pada berkurangnya jumlah pengguna, melainkan pada sejauh mana layanan perpustakaan mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Di sinilah peran strategis pustakawan menjadi sangat penting.

Posisi krusial pustakawan yang tidak lagi sekadar berperan sebagai penjaga buku. Kita harus menjadi fasilitator, mentor, dan penggerak literasi. Tugas pustakawan adalah menuntun masyarakat menavigasi lautan informasi yang begitu luas dan penuh bias.

Bayangkan perpustakaan sebagai ruang kolaborasi, bukan hanya sekedar ruang baca. Sebagai laboratorium ide, bukan sekadar gudang buku. Pustakawan harus berani memfasilitasi workshop literasi digital, diskusi kritis, bahkan ruang kreatif. Pustakawan bisa menghadirkan klub baca online, ruang podcast, atau layanan konsultasi penelitian yang lebih interaktif disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka.

Dengan begitu, perpustakaan tidak lagi dipandang kuno, tidak lagi sepi, tetapi penuh aktivitas dan relevan dengan pemustaka. Dan yang lebih penting, perpustakaan kembali menemukan makna keberadaannya: menjadi pusat pengetahuan, bukan sekadar ruang formalitas.

Stigma “perpustakaan sepi” sejatinya bukan akhir, melainkan awal untuk bertanya lebih jauh: mengapa orang tidak lagi datang? Apakah mereka benar-benar hilang, ataukah kita yang belum hadir di dunia mereka?

Kenyataannya, masyarakat tidak pernah berhenti membaca, tidak pernah berhenti belajar. Mereka hanya mencari jalur yang lebih mudah, lebih cepat, dan lebih sesuai dengan kebutuhan hidup. Perpustakaan tidak boleh menutup mata pada kenyataan ini. Ia harus bertransformasi, berani keluar dari zona nyaman, dan membuka diri pada inovasi.

Mitos tentang sepinya perpustakaan bisa dipatahkan, jika kita berani berubah. Bukan penggunanya yang hilang melainkan kita yang harus menemukan cara baru untuk hadir dalam kehidupan mereka.

Pustakawan bukan lagi hanya penjaga koleksi atau pelaksana layanan teknis, melainkan aktor utama dalam mengarahkan perubahan dan inovasi di institusi perpustakaan. Mereka dituntut untuk memiliki kompetensi yang tidak hanya terbatas pada pengelolaan informasi, tetapi juga mencakup kemampuan dalam memahami perilaku pengguna, memanfaatkan teknologi digital, serta membangun jejaring kolaboratif dengan berbagai pemangku kepentingan.

Ketika perpustakaan sepi, pertanyaannya bukan hanya ke mana perginya pengguna, melainkan juga apakah pustakawan telah cukup proaktif dalam merancang layanan yang relevan, inklusif, dan transformatif.

Dengan mengedepankan peran pustakawan sebagai penggerak perubahan, perpustakaan dapat kembali mengambil posisi strategis sebagai pusat pembelajaran, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan ekosistem literasi yang berkelanjutan.

Maka, membongkar mitos perpustakaan yang sepi bukan hanya soal mencari kambing hitam, melainkan momentum untuk merefleksikan kembali tanggung jawab profesional pustakawan dalam menjawab tantangan zaman. Mari kita berbenah, untuk Indonesia yang tumbuh bersama literasi. (Dewi Fitriyanti, SSI)

Penulis merupakan Pustakawan UPA Perpustakaan Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *