RADAR TASIKMALAYA – Di banyak daerah, termasuk Tasikmalaya, istilah Pokir -pokok-pokok pikiran DPRD- telah menjadi kata kunci yang cair. Ia bisa berarti aspirasi, bisa pula menjadi komoditas politik anggaran. Di balik slogan “penyerapan aspirasi masyarakat”, Pokir justru sering berubah menjadi ruang gelap yang menentukan apakah pembahasan APBD atau regulasi strategis sperti RPJMD, berjalan mulus atau tersandat.
Publik samar-samar mendengar dan mengamati dinamika di Kabupaten Tasikmalaya: ketika pembahasan Ranperda RPJMD yang memuat rencana pinjaman daerah Rp 230 miliar, Pokir berubah menjadi kartu tawar. Ranperda melolos, Pokir mengalir dalam APBD-P. Kini, Kota Tasikmalaya tengah memanas. Tarik ulur besaran Pokir kembali menjadi perbincangan publik, headline media, dan bahan diskusi informal di kantor pemerintahan. Pertanyaannya: apakah Pokir merupakan instrumen aspirasi publik, atau justru alat sandera dalam politik anggaran?
Perspektif ketatanegaraan, hak budget DPRD adalah instrumen luhur—sarana kedaulatan rakyat untuk menentukan arah kebijakan pembangunan dan melakukan kontrol fiskal terhadap eksekutif. Hak budget adalah “akar” yang menjaga keseimbangan kekuasaan di daerah.
Namun praktik Pokir justru mereduksi martabat hak budget itu sendiri. DPRD tidak tampil sebagai perumus dan penyeimbang kebijakan fiskal daerah, tetapi lebih menyerupai SKPD bayangan: sibuk mengusulkan proyek-proyek kecil, kegiatan seremonial, atau bantuan sosial yang secara politis lebih menguntungkan individu legislator ketimbang kepentingan publik. Politik gentong babi.
Ketika Pokir berubah menjadi daftar keinginan masing-masing anggota, hak budget pun tergelincir dari fungsi institusional menjadi alat elektoral personal. Kedaulatan rakyat yang seharusnya hadir melalui keputusan lembaga, justru terfragmentasi menjadi “aspirasi individu” yang sering kali tidak sinkron dengan prioritas pembangunan dalam RKPD atau RPJMD.
LANDASAN HUKUM RAPUH: FONDASI RETAK DARI AWAL
Secara hukum, Pokir berdiri di fondasi yang rapuh. Mekanisme ini tidak memiliki basis dalam UU Pemda, UU Keuangan Negara, UU Perencanaan Pembangunan, bahkan tidak diatur dalam UU MD3. Yang ada hanyalah Permendagri No. 86 Tahun 2017 dalam Pasal 78, Pasal 153, Pasal 178 dan Pasal 348 —regulasi turunan yang tidak dapat menciptakan kewenangan baru bagi DPRD. Dan tidak jelas asal muasal, kenapa pokok-pokok pikiran berubah menjadi usulan kegiatan/program yang disertasi besaran anggaran atau memilih menu dalam draft RKPD yang “cocok” dengan selera.
Maka muncul ironi: bagaimana mungkin mekanisme yang mampu menggerakkan miliaran rupiah APBD hanya bertumpu pada aturan setingkat Permendagri? Secara prinsip perundang-undangan, urusan belanja publik harus memiliki dasar hukum yang lebih kuat, bukan sekadar pedoman administratif.
Kelemahan struktural ini membuka ruang abu-abu Pokir dapat diinterpretasikan secara politis, dinegosiasikan, bahkan dijadikan instrumen barter politik anggaran antara legislatif dan eksekutif. Logrolling mechanism.
Secara politis, Pokir menimbulkan persoalan representasi. Meskipun diklaim sebagai aspirasi masyarakat, banyak Pokir yang lahir dari kepentingan personal atau kelompok tertentu. DPRD sebagai institusi terpinggirkan oleh dorongan politik individu.
Inilah deviasi yang paling tampak yakni Pokir berubah dari instrumen pembangunan menjadi alat pencitraan. Tak jarang, Pokir dipakai mendanai kegiatan organisasi olahraga, ormas, atau event tertentu yang tidak memiliki relevansi dengan tujuan RKPD maupun RPJMD. Di tengah efisiensi, di akhir tahun tiba-tiba banyak kegiatan sosialisasi dan bimbingan teknis, pelatihan dll.
Bagi publik, kegiatan itu seolah “bantuan dari anggota DPRD”. Padahal sejatinya itu uang APBD -uang rakyat- yang tidak melalui mekanisme evaluasi kebutuhan, tidak diikat oleh indikator kinerja, dan tidak dapat ditakar dampaknya. Relasi eksekutif-legislatif pun bergeser menjadi relasi transaksional.
Pokir menjadi “harga politik” untuk meloloskan pinjaman daerah, rancangan perda strategis, hingga persetujuan anggaran. Pada titik ini, Pokir bukan lagi instrumen perencanaan, tetapi alat sandera politik anggaran.
Masalah berikutnya adalah akuntabilitas dan keterbukaan. Di banyak daerah, termasuk Tasikmalaya, besaran Pokir dan rincian program-kegiatannya tidak pernah dibuka secara utuh kepada publik. Yang dipublikasikan hanya normatif. Bahkan di beberapa daerah, Pokir hanya dibacakan secara sekilas dalam paripurna melalui SK penetapan—tanpa rincian anggaran, tanpa indikator manfaat, tanpa peta sebaran wilayah, dan tanpa basis kebutuhan pembangunan.
Ini menambah gelapnya ruang Pokir. Padahal prinsip open government menuntut hal sederhana yaitu publik berhak tahu berapa besaran Pokir setiap anggota, apa jenis program yang mereka usulkan, bagaimana kontribusinya terhadap RPJMD, dan siapa penerima manfaatnya.
Tidak ada alasan untuk menutup informasi itu. APBD adalah dokumen publik. Pokir adalah bagian dari APBD. Karena itu, Pokir harus dibuka disajikan secara daring, mudah diakses, dan dapat ditelusuri oleh warga. Bukan hanya dibacakan dalam paripurna atau dilampirkan dalam dokumen yang sulit diakses. Keterbukaan tidak akan menghambat DPRD. Justru dapat mengembalikan legitimasi lembaga di mata publik.
Solusi bukan menghapus Pokir, tetapi mengembalikannya ke marwah aslinya: sebagai masukan institusional, bukan jatah individu. Pokir harus melalui penyaringan objektif, analisis kebutuhan, serta penilaian kontribusi terhadap target RKPD dan RPJMD. Jika tidak memenuhi logika pembangunan, tidak boleh dimasukkan ke APBD—apa pun tekanan politiknya.
DPRD harus kembali menjadi penjaga marwah anggaran publik, bukan pelaku transaksi anggaran terselubung. Eksekutif pun harus berhenti menjadikan Pokir sebagai syarat persetujuan kebijakan. Di tengah sulitnya anggaran, kita makin membutuhkan tata kelola anggaran yang terbuka, akuntabel, dan berpihak pada masa depan—bukan pada kepentingan jangka pendek. Pokir hanya akan bermakna bila menjadi kanal aspirasi yang bermartabat, bukan instrumen sandera politik yang perlahan menggerogoti akar kedaulatan rakyat. (Dadih Abdulhadi)
Penulis merupakan dosen Universitas Mayasari Bakti (UMB) Tasikmalaya






