Kearifan Lokal dan Kebijakan Negara

Pemerintahan, Politik206 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Tasikmalaya patut berbangga dikarenakan memiliki salah satu “warisan hidup” yang sarat akan kearifan lokalnya yaitu Kampung Naga di Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Sejarah asal mula Kampung Naga yang sebenarnya sampai saat ini memang sejarah Kampung Naga yang sampai saat ini masih misteri. Para sejarawan banyak berbeda pendapat tentang asal usul Kampung Naga di Jawa Barat. Salah satu penyebabnya dikarenakan lenyapnya sumber sejarah resmi pasca penyerangan dan pembakaran kampung oleh gerombolan DII/TII di tahun 1956.

Tulisan ini tidak akan concern pada asal usul tersebut, namun ingin menceritakan sekelumit kasus yang pernah terjadi di Kampung Naga yang menyadarkan kita bahwa keadaan mereka memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan kenegaraan (bargaining-position). Kasus yang saya maksudkan adalah menutup dirinya masyarakat Kampung Naga terhadap tamu dari manapun yang akan berkunjung. Kejadian ini terjadi di pertengahan tahun 2009 silam. Ada apa gerangan mereka menutup diri? Apa hubungannnya menutup diri mereka dengan bargaining-position? Mudah-mudah tulisan ini menjadi gambaran bahwa kita termasuk negara tidak “meremehkan” keberadaan mereka di lingkungan kita

Persoalan tersebut berawal dari kebijakan pemerintah SBY-Kalla saat itu yang mengkonversi subsidi dari minyak tanah ke gas. Kebijakan ini seperti kita ketahui menset gas menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dengan akses yang mudah dan relatif murah. Sedangkan minyak tanah dicabut subsidinya, dipasarkan dengan terbatas. Tentu saja kebijakan ini sangat berdampak negatif dirasakan masyarakat Kampung Naga.

Seperti yang sudah disampaikan di artikel sebelumnya tentang kearifan Kampung Naga, di mana bagi mereka alam bukanlah objek, tetapi sama-sama subjek seperti manusia, jika manusia baik, maka alam pun akan baik terhadap manusia. Oleh karena itu, bagi masyarakat Naga prinsip hidup bersama alam tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Mereka sudah terbiasa ribuan tahun memakai kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan, mereka sudah terbiasa memakai minyak tanah sebagai pelita. Ketika puluhan tahun yang lampau di masa rezim Soeharto menawari masuk aliran listrik lewat program Listrik Masuk Desa, tetap mereka menolaknya. Oleh karena itulah ketika ada tawaran pemerintah untuk mengkonversi ke gas, dengan tegas mereka tolak mentah-mentah.

Penolakan mereka tentunya berdampak pada sulitnya akses mereka dalam mendapatkan minyak tanah. Dikatakan kuncen kampung Naga saat itu mereka mencari minyak tanah harus ke Singaparna (sekitar 30 KM dari Kampung Naga) dengan harga yang sangat mahal yakni 9 sampai 10 ribu per liter nya dari harga biasa 2 ribu 5 ratus. Hal tersebut tentunya sangat memberatkan apalagi jika dihitung dengan ongkos perjalanan yang cukup jauh. Setiap malam sampai sekitar 3 bulan lamanya mereka hidup tanpa penerangan, gelap gulita sama sekali. Keprihatinan mulai bermunculan terutama dari kepolisian yang saat itu memberikan bantuan minyak tanah masyarakat Naga, bahkan difasilitasi untuk pertemuan dengan pejabat setempat.

Setelah melalui proses dialog, diplomasi dan tuntutan yang dilakukan kampung Naga dengan pemerintah, persoalan ini kemudian terekspos meluas di media massa nasional, cetak bahkan media televisi. Bahkan persoalan ini terekspos ke mancanegara ketika serombongan peneliti dari Belanda terlokal masuk ke kampung Naga. Setelah mengetahui duduk persoalannya, rombongan tersebut tetap ngotot ingin masuk ke kampung Naga dengan jaminan akan memberikan minyak tanah berapa tangki pun. Ini mereka lakukan karena mereka menganggap penelitian ke kampung Naga sangat penting, apalagi sudah jauh-jauh datang dari Belanda.

Kesanggupan orang-orang Belanda tersebut tentunya membuat “kebakaran jenggot” Pemerintah Indonesia. Orang Belanda saja mau memberikan bertangki-tangki minyak tanah, padahal yang dibutuhkan Kampung Naga setiap 6 bulannya hanya 1 tangki saja. Namun, masyarakat Kampung Naga menolaknya dengan alasan bahwa  mereka tidak menginginkannya dari pihak lain yang hanya sementara, tapi menginginkan kemudahan mereka dalam mengakses minyak tanah dengan harga terjangkau kemampuan mereka.

Menurut mereka, masyarakat Naga tidak akan meminta minyak tanah kepada pemerintah, namun akses mereka untuk membeli minyak tanah yang terjangkau tadi yang harus diperhatikan pemerintah. Persoalan ini diliput oleh ratusan media cetak dan elektronik  9  negara (Asia dan Eropa). Bagi masyarakat Kampung Naga ekspos tersebut tentunya menjadi kekuatan tersendiri dalam memperkuat dukungan terhadap tuntutannya selama ini. Diakui kuncen saat itu, masyarakat Naga melakukan tuntutan dengan tetap memakai etika dan budaya yang berlaku.

Untuk menyampaikan tuntutan tersebut masyarakat Naga hanya melontarkan 2 peringatan dari 3 peringatan yang sudah disiapkan masyarakat yakni : pertama, masyarakat Naga akan mengakui pemerintah, jika pemerintah mengakui masyarakat Naga. Kedua, masyarakat Naga akan melayani pemerintah, jikalau pemerintah melayani masyarakat Naga. Kedua peringatan (pernyataan) masyarakat tersebut telah terlontar dalam setiap dialog yang pernah dilakukan, namun yang ketiga yang diakui kuncen sangat pedas tidak pernah terlontar, dikarenakan masalah sudah selesai dan pemerintah memfasilitasi masyarakat Naga untuk mendapatkan  akses minyak tanah.

Awal tahun 2010 yang lalu drama ini berakhir dengan diberikan kekhususan Kampung Naga oleh pemerintah untuk diberi akses minyak tanah secara langsung dikirim dengan harga subsidi. Pengiriman dilakukan lewat koperasi yang sengaja dibentuk. Masyarakat Kampung Naga hingga saat ini kembali mendapatkan aksesnya untuk mendapatkan minyak tanah bersubsidi dan rata-rata menghabiskan 1 tangki selama 6 bulan.

Pemakaian ini tentunya sangat irit, dikarenakan masyarakat Kampung Naga tidak penuh memakai minyak tanah dalam kesehariannya. Minyak tanah biasanya dipakai untuk pelita di malam hari. Sedangkan untuk kepentingan memasak mereka banyak menggunakan kayu bakar (suluh). Inilah sekelumit tentang sekelompok masyarakat yang mampu memaksa pemerintah untuk melakukan pengecualian dari aplikasi kebijakan yang telah ditetapkannya. Hal ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal memiliki pengaruh kuat, dan tidak bisa ditawar-tawar, walaupun oleh negara sekali pun. (Subhan Agung MA)

Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *