Quo Vadis Keteladanan Pejabat Kita

Pendidikan150 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Belakangan ini masyarakat Indonesia kembali dihebohkan oleh pemberitaan viral. Setelah kasus Ferdy Sambo usai, kini publik Indonesia dibuat geger oleh tingkah Mario Dandy Satrio yang secara biadab menganiaya David hingga tak sadarkan diri.

Kekesalan masyarakat terhadap pelaku penganiayaan tersebut semakin membuncah setelah Mario diketahui gemar memamerkan harta kekayaannya lewat media sosial. Mirisnya lagi, setelah ditelusuri, rupanya Mario ini merupakan anak dari Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bagian (Kabag) Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Kantor Wilayah (Kanwil) Jakarta Selatan yang diduga memiliki harta kekayaan sebanyak puluhan miliar rupiah.

Akibat hal itu, Mario dan Rafael sama-sama dikecam oleh netizen. Klimaksnya, Mario ditahan oleh pihak kepolisian. Sementara, Rafael dicopot dari jabatannya oleh Menteri Keuangan. Selain itu, Rafael juga diwajibkan  untuk menyerahkan laporan harta kekayaannya kepada pihak yang berwenang.

Melihat kasus yang melibatkan pejabat negara dewasa ini, tentu kita merasa sangat prihatin. Alih-alih bekerja dengan penuh integritas dan menebar teladan untuk masyarakat, tingkah pejabat negeri ini justru berdampak pada rusaknya kepercayaan publik terhadap institusi tempat mereka mengabdi. Jika memang mata air keteladanan sulit untuk dijumpai dari jiwa-jiwa pejabat kita hari ini, lantas kemana lagi kita harus menemukannya?

Belajar dari Mohammad Natsir

Keteladanan yang sulit dijumpai pada jiwa-jiwa pejabat kita hari ini, kiranya dapat sedikit terobati dengan seungguk kisah penuh teladan dari seorang pria bernama Mohammad Natsir (1908-1993).

Dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatra Barat pada 17 Juli 1908, Natsir tumbuh menjadi tokoh yang bersahaja. Cukup banyak titel yang orang-orang sematkan padanya. Meski begitu, Natsir lebih dikenal sebagai politisi, pemimpin umat Islam, dan negarawan yang turut berjuang bersama dengan Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dkk. pada awal masa Kemerdekaan Indonesia.

Natsir dikenal sebagai public figure yang sederhana. Kesederhanaan itu sedikitnya terpancar dari caranya berbusana. Tidak seperti Bung Karno atau pemimpin besar lainnya yang nampak selalu gagah dan gemerlap oleh atribut kebesarannya. Natsir dengan perawakannya yang relatif kurus dan tinggi selalu mengenakan kacamata, peci, dan kemeja atau sesekali menggunakan jas. Meskipun model berbusananya kurang mengesankan, Natsir tidak dipandang rendah oleh kawan maupun lawannya. Lewat kesederhanaan itulah, mereka menaruh rasa hormat yang begitu tinggi kepada Natsir.

Jas Bertambal

Natsir merupakan salah satu orang kepercayaan pemimpin-pemimpin Indonesia pada awal masa kemerdekaan. Ia mulai menerima kepercayaan untuk memimpin perjuangan Indonesia setelah Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri untuk yang kedua kalinya. Sjahrir menunjuk Natsir menjadi Menteri Penerangan yang bertugas mengabarkan informasi ihwal perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia pada dunia.

M. Dzulfikriddin dalam buku Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia (2010) menerangkan, ketika Sjahrir meminta pandangan dari Presiden Sukarno tentang penempatan Natsir dalam Menteri Penerangan, Sukarno dengan mantap berkata menggunakan bahasa Belanda, “Hij is de man”, yang artinya, “dia memang orang yang tepat.”

Tatkala Natsir menjadi Menteri Penerangan, ia sempat “terciduk” mengenakan jas yang sudah bertambal oleh bawahannya. Merasa iba lantaran orang nomor satu di Kementerian Penerangan kerap terlihat mengenakan jas bertambal, para pegawai kementerian tersebut kemudian berinisiatif membelikannya jas yang baru untuk atasannya. Kesederhanaan pribadi Natsir ini diakui oleh Haji Agus Salim yang pada waktu itu sama-sama menjadi menteri dan George McTurnan Kahin, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat.

Teladan Seorang Pejabat Tinggi Negara

Natsir menjadi salah satu figur yang turut andil dalam pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS). Ia menyampaikan Mosi Integral di muka Parlemen RIS pada 3 April 1950. Mosi tersebut diterima sebagai salah satu pertimbangan untuk membubarkan RIS. Karena itu, negara federasi yang di dalamnya terdapat negara-negara boneka ciptaan Belanda seperti Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur akhirnya resmi bubar.

Natsir yang berperan membubarkan RIS secara konstitusional ditunjuk oleh Presiden Sukarno untuk menjadi Perdana Menteri. Waktu itu, jabatan Perdana Menteri adalah kedudukan tertinggi dalam hierarki pemerintahan Indonesia.

Sejak bekerja menjadi Perdana Menteri pada 7 September 1950, Natsir bersama keluarga kecilnya tinggal di rumah dinas yang lengkap dengan berbagai macam fasilitasnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56.

Sitti Muchliesah, anak tertua Natsir, yang akrab dipanggil Lies, dalam buku Aba M. Natsir sebagai Cahaya Keluarga (2008) menyatakan, meskipun keluarganya diberikan fasilitas yang mewah. Namun, itu semua tidak membuat mereka manja, apalagi sampai pamer harta.

“Rumah itu dilengkapi pelayan-pelayan, yang bermacam-macam tugasnya; ada pelayan yang membenahi rumah, tukang cuci, tukang masak, dan tukang kebun. Karena kami dari kecil sudah dibiasakan bekerja, jadi semua fasilitas yang ada tidak membuat kami manja dan besar kepala.”, kata Lies.

Tim Buku Tempo dalam seri buku Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) menerangkan, bahwa selama Natsir menjadi Perdana Menteri, ia kurang senang menggunakan fasilitas negara untuk keperluan keluarganya. Lies dibiarkan naik sepeda setiap berangkat ke SMP. Sedangkan, adik-adiknya diantar ke sekolah menggunakan mobil De Soto hasil pembelian ayahnya sendiri. Begitu pula dengan istrinya, Noer Nahar, yang terkadang belanja ke pasar dan memasak sendiri.

Natsir juga sempat diingatkan oleh Maria Ulfa, sekretarisnya, bahwa ia memiliki hak atas dana taktis Perdana Menteri yang jumlahnya lumayan banyak. Tetapi, Natsir menolak seluruh dana itu dan memilih agar dana tersebut diberikan pada koperasi karyawannya.

Natsir hanya mampu mengemban tugas sebagai Perdana Menteri dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Ia mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno setelah merasa tidak lagi memperoleh dukungan dari parlemen dan kabinet. Natsir meletakkan jabatannya pada 21 Maret 1951.

Tak lama setelah mengundurkan diri, Natsir bersama keluarganya lekas berpamitan dengan para pelayan di rumah dinasnya. Sesudah itu, mereka kembali ke rumah pribadinya yang amat sederhana di Jalan Jawa No. 28. Kendati, kehidupannya sudah berubah, keluarga Natsir tidak sekali pun bersedih hati. Menurut Lies, ayah dan ibunya selalu berpesan, “Cukupkan yang ada, jangan cari yang tiada.”

Demikianlah, kisah kesederhanaan Natsir. Ia bukanlah tokoh yang hidup di alam imajinasi. Sebagai pemimpin untuk keluarga maupun masyarakat, kesederhanaan Natsir sebagai pejabat tinggi negara seyogyanya menjadi teladan bagi kita di tengah krisis keteladanan pejabat kita belakangan ini. (Naufal Al-Zahra)

Naufal Al-Zahra adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP-Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *