RADAR TASIKMALAYA – Fakta bahwa Kota Tasikmalaya adalah kota termiskin di antara 27 kota/kabupaten se-Jawa Barat mungkin dinilai mengada-ada. Apalagi kalau melihat perkembangan pembangunan di wilayah pusat kota.
Sebagai seorang perencana kota dan daerah, saya selalu melakukan pengamatan dengan melihat wilayah tanpa informasi terlebih dulu. Semua kawasan disusur untuk mendapatkan mental map. Gambaran ini hanya bisa didapat dari pengamatan menyeluruh, bukan dari kawasan yang penduduknya paling sejahtera, bukan dari kawasan yang relatif lebih terbangun, bukan pula dari laporan-laporan yang bersifat asal bapak senang.
Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya jauh di atas Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat, apalagi dibandingkan dengan daerah Priangan Timur lain (lihat grafis). Garis Kemiskinan adalah kebutuhan per orang per bulan. Satu keluarga dengan satu istri dan dua anak akan dinilai tidak miskin jika secara total penghasilan keluarga tersebut mencapai 1.920.000,00 per bulan.
Head Count Index (HCI-P0) adalah persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Pada 2021, jumlah persentase penduduk miskin di Kota Tasikmalaya adalah 13,13 persen. Artinya, ada 13,13 persen dari total penduduk Kota Tasikmalaya yang pendapatannya per orang sama dengan atau kurang dari Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya pada 2021 adalah Rp 480.341/bulan.
Menarik mencermati data kemiskinan ini. Harian Radar Tasikmalaya, 28 September 2022 menyebutkan jumlah DTKS Kota Tasikmalaya pada 2022 adalah 210.867 Kepala Keluarga (KK) atau 647.161 jiwa. Berdasarkan data pada situs Disdukcapil Kota Tasikmalaya, penduduk Kota Tasikmalaya per 28 Sepember 2022 adalah 244.417 KK dan 737.244 jiwa. Artinya jumlah penduduk Kota Tasikmalaya yang terdaftar di DTKS sejumlah 86,27 persen KK atau 87,78 persen jiwa. Padahal jumlah penduduk miskin Kota Tasikmalaya menurut BPS adalah 13,13 persen. Artinya, penduduk Kota Tasikmalaya yang berhak menerima bantuan sosial pemerintah (pusat, provinsi dan kota) hanya 13,13 persen. Sementara 73 persen penerima bantuan sosial bukanlah kelompok yang berhak. Ini tentu bukan prestasi. Tapi mengambil hak orang lain.
Salah satu misi Pemerintah Kota Tasikmalaya 2017-2022 adalah menurunkan Angka Kemiskinan 1 persen per tahun. Dimulai dengan angka 14,48 pada 2017 dan masih di angka 13,13 pada 2022. Selain adanya pandemi yang tidak diduga, dibandingkan yang dilakukan daerah lain, program penanggulangan kemiskinan di Kota Tasikmalaya masih belum optimal. Terbukti dengan predikat kota termiskin se-Jawa Barat masih milik Kota Tasikmalaya.
Keberadaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dan dokumen perencanaan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang pernah disusun pada 2017-2022 tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan dan bahkan tidak disusun SPKD untuk periode selanjutnya. Padahal ini sudah diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2020 tentang Tata Kerja dan Penyelarasan Kerja serta Pembinaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Di sisi lain, secara teknis, kelembagaan Sistem Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) yang di daerah Priangan Timur lain sudah berjalan, di Kota Tasikmalaya belum optimal. Pelayanan masih dilakukan di dinas. Hal ini jelas jauh tertinggal karena Kementerian Sosial telah menginisiasi pembentukan dan pelayanan terpadu sejak 2018.
Pelayan Masyarakat
Sebagaimana kita tahu, padanan kata pegawai negeri di Amerika dan Eropa adalah ”civil servant”, artinya secara harfiah pelayan masyarakat, bukan pegawai pemerintah. Pemilihan kata ini tidak bisa lepas dari pola pikir dan konsep yang mendasarinya. Tidak heran kalau di kita, pegawai negeri atau ASN tidak berpikir mengenai pelayanan masyarakat.
Pembinaan kepegawaian menjadi hal yang krusial. Terbukti menjadi salah satu yang diawasi KPK. Dalam masa peralihan ditiadakannya jabatan eselon 4a pada bidang-bidang di setiap dinas, banyak sekali pemangku jabatan fungsional terpaksa yang dipelesetkan menjadi jaksa. Hal ini membuka kesempatan bagi para jafung untuk mendapatkan promosi menjadi Kepala Bidang meskipun secara jabatan dan kepangkatan masih di bawah para ”jaksa”. Bagaimanapun, hal ini mengurangi inisiatif dan semangat kerja. Apalagi adanya ketidakjelasan nasib para jafung. Bahkan menghitung angka kredit pun belum jelas.
Pembinaan jenjang karier seperti ini pada akhirnya akan berdampak pada pelayanan kepada masyarakat. Bagaimana pelayanan dapat dilakukan secara optimal kalau kemampuan dan kemauan para pemangku jabatan ini kurang. Sementara yang memiliki kemampuan mumpuni sudah telanjur kecewa.
Pesan untuk Wali Kota
Janji kampanye yang menjadi visi misi wali kota terpilih kemarin adalah menurunkan angka kemiskinan 1 persen per tahun. Selama lima tahun ini tidak tercapai. Jadi, sebaiknya, tidak perlu janji muluk-muluk. Masyarakat cukup berikan hiburan public space baru seperti Jalan HZ Mustofa untuk berfoto dan upload ke media sosial, tidak perlu dipikirkan pula sarana dan prasarana pendukung seperti tempat parkir yang layak dan cukup, relokasi pedagang kaki lima, apalagi memikirkan tentang omzet para pedagang yang turun karena nilai penjualan menurun. Tidak perlu juga dipikirkan perlintasan kereta api tanpa palang pintu yang baru saja memakan korban.
Tidak perlu panjang menyapa karena saya tahu sharks born swim. Kita coba menghidupkan harapan Tasikmalaya yang lebih baik. Semoga tidak kecewa lagi. (Mia Wastuti SSos MSc MEng)