RADAR TASIKMALAYA – Sebagai negara agraris, Indonesia menyimpan potensi besar di sektor pertanian, tetapi di balik predikat ini tersembunyi tantangan yang tidak kalah besar. Meskipun sektor ini telah menjadi tulang punggung perekonomian selama bertahun-tahun, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian hanya menyumbang sekitar 12,9% pada tahun 2022, turun dari 14,4% pada tahun 2010. Penurunan ini mencerminkan masalah struktural yang kompleks, termasuk fragmentasi kepemilikan lahan. Dengan rata-rata kepemilikan lahan sekitar 0,3–0,5 hektar per petani, skala usaha ini sulit mendukung praktik pertanian yang produktif dan berkelanjutan.
Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan di kalangan petani memperburuk situasi. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa lebih dari 70% petani hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memahami dan mengadopsi teknologi modern yang sering kali kompleks. Sementara itu, perubahan iklim dan pertumbuhan populasi terus menekan ketahanan pangan, menjadikannya isu yang semakin mendesak.
Ketahanan pangan tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga mencapai swasembada dan menciptakan peluang ekspor. Dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia seharusnya memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri sekaligus bersaing di pasar global. Namun, untuk mencapai ambisi ini, transformasi besar-besaran diperlukan.
Dengan tantangan seperti fragmentasi lahan, pendidikan rendah, dan keterbatasan infrastruktur, muncul pertanyaan besar: Apakah Indonesia benar-benar siap untuk beralih ke pertanian modern berbasis digital?
Apa Itu Pertanian Modern Berbasis Digital?
Ketika mendengar istilah “pertanian modern berbasis digital,” sebagian dari kita mungkin langsung membayangkan gambaran futuristik: petani mengoperasikan drone dari ponsel mereka, menggunakan aplikasi canggih untuk menganalisis hasil panen, atau bahkan mengelola sawah dari jarak jauh. Namun, pada intinya, pertanian digital lebih dari sekadar teknologi canggih. Esensinya adalah pemanfaatan teknologi informasi untuk menciptakan proses bertani yang lebih efisien, terukur, dan berkelanjutan.
Bayangkan sebuah ladang di mana sensor berbasis Internet of Things (IoT) tertanam di dalam tanah. Sensor ini mampu memberikan data real-time tentang kelembapan, suhu, atau bahkan tingkat kesuburan tanah. Petani tidak lagi harus bergantung hanya pada intuisi atau pengalaman, melainkan dapat mengambil keputusan berdasarkan data yang akurat. Sistem irigasi, misalnya, dapat diotomatisasi sehingga hanya memberikan air sesuai kebutuhan tanaman. Ini tidak hanya menghemat sumber daya tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, teknologi seperti drone menjadi alat yang sangat bermanfaat. Drone dapat digunakan untuk menyemprotkan pupuk atau pestisida secara merata di seluruh lahan, menghemat waktu, tenaga, dan bahkan biaya. Teknologi ini memungkinkan petani untuk fokus pada aspek lain yang lebih strategis, seperti merencanakan musim tanam berikutnya atau mencari peluang ekspor.
Manfaat Pertanian Digital bagi Indonesia
Pemanfaatan teknologi digital di Sektor Pertanian Indonesia mulai menampakkan hasil yang menjanjikan. Teknologi ini menawarkan peluang besar, khususnya bagi negara dengan populasi besar seperti Indonesia, di mana kebutuhan pangan terus meningkat setiap tahunnya. Digitalisasi di sektor pertanian telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas, mengurangi beban kerja manual, serta memberikan akses pasar yang lebih luas bagi petani. Selain itu, pendekatan berbasis teknologi ini sejalan dengan konsep keberlanjutan (sustainibility), yang kini menjadi fokus utama pembangunan global.
Teknologi digital memungkinkan petani mengelola lahan dengan lebih efektif. Di Klaten, Jawa Tengah, misalnya, penerapan teknologi irigasi otomatis berbasis Internet of Things (IoT) telah menghasilkan efisiensi air hingga 20% dan peningkatan hasil panen sebesar 15%. Dampaknya tentu akan sangat signifikan jika inovasi ini dapat diterapkan secara nasional. Selain itu, alat modern seperti drone dan mesin otomatis meringankan beban kerja petani. Teknologi ini tidak hanya membantu mereka menyelesaikan pekerjaan fisik dengan lebih cepat dan mudah, tetapi juga menarik minat generasi muda untuk kembali terlibat dalam sektor pertanian, yang selama ini kurang diminati.
Salah satu tantangan klasik petani kecil adalah akses ke pasar yang sering kali tidak adil akibat banyaknya perantara. Dengan platform digital seperti TaniHub dan AgriAku, petani kini dapat menjual hasil panen mereka langsung ke konsumen atau pasar yang lebih besar, sehingga meningkatkan pendapatan mereka. Meskipun TaniHub menghadapi kendala manajemen hingga menghentikan operasinya, model teknologi yang mereka bawa tetap relevan untuk diterapkan secara luas di masa depan.
Keuntungan lain dari digitalisasi adalah optimalisasi penggunaan sumber daya. Sensor IoT, misalnya, dapat membantu petani menentukan dosis pupuk yang tepat, sehingga mengurangi pemborosan dan dampak negatif pada lingkungan. Teknologi ini juga memungkinkan pertanian menjadi lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan produktivitas, yang merupakan langkah penting menuju keberlanjutan. Namun, perjalanan menuju pertanian digital tidaklah tanpa hambatan. Banyak wilayah pedesaan di Indonesia masih belum memiliki akses internet yang memadai, padahal teknologi digital sangat bergantung pada konektivitas. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur jaringan hingga ke pelosok desa agar semua petani dapat menikmati manfaat digitalisasi. Selain itu, rata-rata kepemilikan lahan petani yang kecil, sekitar 0,3–0,5 hektar, membuat mereka sering merasa bahwa investasi teknologi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Solusi seperti kolaborasi melalui kelompok tani dapat menjadi cara agar teknologi bisa digunakan bersama.
Rendahnya literasi digital juga menjadi kendala besar. Sebagian besar petani Indonesia hanya memiliki pendidikan dasar, sehingga teknologi canggih sering kali terasa sulit diakses tanpa pendampingan dan pelatihan. Biaya teknologi yang masih dianggap tinggi juga menjadi penghalang, meskipun harga perangkat kini semakin terjangkau. Program subsidi atau kredit dengan bunga rendah dapat menjadi langkah untuk membantu petani kecil mengadopsi teknologi ini.
Langkah-langkah Strategis Menuju Pertanian Digital
Untuk mewujudkan mimpi besar pertanian digital di Indonesia, berbagai langkah strategis perlu diambil dengan sinergi semua pihak. Edukasi dan pelatihan bagi petani menjadi langkah awal yang sangat penting. Pemerintah, universitas, dan sektor swasta harus bergandengan tangan untuk memberikan literasi digital yang relevan bagi petani. Contoh sukses seperti program Smart Farming di Jawa Barat yang telah melatih ribuan petani menunjukkan bagaimana pelatihan yang terstruktur mampu mempercepat adopsi teknologi digital di sektor pertanian.
Selain pelatihan, peningkatan infrastruktur teknologi juga menjadi kunci keberhasilan. Akses internet dan listrik yang memadai adalah fondasi utama untuk mendukung digitalisasi di pedesaan. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur ini agar petani di wilayah terpencil dapat memanfaatkan teknologi modern. Kemudian, dukungan finansial juga tidak kalah penting. Program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) harus diperluas untuk mencakup pembelian teknologi pertanian. Subsidi atau skema pinjaman dengan bunga rendah dapat membantu meringankan beban petani kecil dalam berinvestasi pada teknologi.
Kemitraan untuk menciptakan inovasi lokal juga harus diperkuat. Teknologi yang dikembangkan perlu disesuaikan dengan kebutuhan spesifik petani Indonesia. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan perusahaan teknologi sangat diperlukan untuk menciptakan solusi yang aplikatif dan terjangkau. Pendekatan ini memastikan bahwa teknologi yang dihasilkan benar-benar relevan dan bermanfaat bagi petani di lapangan.
Inspirasi juga bisa kita ambil dari kisah sukses petani yang telah berhasil mengadopsi teknologi digital. Di Bali, misalnya, seorang petani muda bernama Agung Wedha telah sukses dengan konsep smart farming berbasis IoT (Internet of Things). Dengan dukungan teknologi irigasi listrik dari PLN, ia mampu meningkatkan efisiensi operasional hingga 76% dan memperluas pasar ekspor buah segar dari 3 ton menjadi 10 ton per pengiriman.
Kisah sukses lainnya datang dari negara-negara ASEAN. Di Vietnam dan Thailand, teknologi drone dimanfaatkan untuk pemetaan lahan dan monitoring tanaman, sementara di Filipina, aplikasi Rice Crop Manager membantu petani meningkatkan hasil panen hingga 15% melalui rekomendasi berbasis data cuaca dan tanah. Di Kenya, platform digital seperti Twiga Foods, digitalisasi sektor pertanian telah menghubungkan petani kecil dengan pasar grosir, dengan memotong jalur perantara, pendapatan petani meningkat hingga 30%.
Apakah Pertanian Indonesia Sudah Siap?
Kesiapan Indonesia tidak hanya bergantung pada teknologi itu sendiri. Infrastruktur yang memadai, pendidikan petani, dan kebijakan pendukung merupakan pilar utama yang harus diperkuat. Di banyak daerah, petani masih menghadapi tantangan klasik seperti kepemilikan lahan yang sempit, akses internet yang terbatas, dan rendahnya tingkat literasi digital. Tanpa pendekatan menyeluruh, kesenjangan teknologi justru berpotensi memperburuk ketimpangan dan meminggirkan petani kecil.
Transformasi ini memerlukan komitmen dan kolaborasi dari berbagai pihak. Pemerintah, akademisi, sektor swasta, hingga masyarakat luas harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem pertanian digital yang inklusif dan berkelanjutan. Langkah nyata seperti memberikan pelatihan berbasis teknologi kepada petani, subsidi untuk perangkat digital, dan penguatan koperasi berbasis teknologi digital dapat membantu petani kecil agar tidak tertinggal. Lebih dari sekadar modernisasi, pertanian digital adalah tentang masa depan Indonesia. Masa depan di mana kebutuhan pangan nasional terpenuhi, ketahanan pangan semakin kuat, dan Indonesia dapat bersaing sebagai pemain utama di pasar pertanian global. Dengan pendekatan yang terencana dan kolaboratif, mimpi menjadi lumbung pangan dunia bukanlah sekadar angan-angan.
Kini adalah waktunya untuk bergerak maju. Teknologi harus menjadi pendorong perubahan yang menjangkau seluruh petani, dari Sabang hingga Merauke. Ketika setiap petani, tanpa terkecuali, dapat merasakan manfaat dari inovasi ini, maka visi pertanian modern yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud. Masa depan pertanian Indonesia ada di tangan kita semua—siapkah kita untuk melangkah ke era baru? (Unang Atmaja)
Penulis merupakan Dosen Prodi Agribisnis Universitas Siliwangi, pengampu mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.