RADAR TASIKMALAYA – Kebijakan publik adalah unsur penting yang ada pada bidang politik. Kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan di dalam waktu tertentu.
Dalam proses pembentukannya, Undang-undang paling tidak akan melewati proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan sebelum akhirnya resmi diberlakukan dalam sistem hukum suatu negara. Alur rancangan Undang-undang tersebut akan bertumpu pada sistem pemerintahan yang dianut di negara tersebut.
Sebuah negara yang menganut konsep Trias Politica akan menghasilkan sebuah produk Undang-undang yang biasanya diusulkan oleh lembaga Legislatif atau Eksekutif. Tentu, produk Undang-undang ini bersumber dari kebutuhan masyarakat yang ditampung dan dimatangkan dalam pembahasan legislasi sebelum akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang diharapkan akan memberi kemaslahatan bagi masyarakat dalam kurun waktu tertentu, baik itu Undang-undang terkait hukum, politik, sosial, dan sebagainya.
Dalam perspektif demokrasi, terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-undang adalah salah satu unsur negara hukum yang harus dipenuhi demi terwujudnya supremasi hukum. Dalam istilah yang lebih sederhana, supremasi hukum adalah situasi dan kondisi di mana seluruh masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris, supremasi hukum terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.
Kebijakan atas pemberlakuan Undang-undang tentu bisa diperdebatkan selama kebijakan tersebut mencederai asas-asas kemanusiaan, sesuai dengan salah satu prinsip demokrasi yang menitikberatkan kepada perlindungan HAM. Namun apa jadinya jika suatu produk Undang-undang yang akan mencederai asas kemanusiaan dan HAM itu justru dianggap sebagai solusi atas permasalahan hukum yang semakin menggila di sebuah negara? Hal inilah yang menjadi paradoks pada Film seri The Purge, membuat film ini memiliki kekuatan yang cukup besar untuk memberi kesan berdasarkan perspektif tersebut.
The Purge adalah sebuah film yang pertama kali rilis pada tahun 2013 dengan membawa sebuah kejutan. Lantas, kejutan apa yang dihadirkan film dengan budget hanya sekitar tiga juta USD dan bukan diperankan oleh jajaran aktor papan atas Hollywood? Satu-satunya hal yang membuat The Purge terasa menampar terletak pada premisnya yang kuat.
Membangun kedekatan antara penyaksi film dengan segala kekacauan yang ada dalam film adalah senjata jitu bagi The Purge. Kedekatan yang dimaksud adalah kondisi di mana suatu masyarakat begitu sulit mendapatkan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan. Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya akan menimbulkan kemarahan komunal dan bermuara pada kebencian terhadap penguasa, premis itulah yang terdengar relevan bagi keadaan saat ini.
Menceritakan tentang sebuah produk kebijakan publik tentang adanya satu malam di dalam satu tahun yang melegalkan seluruh masyarakat Amerika Serikat untuk melakukan tindakan kriminal dengan jenis apapun! Bagaimana, sudah cukup kaget dengan premis yang dibangun dalam film ini? Di malam pembersihan yang dimulai dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00 besoknya ini, masyarakat Amerika Serikat dengan leluasa menumpahkan segala sisi gelap mereka. Saling memburu, membunuh, bersembunyi, membalaskan dendam, dan melakukan aksi penjarahan adalah sebagian kecil dari aktivitas yang terjadi di malam itu.
Lalu, apa sebenarnya latar belakang dan tujuan diberlakukannya kebijakan The Purge ini? Tak lain dan tak bukan adalah bobroknya sistem sosial, politik, hukum, dan HAM di negara Amerika Serikat yang diceritakan sudah mencapai titik terendah sepanjang sejarah negara tersebut. Tahun demi tahun, kasus pembunuhan semakin meningkat, kasus pencurian tak dapat diatasi oleh pihak keamanan berwajib, ketimpangan kelas sosial dan ekonomi yang makin terpuruk membuat pihak parlemen Amerika Serikat akhirnya melegalkan Undang-undang The Purge.
Hasilnya? Dalam film yang mengambil latar waktu di tahun 2022, beberapa tahun setelah The Purge diberlakukan, kebijakan tersebut terbukti efektif memberantas berbagai masalah di tengah masyarakat Amerika Serikat. Kemiskinan dan kejahatan Amerika Serikat di tahun 2022 menyentuh titik terendah sepanjang sejarah setelah mengalami krisis panjang. Mengorbankan satu malam menjadi sebuah momentum pembantaian dan amoral demi 364 hari lain dalam satu tahun yang tertib dipandang sebagai kebijakan yang menguntungkan.
Ada tiga kacamata yang setidaknya harus dipakai guna memahami arah kontruksi film The Purge; Pertama, Kacamata hukum dalam demokrasi, di dalam negara hukum, hukum adalah hal yang utama. Namun, menjalankan hukum tersebut tentu dibutuhkan banyak cara. Sayangnya, aspek penerapan hukum dalam harapan memiliki banyak ketimpangan dibanding dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataannya.
Kebijakan The Purge menjadi benar dalam kacamata hukum demokrasi, sebab di dalam persepsi negara hukum, kebebasan adalah hal yang dapat dipertanggungjawabkan selama hal tersebut menjadi bentuk pertanggungjawaban dari kekuasaan negara (produk hukum).
Kedua, Prinsip moralitas, Kekerasan yang terjadi dalam anggota masyarakat dalah bentuk dari ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem yang berjalan. Masyarakat yang kadung sakit hati akan berubah menjadi gerakkan perlawanan terhadap penguasa dan menimbulkan kekacauan politik. Masyarakat tidak akan jauh-jauh berpikir tentang moralitas mereka sebagai manusia hukum. Maka dari itu, kekerasan dan pemberontakan menjadi bentuk dari gugatan terhadap sistem yang cacat.
Ketiga, Hirarki ekonomi, The Purge pada akhirnya menjadi program genosida dan propaganda penguasa guna menyingkirkan populasi masyarakat yang berada di jurang kemiskinan. Sebab mereka yang memiliki modal besar untuk melindungi diri pada malam pembersihan akan jauh memiliki kemungkinan hidup yang lebih besar daripada kelompok masyarakat miskin yang termajinalkan dan kesulitan mencari perlindungan.
Dalam film ini, orang-orang kaya dengan mudah mempersenjatai diri atau menyewa jasa perlindungan untuk melewati malam pembersihan dengan santai sambil menikmati Wine bersama keluarga tercinta. Sedangkan bagi orang miskin, mereka akan menjadi kelinci buruan dari sesama masyarakat kelas bawah yang memburu mereka. Inilah propaganda mengerikan dari The Purge. Menyakitkannya, fakta ini seolah tertutupi oleh tingkat keberhasilan The Purge yang menurunkan tingkat kejahatan di Amerika Serikat dalam titik terendahnya sepanjang sejarah.
Fenomena film The Purge nampaknya harus mendapat perhatian lebih bukan hanya dari penikmat film. Premis yang ada di dalamnya cocok untuk sama-sama kita renungkan, apakah sistem hukum dan demokrasi dengan supremasi hukumnya akan selalu menjadi solusi bagi terciptanya ketahanan sosial, politik, hukum, maupun HAM atau hanya akan membenturkan manusia dengan moralitasnya sendiri yang telah dibangun selama ribuan tahun? (Agus Salim Maulana SPd)
Penulis adalah Alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Siliwangi