Perspektif Korban: Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Sosial169 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penaganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi awal baru bagi terciptanya kampus yang sehat dan aman dari para pelaku tindak kekerasan seksual.

Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) telah menjawab kebutuhan perlindungan bagi korban kekerasan di lingkungan perguruan tinggi. Penanganan kasus kekerasan seksual di kampus secara rinci dan detail berupaya menjawab semua kebutuhan korban kekerasan seksual dengan mengutamakan kenyamanan dan kepentingan terbaik korban.

Perspektif yang digunakan dalam penanganan kasus kekerasan di lingkungan kampus adalah perspektif korban sehingga tidak akan terjadi penyalahkan terhadap diri korban seolah-olah korbanlah penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual atau yang sering disebut dengan victim blaming.

Prinsip yang harus dipengang oleh pimpinan perguruan tinggi dan  SATGAS PPKS dalam penanganan kasus kekerasan seksual kurang lebih 8 prinsip diantaranya adalah; kepentingan terbaik korban, keadilan yang berkesetaraan gender, kehati-hatian, kerahasiaan, independent, akuntabilitas, konsisten dan jaminan ketidakberulangan.

SATGAS PPKS dalam melakukan penanganan kekerasan seksual harus selalu berkoordinasi dengan pimpinan perguruan tinggi dengan memengang prinsip tersebut diatas. Setiap perkembangan kasus wajib hanya dilaporkan kepada pimpinan perguruan tinggi dan pimpinan perguruan tinggilah yang nantinya berkoordinasi dengan kementerian dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tingginya.

Apapun yang terjadi dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual di kampus harus berprespektif korban demi kenyamanan korban dan hal itu dilakukan melalui; pendampingan korban, perlindungan terhadap korban, pengenaan sanksi administratif terhadap pelaku berdasarkan hasil assessment saksi ahli yang dalam hal ini adalah psikolog terkait dampak yang diakibatkan dari perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan, dan yang terakhir adalah proses pemulihan korban.

Kehadiran peraturan tentang PPKS membuat harapan baru bagi terakomodirnya kepentingan korban yang selama ini karena kuatnya budaya patriarki sering membuat korban merasa malu, takut malah disalahkan dan rendah diri sehingga tidak berani untuk speak up terhadap apa yang dia alami.

Selain budaya patriarki yang sering menyalahkan korban dalam setiap prilaku kekerasan seksual yang dia alami, relasi kuasa antara korban dan pelaku juga seringkali membuat korban takut untuk melaporkan apa yang dia alami terlebih jika kasusnya pelaku adalah dosen dan korban adalah mahasiswa. Dalam relasi kuasa tersebut mahasiswa akan sangat takut melapor karena ada kepentingan terhadap nilai yang baik ataupun percepatan bimbingan skripsi.

Dengan adanya Permendikbudristek tentang PPKS ini ketakutan tersebut diharapkan tidak terjadi lagi karena dalam penaganan dibagian perlindungan terdapat jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa yang terdapat dalam Permendikbudristek tentang PPKS Pasal 12 ayat 2 bagian a.

Hal itu juga berlaku untuk korban yang berstatus dosen maupun tenaga kependidikan dimana dalam Pasal 12 ayat 2 bagian b mengatakan bahwa adanya jaminan keberlanjutan pekerjaan bagi pendidik maupun tenaga kependidikan yang menjadi korban kekerasan seksual sehingga tidak perlu takut untuk melaporkan apa yang dialaminya.

Masih dalam Pasal 12 ayat 2 tentang perlindungan korban kekerasan seksual, korban berhak untuk mendapat jaminan perlindungan fisik dan non fisik dari ancaman dan bentuk intimidasi apapun dari pelaku dan dapat melaporkan kepada aparat hukum jika sudah mulai mendapat ancaman karena kementerian pendidikan sudah menjamin itu ditambah lagi sudah ada kerjasama antara kementerian dengan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) sehingga jika memang membutuhkan bisa difasiliasi kebutuhan perlindungannya.

Korban juga memiliki hak perlindungan atas kerahasiaan identitas sehingga selain kepada pimpinan perguruan tinggi dan pihak kementerian pendidikan tidak diperbolehkan membuka identitas korban tanpa persetujuan korban.

Prinsip ketidakberulangan dalam penanganan kekerasan seksual salah satunya adalah dengan cara menonaktifkan terduga pelaku kekerasan seksual setelah ada laporan dan melakukan pemeriksaan kepada korban dan terdapat indikasi tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terduga pelaku (terlapor).

Penonaktifan terlapor dimaksudkan agar jalannya pemeriksaan dapat berjalan lancar tanpa ada acaman maupun intimidasi kepada korban dan saksi, mencegah kejadian serupa terulang atau malah merusak barang bukti. Hal tersebut dilakukan juga karena mengedepankan prinsip kehati-hatian dan juga menjaga kerahasiaan indentitas korban.

Semua dilakukan karena dalam proses penaganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi menjunjung tinggi prisip yang terbaik bagi korban dengan perspektif korban. Jangan sampai proses penanganan nanti menjadi blunder dan terlapor mencari berbagai alasan pembenaran dengan melakukan playing victim.

Harus digarisbawahi bahwa koraban adalah korban dan pelaku adalah pelaku jangan malah nanti muncul adanya victim blaming ataupun paling victim. Tetapi meskipun demikian SATGAS PPKS juga tetap akan berpedoman pada asas praduga tak bersalah sampai dengan pemeriksaan kasus selesai. Jika terlapor terbukti bersalah maka akan mendapatkan sanksi administratif dan jika tidak terbukti bersalah maka pimpinan perguruan tinggi dan SATGAS PPKS berkewajiban memulihkan nama baik Terlapor.

Penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sangat serius dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi dan SATGAS PPKS Universitas Siliwangi demi menciptakan keamanan dan kenyamanan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga tercipta suasana kehidupan kampus yang sehat, aman, nyaman dan membahagiakan bagi seluruh civitas akademika.

Komitmen kuat para pimpinan perguruan tinggi, dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa dan SATGAS PPKS Universitas Siliwangi dalam memberantas habis pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus juga didukung penuh oleh ORMAWA dan BEM serta BLM baik tingkat universitas maupun tingkat unit.

Dengan dukungan dan bantuan dari ORMAWA, BEM, BLM dalam proses pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, pimpinan perguruan tinggi dan juga SATGAS PPKS sangat terbantu dalam tugasnya melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Mari bersama-sama kita wujudkan kampus yang aman dari para predator seksual yang masih mengintai dan berusaha menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa. Mari bantu menciptakan generasi yang sehat dan Bahagia jauh dari perlakuan kekerasan seksual. Pencegahan kekerasan seksual menjadi tugas kita bersama. Bersatu kita teguh, bersama kita bisa. (Wiwi Widiastuti, S.IP., M.Si.)

Wiwi Widiastuti, S.IP., M.Si. adalah Dosen FISIP, Ketua SATGAS PPKS Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *