Di Ambang Kejayaan atau Kehancuran? Mengungkap Ancaman Tak Kasat Mata

Ekonomi23 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Indonesia sedang menapaki jalan panjang menuju Indonesia Emas 2045, sebuah cita-cita besar yang menandai satu abad kemerdekaan dan diharapkan menjadi titik kulminasi dari perjuangan bangsa dalam mewujudkan negara yang maju, sejahtera, dan berdaya saing tinggi di kancah global.

Optimisme akan masa depan ini didukung oleh berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, mulai dari bonus demografi yang menjadikan mayoritas penduduknya berada dalam usia produktif, kekayaan sumber daya alam yang melimpah, serta posisi strategis dalam perdagangan internasional.

Namun, di balik optimisme tersebut, terdapat berbagai bahaya laten yang mengintai dan dapat menghambat perjalanan bangsa menuju visi besar tersebut. Bahaya laten, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai ancaman tersembunyi yang mungkin belum terasa dampaknya saat ini tetapi berpotensi menjadi batu sandungan dalam jangka panjang, sering kali luput dari perhatian dan tidak mendapat penanganan serius dari berbagai pihak. Jika dibiarkan, ancaman ini dapat menjadi bom waktu yang menghambat kemajuan bangsa dan bahkan memperburuk kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia di masa depan.

Salah satu bahaya laten yang paling mengkhawatirkan dalam perjalanan menuju Indonesia Emas adalah ketimpangan ekonomi yang semakin menganga. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi antara individu, tetapi juga antarwilayah, antara kota dan desa, serta antara mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas dengan mereka yang tidak. Dalam sektor ekonomi, ketimpangan yang semakin melebar dapat memicu ketidakstabilan sosial yang berbahaya bagi keutuhan bangsa.

Jika kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang sementara sebagian besar masyarakat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka rasa ketidakadilan sosial akan semakin meningkat dan dapat berujung pada konflik horizontal. Selain itu, ketimpangan ekonomi juga memperburuk siklus kemiskinan yang sulit diputus, karena masyarakat yang kurang mampu sering kali tidak memiliki akses terhadap sumber daya dan pendidikan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Sebagai mahasiswa akuntansi, saya memahami bahwa distribusi kekayaan yang tidak merata dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara inklusif. Jika mayoritas kekayaan hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu, maka daya beli masyarakat luas akan menurun, yang pada akhirnya berdampak pada perlambatan ekonomi secara keseluruhan.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya kebijakan ekonomi yang lebih berorientasi pada pemerataan, seperti pemberian subsidi yang tepat sasaran, pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM), serta peningkatan akses pendidikan vokasi agar masyarakat memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Selain ketimpangan ekonomi, bahaya laten lainnya yang sering diabaikan adalah rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat Indonesia. Meskipun pertumbuhan ekonomi dan akses terhadap layanan keuangan semakin meningkat, masih banyak masyarakat yang belum memahami konsep dasar pengelolaan keuangan pribadi, investasi, serta manajemen utang.

Akibatnya, banyak individu yang terjebak dalam pola konsumtif yang tidak terkendali, seperti melakukan pinjaman tanpa perhitungan matang, atau bahkan menjadi korban investasi bodong yang menjanjikan keuntungan instan tetapi berujung pada kerugian besar.

Rendahnya literasi keuangan tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada stabilitas ekonomi nasional secara keseluruhan. Jika masyarakat tidak mampu mengelola keuangan mereka dengan baik, maka risiko gagal bayar kredit, meningkatnya angka kebangkrutan, serta ketergantungan terhadap utang luar negeri akan semakin tinggi. Hal ini tentu menjadi ancaman besar bagi stabilitas perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dalam meningkatkan literasi keuangan sejak dini, baik melalui sistem pendidikan formal maupun melalui program edukasi berbasis digital yang dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat.

Di sisi lain, ketergantungan Indonesia terhadap sumber daya alam sebagai motor utama perekonomian juga menjadi ancaman terselubung yang patut diwaspadai. Selama bertahun- tahun, sektor pertambangan, perkebunan, dan ekspor komoditas mentah telah menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap sektor ini berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam apa yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” atau resource curse, di mana negara yang kaya akan sumber daya alam justru terjebak dalam pola ekonomi yang tidak berkelanjutan. Ketika harga komoditas global turun, perekonomian negara yang bergantung pada ekspor sumber daya mentah akan mengalami gejolak yang sangat besar.

Selain itu, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali juga berkontribusi terhadap degradasi lingkungan yang semakin parah, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim yang semakin tidak terkendali.

Jika Indonesia ingin mencapai status negara maju pada tahun 2045, maka diperlukan transformasi ekonomi yang berfokus pada pengembangan industri berbasis inovasi dan teknologi. Pemerintah harus mendorong hilirisasi industri, investasi dalam riset dan pengembangan, serta percepatan transisi menuju ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.

Tidak hanya dalam aspek ekonomi dan lingkungan, sistem pendidikan yang masih belum merata juga menjadi bahaya laten yang mengancam daya saing Indonesia di masa depan. Meskipun akses terhadap pendidikan semakin luas, kualitas pendidikan di berbagai daerah masih sangat timpang.

Sekolah-sekolah di daerah perkotaan umumnya memiliki fasilitas yang lebih baik, tenaga pengajar yang lebih berkualitas, serta akses terhadap teknologi yang lebih memadai, sementara sekolah di daerah terpencil masih menghadapi berbagai keterbatasan yang membuat kualitas pendidikan mereka jauh tertinggal. Ketimpangan ini pada akhirnya menciptakan kesenjangan dalam kompetensi lulusan, yang berimplikasi pada rendahnya daya saing tenaga kerja Indonesia di era globalisasi.

Selain itu, sistem pendidikan Indonesia masih cenderung berorientasi pada hafalan dibandingkan dengan pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan problem-solving yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Jika tidak ada reformasi pendidikan yang signifikan, Indonesia akan kesulitan mencetak sumber daya manusia yang kompetitif dan inovatif, yang merupakan kunci utama dalam mewujudkan Indonesia Emas.

Oleh karena itu, pendidikan harus mengalami reorientasi yang lebih menekankan pada penguasaan keterampilan abad ke-21, pendidikan berbasis teknologi, serta peningkatan kualitas tenaga pendidik agar lulusan siap menghadapi dinamika dunia kerja yang semakin canggih.

Bahaya laten lainnya yang tidak kalah penting untuk disoroti adalah lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi penyakit kronis yang menggerogoti fondasi pembangunan nasional. Ketidaktransparanan dalam pengelolaan keuangan negara sering kali mengakibatkan inefisiensi dalam alokasi anggaran, sehingga banyak program pembangunan yang tidak berjalan optimal atau bahkan gagal total. Jika hal ini terus berlanjut, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin menurun, yang pada akhirnya dapat memicu ketidakstabilan politik dan sosial. Sebagai mahasiswa akuntansi, saya memahami bahwa transparansi dan akuntabilitas adalah

Pilar utama dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif. Oleh karena itu, reformasi birokrasi yang berbasis pada digitalisasi, peningkatan pengawasan terhadap pengelolaan anggaran, serta penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku korupsi harus menjadi prioritas utama dalam mewujudkan Indonesia Emas.

Berbagai permasalahan seperti ketimpangan energi, kemunduran pendidikan, kebijakan oligarkis, dan ketidakstabilan fiskal tersebut menjadi ancaman laten yang dapat menghambat pencapaian Indonesia Emas 2045. Jika tidak segera ditangani, ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin dalam, kualitas SDM menurun, konflik agraria meningkat, dan layanan publik melemah, membuat Indonesia sulit keluar dari middle-income trap. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berpihak pada rakyat serta peran aktif generasi muda dalam mengawal perubahan agar visi Indonesia sebagai negara maju dapat terwujud.

Dengan menyadari dan mengatasi berbagai bahaya laten ini, Indonesia dapat memastikan bahwa perjalanan menuju negara maju tidak hanya sekadar wacana, tetapi benar-benar terwujud dengan langkah aktual. Masa depan Indonesia ada di tangan kita semua, dan sebagai generasi muda, kita harus mengambil peran aktif dalam membawa bangsa ini menuju kejayaan. Dengan semangat, kerja keras, dan inovasi, kita bisa memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam percaturan global, tetapi menjadi pemain utama yang diperhitungkan di kancah dunia. (Abdullah Dimas Syahrizal)

Penulis merupakan Mahasiswa D3 Jurusan Akuntansi Universitas Tidar, Juara 2 lomba esai antar mahasiswa tingkat nasional tahun 2025 yang diselenggarakan UPA Perpustakaan Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *