TOXIC Relationship menurut Lilian Glass dapat diartikan sebagai bentuk hubungan yang tercipta berlandaskan konflik, persaingan, dan kebutuhan dari satu orang dalam upaya mengontrol pasangan relasinya. Dalam hubungan ini timbul persaingan, rasa tidak saling menghormati, dan muncul ketakutan tak berakhir dalam jalinan hubungan seperti ini karena sifat manipulatif dan dominasi salah satu pihak.
Seringkali hubungan semacam ini membuat salah satu pihak merasa tidak berdaya dalam menyampaikan keinginannya karena rasa takut dan perasaan terancam. Dampak hubungan Toxic pada korban adalah sulit untuk menjalani hidup secara normal dan sehat.
Sebagai contoh dalam pergaulan di kampus saat mahasiswa menjalani hubungan asmara seringkali salah satu dari pasangan mendominasi pasangan lainnya dengan cara-cara misalnya; cemburu yang berlebihan, membatasi pergaulan dengan teman sejawat, mengontrol setiap tindakan yang dilakukan oleh pasangan, sering berbohong terhadap pasangan, sering playing victim saat ada masalah, melakukan bujuk rayu untuk mau melakukan hal-hal yang bernuansa seksual, dan mengancam dengan berbagai cara jika keinginan salah satu pasangan tidak dituruti, malah dalam tahap ekstrim pasangan Toxic dapat melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun seksual.
Toxic relationship dapat terjadi di manapun, kapanpun dan dalam berbagai hubungan termasuk hubungan asmara mahasiswa di lingkungan kampus. Hubungan asmara mahasiswa dapat dijalin antar mahasiswa atau bisa juga antara mahasiswa dan dosen/ tenaga pendidikan. Hubungan asmara merupakan salah satu hubungan yang rentan dengan tindak kekerasan seksual.
Salah satu strategi yang biasanya dilakukan oleh pasangan Toxic adalah mendominasi, memanipulasi, mengekang pasangannya dengan bujuk rayu bernuansa seksual dan menjadikannya senjata untuk mengancam sehingga pasangannya sulit untuk menolak semua keinginan pasangan Toxic tersebut, dan hal ini sering sekali terjadi di berbagai kasus kekerasan seksual.
Beberapa laporan kekerasan seksual yang dilaporkan seringkali akibat dari hubungan toxic yang dijalani mahasiswa dengan pasangannya. Kasus seperti ini salah satu kasus yang sulit untuk dibuktikan dengan dalih pelaku suka sama suka. Dalih ini bukan hal yang baru karena dalam hubungan asmara dianggap hal yang wajar saat pasangan melakukan perilaku bernuansa seksual.
Padahal yang sebenarnya sering terjadi adalah perempuan merasa dirinya sedang dimanipulasi dengan berbagai cara seperti diancam akan disebarkan foto pribadinya atau video syur yang tanpa diketahui korban telah direkam oleh pelaku. Ancaman-ancaman ini sering kali dipraktekan oleh pelaku agar korban selalu patuh dan menuruti keinginan pelaku. Tidak ada dasar hubungan suka sama suka jika salah satu pihak merasa perbuatan tersebut tidak diinginkan. Tindak kekerasan seksual bukan dilihat dari hubungan apa yang sedang dijalani korban dengan pelaku tetapi pada tindakan yang dilakukan pelaku kepada korban saat kejadian.
Siapapun yang saat ini sedang menjalani hubungan yang dirasa toxic ada baiknya segera memutuskan hubungan tersebut dan segera mencari bantuan pemulihan, dan jika hal tersebut terjadi di lingkungan kampus segeralah melaporkan hal tersebut kepada Satgas PPKS yang sudah dibentuk di kampus tersebut agar segera mendapatkan bantuan pendampingan dan pemulihan.
Pendampingan dan pemulihan korban sangat penting karena hubungan toxic selalu menimbulkan trauma bagi korban. Dampak kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas dari hubungan toxic seperti hasil penelitian Anindya dan Yudi yang ditulis dalam Journal of Pscychology diantaranya adalah; mudah marah, gelisah, sulit berkonsentrasi, pikiran kosong, kecenderungan menghindari masalah, gelisah, ketergantungan tinggi kepada orang lain, kewaspadaan tinggi, keringat berlebihan, mual dan pusing.
Dampak-dampak tersebut merupakan serangkaian dampak kecemasan yang bersifat psikologis yang akhirnya juga berdampak pada Kesehatan fisik penyintas. Pendampingan psikologis pada penyintas sangat penting untuk menyembuhkan luka batin yang tidak semua orang pahami tetapi dampaknya dapat berpengaruh terhadap kehidupan dimasa depan.
Tindak kekerasan seksual tidak selalu dilakukan oleh orang asing kepada korban, justru kasus yang sering terjadi tindak kekerasan seksual yang dialami oleh korban dilakukan oleh orang terdekat bahkan pasangan dalam jalinan asmara yang sedang dijalani. Siapa pun dimana pun jangan pernah membiarkan diri kita sebagai makhluk yang merdeka merasa dikekang oleh sebuah hubungan yang tidak sehat dengan posesif yang berlebihan sampai membuat ruang gerak kehidupan sosial menjadi terbatas sehingga kesulitan untuk mengembangkan diri.
Kita sebagai makhluk sosial juga dituntut untuk lebih peduli terhadap lingkungan pergaulan. Jangan takut untuk melaporkan jika ada yang melihat, mendengar atau malah merasakan adanya tindak kekerasan seksual di lingkungan pergaulan kita. Tindak kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja. Stop untuk mengatakan bahwa mengadukan tindak kekerasan seksual itu adalah perbuatan yang berlebihan.
Bantu sesama kita keluar dari pusaran Toxic suatu hubungan asmara yang sangat sulit untuk dilepaskan. Tidak ada kekerasan seksual yang berhasil diselesaikan dengan cara kekeluargaan karena itu akan membuat pelaku merasa perbuatannya ditolelir dan sudah dipastikan perbuatannya akan terus terulang.
Pelaku kekerasan seksual harus mendapatkan hukuman setimpal dari perbuatannya sehingga berefek jera dan tidak akan mengulangi kembali perbuatannya. Karena kita harus tahu bahwa pelaku kekerasan seksual cukup pintar membungkus perbuatannya dengan dalih hubungan asmara suka sama suka. Memberikan kesadaran kepada korban juga sangat penting untuk dapat mengajaknya keluar dari pusarah hubungan yang Toxic tersebut. Harus kita ketahui bahwa pelaku kekerasan seksual itu seseorang yang manipulatif dan sering kali bersikap playing victim saat perilakunya terbongkar dan tidak jarang korban mengalami victim blaming dan akhirnya terus terjebak dan masuk dalam pusaran hubungan asmara Toxic yang tiada akhir.
Bersama-sama kita bisa mencegah tindak kekerasan seksual dalam pusaran hubungan asmara jika kita mau mendengar dan berempati terhadap pergaulan dilingkungan sekitar kita. Jangan sampai normalisasi yang saat ini sering dilakukan akan membuat orang-orang yang kita sayangi nantinya menjadi korban kekerasan seksual. Korban adalah korban dan pelaku adalah pelaku. Jangan pernah membiarkan korban menjadi pelaku dan pelaku seolah-olah menjadi korban. (Wiwi Widiastuti SIP MSi)
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Siliwangi, Ketua Satgas PPKS