RADAR TASIKMALAYA – Beberapa dekade terakhir, dunia telah mengenal berbagai macam konsep ekonomi yang mencoba menjawab permasalahan keberlanjutan. Brown Economy, ekonomi coklat, yang masih mendominasi hingga sekarang, mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang dilakukannya.
Kemudian muncul Green economy, ekonomi hijau, sebagai jawaban atas ekonomi coklat, yang menawarkan solusi lebih ramah lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi. Dikenal juga Circular Economy, ekonomi sirkuler yang mengajak kita agar mendaur ulang dan menggunakan kembali sumber daya yang telah ada.
Di antara berbagai konsep tersebut, Blue Economy, economi biru adalah salah satu pendekatan unik: belajar dari kesempurnaan sistem alam. Berbeda dengan ekonomi konvensional lainnya, Blue Economy dapat, bukan hanya mengurangi dampak negatif atau daur ulang, tetapi menciptakan bentuk kegiatan yang alamiah bermanfaat untuk semua yang sama dengan salah satu eksploitasi alam.
Dalam sistem ini, segala sesuatu secara alami memberikan berbagai manfaat, dan apa pun yang konvensionalnya disebut ‘limbah’ untuk satu perusahaan dapat dianggap sumber keuntungan bagi orang lain. Jika ekonomi hijau sering kali memerlukan investasi yang mahal pada teknologi ramah lingkungan, maka ekonomi biru menawarkan solusi yang lebih terjangkau dan berkesinambungan karena menyontek prinsip alam.
Jika ekonomi sirkular berfokus pada daur ulang dan penggunaan kembali sumber daya, ekonomi biru melangkah lebih jauh dengan menciptakan sistem terintegrasi di mana ‘limbah’ dari satu proses menjadi sumber daya berharga untuk proses selanjutnya.
Konsep yang diperkenalkan oleh Gunter Pauli – orang Belgia, pengusaha – ini, terinspirasi dari pengamatannya terhadap ekosistem alam. Ia melihat bagaimana dalam alam, setiap proses selalu menghasilkan manfaat ganda: menguntungkan pelaku utama sekaligus memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Menurut pengamatan sederhananya: di alam tidak ada yang terbuang sia-sia, seperti jamur yang mengurai kayu lapuk menjadi nutrisi bagi tumbuhan, atau lebah yang mencari nektar sambil membantu penyerbukan Para peminat ekologi sudah mafhum kalau setiap komponen di alam memiliki peran dan memberikan manfaat bagi komponen lainnya. Daun yang gugur menjadi pupuk, mikroorganisme mengurai material organik menjadi nutrisi, dan setiap spesies berkontribusi dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Coba, pernah kita membayangkan, berimajinasi, keberlangsungan suatu sistem ekonomi yang berjalan seperti fungsi alam, di mana tidak ada yang terbuang sia-sia? Sistem di mana setiap proses yang terjadi memberikan hasil yang berupaya berlipat, tidak hanya memperoleh keuntungan uangnya saja, namum juga keberlangsungan lingkungan? Itulah yang semua orang maksudkan dengan Ekonomi Biru sehingga tidak heran berapa besar potensi ekonomi di dalamnya.
Potensi ekonomi dari penerapan konsep ini sangat lah besar. World Bank memperkirakan ekonomi kelautan global bernilai sekitar US$ 2,5 triliun per tahun, setara dengan ekonomi negara besar ketujuh di dunia. Bahkan di Indonesia sendiri implementasi dari konsep Blue Economy telah membuahkan hasil riil. Misalnya, pantai Nusa Penida, Bali sudah ada budidaya rumput laut terintegrasi. Hasilnya, pendapatan petani rumput laut meningkat drastis dari Rp 2 juta per bulan menjadi Rp 5 juta. Dan yang tak kalah penting, biaya produksi dari petani tinggal menurun 30 persen.
Meski berkonotasi air yang biru, Blue economy bukan cuma soal lautan. Menurut United Nations Economic Commission for Africa, Blue Economy berlaku untuk semua badan air, termasuk yang daratan seperti sungai, danau, waduk, dan rawa. Di Waduk Jatiluhur dan Cirata, Jawa Barat tahun 2023 lalu, sistem budidaya ikan yang terintegrasi berhasil membukukan omset mencapai Rp 1,98 triliun sambil juga berhasil menekan biaya pengolahan air hingga 40% karena ikan-ikan tersebut membantu menjaga kualitas air Waduk Jatiluhur dan Cirata secara alami.
Di Pangandaran pun, masyarakat ternyata telah praktik prinsip-prinsip Blue Economy sebelum hal tersebut menjadi populer. Aturan main yang by nature membatasi produksi melalui sistem “palang” penangkapan ikan di mana nelayan hanya melaut sesekali telah terbukti ampuh menjaga kelestarian stok ikan. Limbah ikan dari tempat pelelangan ikan diolah menjadi pakan ternak dan sumber pupuk organik. Sedangkan cangkang kerang yang semula menjadi limbah kini dimanfaatkan menjadi bahan kerajinan rumah dengan nilai ekonomi yang tinggi.
Inovasi teknologi memperluas potensi Blue Economy. Di Selat Larantuka, pembangkit listrik tenaga arus laut pun berpotensi menghemat biaya bahan bakar fosil sampai dengan Rp 50 miliar per tahun. Sementara itu, di Danau Toba, inovasi ekowisata berbasis komunitas telah melakukan peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga sebesar 60% sekaligus menghemat biaya pengelolaan lingkungan sebesar Rp 5 miliar per tahun dengan melibatkan masyarakat dalam menjaga kebersihan danau.
Perlu dipahami juga bahwa terdapat tantangan juga yang dihadapi dalam implementasi Blue Economy. Di sejumlah tempat, masih terdapat praktik destruktif seperti pembuangan limbah ke laut, penggunaan bom ikan, atau penambangan pasir liar atau yang sekarang lagi ramai pagar laut. Mengubah praktik-praktik ini menjadi model bisnis berkelanjutan memerlukan kerja sama semua pihak.
Menurut McKinsey, Indonesia dapat menambahkan sebanyak US$ 45-50 miliar per tahun ke PDB-nya di 2030 jika dapat mengoptimalkan Blue Economy-nya di sektor kelautan dan perairan darat. Hal ini tidak termasuk potensi penghematan oleh mengurangi kerusakan lingkungan. Tampaknya keberhasilan Blue Economy bergantung dari kemampuan kita untuk menggunakan teknologi inovasi dengan kebijaksanaan lokal.
Saya suka kutipan dari Gunter Pauli ini: “The Blue Economy is not merely about making sacrifices; it is a vision of transformation, reshaping how we utilize marine resources to balance ecological sustainability and economic prosperity.” Jika kita meniru kebijaksanaan alam dalam menggunakan sumber alamnya; tidak hanya kita bisa menyeleksinya dalam model ekonomi yang semakin menguntungkan secara finansial, tetapi namun juga memberikan keyakinan bahwa lingkungan kita untuk generasi berikut. (Unang Atmaja)
Penulis merupakan Dosen Prodi Agribisnis Universitas Siliwangi, Pengampu Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.