Perempuan dan Pendidikan Sepanjang Hayat

Pendidikan508 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dalam kehidupan bermasyarakat kita bersosialisasi dengan manusia, yang tentu saja ada lelaki dan perempuan. Ada sedikit pembatasan antara komunikasi di antara keduanya, itu ditentukan oleh Ia yang membutuhkan informasi apa, dari siapa dan apa jenis kelaminnya.

Lahir menjadi seorang yang berjenis kelamin perempuan bukanlah pilihan dari setiap individu. Secara biologis kita sudah diberikan jenis kelamin menjadi laki-laki atau perempuan. Hidup dengan jenis kelamin Perempuan memang perlu berusaha lebih banyak dibanding dengan kehidupan lelaki. Bagaimana tidak? Seorang Perempuan yang hidup di lingkungan dengan doktrin patriarkinya yang sudah mengakar, semua (masih) serba dibatasi. Banyak yang beranggapan bahwa peran perempuan adalah berperan secara reproduktif dan yang berhubungan dengan domestic untuk keluarganya.

Setiap manusia dilahirkan dengan hak yang sama, baik laki-laki maupun perempuan dan tersebutkan dalam amanat Undang-Undang Dasar bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu, seharusnya mereka memiliki akses yang sama untuk berkarya di ranah publik, termasuk dalam sektor pendidikan. Pendidikan merupakan hak setiap orang, tanpa terkecuali perempuan karena pada dasarnya setiap orang berhak mengenyam pendidikan tanpa dibatasi oleh satu hal apapun. Maka dari itu, budaya patriaki yang mencekram di masyarakat harus bisa di hilangkan secara perlahan.

Ini akan menjadi harapan bersama dalam mewujudkan Indonesia inklusif dan ramah gender. Sehingga nantinya pemahaman-pemahaman mengenai porsi laki-laki yang lebih diutamakan akan berubah ke dalam pemerataan hak antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya termasuk memiliki pilihan berpendidikan. Karena pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia bukan hanya milik lelaki semata.

Hingga saat ini doktrin dari perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, perempuan tidak perlu memiliki karier gemilang. Karena setinggi-tingginya pendidikan perempuan, ia akan tetap berakhir di dapur menjadi ibu rumah tangga, dan yang layak untuk memimpin di sektor publik hanya laki-laki. Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang harus segera dihilangkan, dan perihal membangun sebuah keluarga, tidak seterbatas itu untuk peran perempuan. Dengan pendidikan adalah upaya bagi seorang perempuan untuk mampu menyejahterakan dirinya dan lingkungannya.

Berbicara pendidikan bukan hanya tentang bersekolah di dalam lingkungan pendidikan formal, belajar, ujian lalu mendapatkan ijazah. Pendidikan dalam Rencana strategi Kemdikbud disebutkan bahwa Pendidikan merupakan proses yang berlangsung seumur hidup, yaitu sejak lahir hingga akhir hayat. Pendidikan harus diselenggarakan dengan sistem terbuka yang memungkinkan fleksibilitas dan waktu penyelesaian program secara lintas satuan dan jalur pendidikan. Di mana implementasinya di tuangkan dalam tiga jenis utama pendidikan, yakni: Pendidikan Formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal.

Di dalam rumah entah bersama suami dan istri atau orang tua dan anak ini pun tentang pendidikan, pendidikan informal namanya. Pendidikan informal erat kaitannya dengan pendidikan di dalam keluarga, tentu saja dengan orang tua, anak dan seluruh unsur di dalam keluarga. Di kutip dari hadist “Al-Ummu madrasatul Ula” yang atinya: Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Betul, bahwa pendidikan pertama anak adalah dari keluarganya, tersebut adalah ibunya, yang mana adalah seorang perempuan. Bahwa tidak salah ketika perempuan berpendidikan tinggi untuk menjadi seorang Ibu. Lebih lanjut hadisnya menyatakan “Iza adadtaha syaban thayyibal araq” yang artinya: jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya. Maka dengan ini, pendidikan adalah modal awal untuk Perempuan menjalankan peran-perannya dengan baik. Baik itu perannya sebagai istri, ataupun sebagai ibu.

Dalam hal pendidikan terlihat jelas bahwa tidak ada pembedaan bagi laki-laki dan perempuan, Perempuan bisa menjadi aktor yang vital di dalam sektor pendidikan. Pun dengan akhir dari Perempuan yang memilih untuk menikah dan bekerja di dalam rumah untuk keluarganya dan bagi perempuan yang memilih untuk menjalankan karier pekerjaannya di luar rumah. Tidak berarti dengan kata “percuma”, percuma berpendidikan tinggi, berakhir menjadi ibu rumah tangga, pun dengan percuma karier kerja bagus tetapi keluarga tidak terurus atau bahkan tidak termasuk ke dalam pilihan perempuan.

Seorang Perempuan berpendidikan tinggi adalah untuk dirinya siap menjalankan kehidupannya nanti, entah sebagai ibu rumah tangga atau pribadi yang aktif di ranah publik. Dia berpendidikan tinggi untuk kebutuhan dirinya. Karena ia sadar hidup di zaman yang seharusnya tidak lagi kolot dengan budaya patriarki, perempuan perlu berwawasan tinggi dan mampu mandiri untuk memenuhi kebutuhan dengan ekspektasi harapannya.

Pun dengan pembelajaran di kehidupan keluarga, laki-laki dan Perempuan harus sama-sama mampu dan bekerja sama untuk menciptakan generasi terbaik setelah mereka. Tidak berarti ketika seorang anak hidup dengan akhlak yang kurang baik, ini bukan dosa seorang ibu yang membiarkannya besar tanpa akhlaknya. Tidak ada Ibu yang membiarkan anak hidup dengan akhlak tidak baik, etika yang kurang. Sejatinya anak yang membanggakan dan berguna bagi nusa, bangsa dan agama adalah harapan semua orang tua. Kegagalan kehidupan anak bukan hanya tanggung jawab ibu, tapi peran orang tua lah (Ayah-Ibu) yang Ia temui di dalam keluarga. Orang tua harus sama-sama berprinsip mubadallah atau kesalingan, dan sama-sama untuk terus belajar hingga tiada akhir daripada sebuah pendidikan. (Anisa Yusuf)

Mahasiswa Pendidikan Masyarakat 2018 Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *