RADAR TASIKMALAYA – Puasa merupakan ibadah sirriyyah. Suatu amalan yang hanya diri sendiri dan Tuhan yang tahu. Maka pahala yang Allah Swt berikan pun diberikan secara langsung dan tanpa batas. Sebagaimana dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Puasa juga membentuk sikap diri yang merasa diawasi oleh Allah SWT, atau istilah lain puasa sebagai upaya melakukan pengawasan internal terhadap diri sendiri untuk selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabatullah).
Pendidikan puasa untuk pengawasan internal ini sangat efektif membentuk pribadi yang taat dan ekstra hati-hati. Kita bisa berpura-pura menjalankan puasa di hadapan manusia, tetapi kita tidak bisa menyembunyikannya dari pengawasan Allah swt. Inilah bentuk dari muraqabatullah yang mengondisikan diri merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupan. Dalam Al-Qur’an disebutkan yang artinya: “Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 5). Jadi Allah Swt melihat, mengetahui rahasia-rahasia, memperhatikan dan juga mengamati semua amal perbuatan baik secara lahir maupun apa yang tersembunyi dalam hati.
Setiap kita di dunia ini dipastikan mendapat pengawasan dari Allah Swt sebagai pencipta alam semesta, selain para malaikatnya yang ditugaskan secara khusus alam mengawasi manusia yaitu Malaikat Raqib dan Malaikat Atid. Bahkan dalam setiap organisasi, perusahaan maupun instansi pemerintah sangat dibutuhkan manajemen pengawasan yang baik. Hal itu bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif dan produktif serta memastikan semua aktivitas yang sedang berjalan sesuai dengan tujuan, rencana dan standard organisasi. Setiap orang memiliki kelemahan manusiawi yang terkadang berpotensi untuk melakukan kecurangan (fraud), penyelewengan atau penyimpangan, baik yang bersifat anggaran budgeting (anggaran) ataupun prosedur (proses) dan authority (kewenangan). Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diperlukan pengawasan yang ketat.
Puasa melatih kita agar mampu mengawasi diri kita sendiri secara internal. Dari sana kita akan berhati-hati dalam bekerja, taat asas, mematuhi dan tunduk terhadap aturan hukum yang berlaku (legal compliance). Dalam ibadah puasa, kita adalah pemeran utama yang akan langsung memperoleh penilaian dari Allah SWT. Kalau dimisalkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada polisi yang akan mengawasi kita, kalau di perguruan tinggi dan perusahaan tidak ada Satuan Pengawas Internal (SPI) yang akan mengaudit, mereviu, memonitoring dan mengevaluasi kita, kalau di kantor pemerintahan tidak ada inspektorat. Hanya kita secara internal yang mengawasi dan menilai serta mempertanggung jawabkannya langsung kepada Allah SWT.
Sebagai nasihat untuk kita semua, ada sebuah kisah kisah yang dicatat oleh Ibnu Jauzi ra dalam Kitab Sifatush-Shafwa. Disebutkan bahwa Nafi berkata, “Aku pergi bersama Ibnu Umar ke suatu daerah di pinggiran kota bersama beberapa orang pengikut, lalu mereka membuka hidangan untuk makan. Tiba-tiba lewatlah seorang anak penggembala. Kemudian Ibnu Umar berkata kepada anak gembala tersebut, “mari nak kita makan.” Ajakan tersebut dijawab, “Maaf saya sedang puasa.” Ibnu Umar berkata, “Hari panas seperti ini engkau berpuasa padahal engkau sedang menggembala kambing di antara pegunungan?” anak tersebut menjawab, “Aku ingin memanfaatkan waktu luang.”
Ibnu Umar semakin takjub dengan anak itu kemudian dia berkata, “maukah engkau menjual seekor kambing dari gembalaanmu, untuk kami akan sembelih, nanti kamu akan mendapatkan makan dengan dagingnya plus uangnya.” Anak tersebut menjawab, “Semua ini bukan milik saya, tapi milik tuan saya.” Ibnu Umar melanjutkan perbincangannya, “Bukankah engkau bisa mengatakan kepada tuanmu bahwa seekor serigala telah memangsanya.” Kemudian anak itu pergi sambil mengangkat jarinya ke langit seraya berkata, “Di mana Allah?” Lalu Ibnu Umar selalu mengulang-ulang perkataan, “Si penggembala berkata, ‘Di mana Allah?’. Sesampainya di Madinah, Ibnu Umar mengirim utusan kepada tuan anak tersebut untuk memerdekakan anak tersebut dan membeli semua gembalaan hewan ternaknya untuk dihadiahkan kepadanya. Wallahu a’lam bish-Shawab. (Acep Zoni Saeful Mubarok)
Penulis merupakan Dosen FAI dan Ketua SPI Universitas Siliwangi