RADAR TASIKMALAYA – Kata “viral” saat ini bukan lagi menjadi hal yang baru di media sosial maupun media konvensional. Hal ini dikaitkan dengan konten-konten yang beredar di media tersebut yang kemudian menjadi bahan perbincangan orang banyak. Sebagai contoh, saat ini di Tasikmalaya sedang ramai dibicarakan jajanan Roti Kukus Khas Thailand dan Tulang Rangu by Nawa, hal ini berawal dari beberapa food influencer Tasikmalaya yang membuat video saat mencoba jajanan tersebut kemudian banyak pengguna yang me-repost, mengunggah kembali, membagikan, dan bahkan memberikan reaksi terhadap konten tersebut.
Selain itu, ada juga pelaku bisnis Tulang Rangu by Nawa melakukan live melalui aplikasi TikTok setiap waktu berjualan, sehingga semakin viral jajanan tersebut. Namun bukan hanya karena viral dan ramai dibicarakan banyak orang, jajanan ini juga memiliki rasa yang sesuai dengan lidah masyarakat Tasikmalaya.
Lantas apa arti dari istilah viral? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), viral memiliki arti yang berkaitan dengan virus, atau menyebar luas dan cepat seperti virus. Hal ini berkaitan erat dengan konten-konten yang mudah menyebar dengan cepat di media sosial terutama konten yang berkaitan dengan kuliner. Dengan adanya akses internet yang mudah dan terampilnya pengguna dalam menggunakan aplikasi dan fitur-fitur dalam ponsel pintarnya membuat konten-konten yang beredar di media sosial semakin mudah menyebar.
Viralitas dari sebuah konten dalam media sosial tidak terlepas dari peran influencer. Influencer merupakan seseorang atau figur dalam media sosial yang memiliki jumlah pengikut yang banyak dan signifikan, dan hal yang mereka sampaikan dapat mempengaruhi perilaku dari pengikutnya (Masitoh, 2022). Bahkan profesi influencer saat ini menjadi profesi yang sudah diakui dan cukup menjanjikan untuk menghasilkan cuan. Dalam mengelola konten dan akun media sosialnya, setiap influencer memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing, sebagai contoh salah satu influencer kuliner Tasikmalaya dengan akun instagram @jajantasik.id yang selalu menyapa followersnya dengan kata “bestie” dalam setiap kontennya.
Melihat pesatnya perkembangan dunia digital sebagai media promosi dan pemasaran saat ini, mendorong kreativitas setiap orang untuk ikut berkecimpung dalam dunia digital menjadi influencer. Salah satu hal yang sering ditemui di Tasikmalaya sendiri yaitu menjadi food influencer, karena jika kita lihat perilaku masyarakat saat ini yang memiliki perilaku FOMO (Fear Out Missing Out) atau adanya rasa takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas tertentu membuat para influencer semakin termotivasi untuk membuat konten yang baru setiap harinya.
Salah satu dampak yang terlihat dari fenomena viral ini yaitu ramainya tempat bisnis kuliner ditandai dengan adanya antrean yang panjang dari pembeli, hal ini tentunya diikuti dengan peningkatan penjualan dari sebuah bisnis. Sehingga beberapa pelaku bisnis kuliner Tasikmalaya saat ini, memanfaatkan momen seperti ini untuk memperkenalkan dan mempromosikan bisnis mereka.
Bahkan beberapa tempat seperti coffee shop yang belum buka secara resmi namun sudah dibuatkan konten oleh beberapa food influencer begitu dinanti oleh warga Tasik. Hal ini membuat kita berpikir, seperti sudah menjadi keharusan ketika sebuah bisnis kuliner memiliki rasa yang enak, tempat yang nyaman bahkan pelayanan yang memuaskan namun tempat usahanya masih belum ramai juga, artinya mereka membutuhkan digital marketing melalui food influencer untuk melakukan brand awareness ke pengguna media sosial.
Dapat disimpulkan bahwa teknik pemasaran melalui food influencer di zaman sekarang ini merupakan salah satu strategi pemasaran yang efektif untuk kegiatan bisnis kuliner. Dengan adanya budaya sharing konten dapat membantu proses distribusi informasi menjadi akurat dan tepat waktu. Oleh karena itu, untuk para penggiat kuliner di Tasikmalaya khususnya UMKM ada baiknya untuk mencoba menggunakan jasa food influencer agar meningkatkan brand awareness untuk produk yang mereka jual sehingga dapat berdampak pada peningkatan penjualan dan profit yang didapatkan. (Annisa Desty Puspatriani SE MM)
Penulis merupakan Dosen Prodi Manajemen Pemasaran di Politeknik LP3I Kampus Tasikmalaya