Peran Strategis Public Relations dalam Marketing Communication Hotel: Membangun Cerita, Bukan Sekadar Menjual Kamar

Ekonomi41 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dalam industri perhotelan, departemen Marketing Communication (Markom) seringkali dipersepsikan sebatas corong promosi. Anggapannya, tugas utama Markom hanyalah mengurus diskon kamar, memasang iklan di media konvensional, atau mengumumkan penawaran spesial. Fokusnya seolah hanya pada transaksi jangka pendek.

Padahal, di era digital yang serba terhubung ini, persepsi tersebut sudah tidak relevan. Tamu modern tidak lagi hanya membeli kamar untuk tidur; mereka mencari pengalaman dan cerita yang otentik. Di sinilah peran strategis Ilmu Komunikasi, khususnya Public Relations (PR), menjadi krusial dalam strategi Markom yang lebih luas.

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Public Relations yang sedang menjalani magang di departemen Markom Grand Hotel Preanger, saya mengamati langsung bagaimana teori-teori komunikasi tidak hanya berhenti di buku teks. Teori tersebut diterapkan secara nyata untuk membangun citra (image) dan reputasi jangka panjang, sebuah tugas yang melampaui sekadar mendorong penjualan semalam.

Artikel ini akan membahas lebih lanjut bagaimana implementasi strategi PR, mulai dari storytelling hingga manajemen reputasi, menjadi inti dari aktivitas Markom hotel untuk membangun loyalitas merek (brand loyalty) dan keterlibatan tamu (guest engagement) yang bermakna di era modern.

Storytelling sebagai Aset Utama

Salah satu pilar utama Public Relations adalah kemampuannya dalam mengelola brand narrative atau corporate storytelling. PR berfungsi menceritakan ”siapa” organisasi tersebut, apa nilainya, dan mengapa audiens harus peduli. Dalam konteks perhotelan, ini adalah pembeda utama antara komunikasi yang transaksional dan yang relasional.

Dalam praktiknya di departemen Markom, ini berarti tidak lagi hanya mem-posting konten ”Promo Kamar Deluxe” atau ”Diskon 20% F&B”. Konten semacam itu memang perlu, namun tidak membangun loyalitas. Di sinilah Markom yang berjiwa PR mengambil peran.

Sebagai contoh, Grand Hotel Preanger, tempat saya menjalani magang, bukanlah sekadar bangunan fungsional; hotel ini sarat akan nilai sejarah dan keunikan arsitektur. Tugas Markom adalah ”mengemas” aset tak berwujud ini menjadi cerita yang menarik. Bayangkan sebuah konten Instagram Reels yang bukan hanya menampilkan kemewahan kamar, tetapi menceritakan detail arsitektur Art Deco yang masih dipertahankan, atau video TikTok yang menampilkan wawancara singkat dengan Head Chef tentang sejarah di balik menu legendaris hotel.

Pendekatan ini, storytelling, secara strategis mengubah persepsi. Hotel tidak lagi dilihat hanya sebagai ”tempat menginap”, melainkan bertransformasi menjadi ”destinasi warisan budaya” yang wajib dikunjungi. Ketika tamu berhasil terhubung secara emosional (aspek pathos dalam komunikasi), mereka tidak hanya memesan kamar, tetapi mereka ”membeli” bagian dari cerita tersebut.

Mengelola Reputasi di Era e-WOM

Keahlian Public Relations tidak hanya berhenti pada kemampuan menciptakan cerita, tetapi juga melindungi reputasi. Di era digital, konsep Reputation Management dan Media Relations menjadi sangat krusial. ”Mulut” publik telah berpindah ke ruang daring dalam bentuk Electronic Word-of-Mouth (e-WOM) yang masif.

Jika di level operasional (seperti reservasi), komunikasi berfokus pada interaksi one-on-one, maka di level Markom, pengelolaan e-WOM bersifat makro. Satu ulasan buruk di platform publik dapat dilihat oleh ribuan calon tamu dan berpotensi merusak citra yang telah dibangun.

Praktik nyatanya adalah manajemen ulasan. Departemen Markom secara aktif memantau feedback tamu di berbagai platform, mulai dari Google Reviews, TripAdvisor, hingga ulasan di Online Travel Agent (OTA). Di sinilah keahlian PR diuji. Merespons ulasan positif itu mudah, tetapi merespons keluhan atau ulasan negatif secara strategis, dengan empati, transparan, dan menawarkan solusi, adalah cara hotel menunjukkan akuntabilitas dan kepeduliannya. Ini bukan sekadar ”menjawab”, tapi ”memulihkan” kepercayaan di hadapan audiens yang lebih luas.

Selain itu, konsep Media Relations kini telah berevolusi menjadi Influencer Relations. Markom secara proaktif mengundang travel blogger atau influencer yang relevan. Namun, ini harus dibedakan dari iklan berbayar. Dalam pendekatan PR, tujuannya adalah membangun relasi otentik. Influencer tidak di-brief kaku untuk ”menjual”, melainkan diundang untuk merasakan pengalaman asli, yang kemudian mereka ceritakan secara jujur.

Hasil dari kedua upaya ini adalah terbangunnya ”bukti sosial” (social proof) yang kuat. Kepercayaan publik dan calon tamu meningkat bukan karena klaim iklan dari hotel itu sendiri, melainkan karena validasi otentik dari pihak ketiga, baik itu tamu sebelumnya maupun tokoh yang mereka ikuti.

Membangun Relasi Dua Arah

Strategi Markom yang kuat tidak akan lengkap tanpa pilar ketiga, yaitu community engagement. Dalam Ilmu Komunikasi, khususnya pada konsentrasi Public Relations, hal ini sejalan dengan Model Two-Way Symmetrical yang digagas oleh Grunig. Model ini memandang komunikasi ideal sebagai dialog yang seimbang, di mana organisasi dan publik saling mendengarkan dan menyesuaikan diri, bukan sekadar monolog satu arah untuk tujuan persuasi.

Dalam praktiknya di hotel, departemen Markom tidak bisa lagi hanya ”berbicara” kepada audiens. Mereka harus secara aktif ”mendengarkan” dan ”berinteraksi” untuk membangun relasi yang sejati. Di ranah digital, ini jauh melampaui sekadar membalas komentar dengan template ”Terima kasih, Kak”. Ini tentang menciptakan ruang dialog: misalnya, mengadakan sesi Q&A (Question & Answer), membuat polling interaktif terkait layanan baru, atau merespons masukan dan keluhan dengan personal.

Di dunia nyata (offline), interaksi ini terwujud dalam keterlibatan dengan komunitas lokal. Departemen Markom mungkin menjadi motor penggerak untuk event yang melibatkan warga sekitar, memberikan sponsorship untuk kegiatan seni budaya lokal, atau menginisiasi program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berdampak bagi lingkungan sekitar.

Melalui pendekatan dua arah ini, hotel bertransformasi dari sekadar entitas bisnis yang ”dingin” menjadi ”tetangga yang baik” (good corporate citizen) yang peduli dan terintegrasi. Hasil akhirnya adalah terbentuknya sebuah komunitas yang loyal, bukan sekadar basis followers yang pasif di media sosial.

Kesimpulan dan Implikasi

Pengalaman magang di departemen Marketing Communication (Markom) hotel telah memberikan kesadaran mendalam bahwa Ilmu Komunikasi, khususnya prinsip-prinsip Public Relations, adalah ”nyawa” dari pemasaran perhotelan modern. Aktivitas Markom tidak lagi bisa dilihat sebagai fungsi penjualan yang terisolasi. Ini adalah upaya strategis yang berfokus pada pembangunan relasi jangka panjang, pengelolaan reputasi secara proaktif, dan penyampaian kisah yang otentik untuk menciptakan koneksi emosional dengan tamu.

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi, terutama yang memiliki minat pada konsentrasi Public Relations, magang di departemen Markom hotel menawarkan laboratorium praktik yang sangat berharga. Berdasarkan pengalaman ini, berikut adalah beberapa implikasi dan saran praktis:

  1. Pahami Strategi di Balik Eksekusi. Jangan hanya puas belajar bagaimana cara mem-posting konten atau merilis promosi. Tanyakan selalu mengapa: apa tujuan strategis di balik konten tersebut? Siapa audiens yang dituju? Bagaimana ini sejalan dengan citra hotel? Memahami ”mengapa” akan membedakan Anda dari sekadar eksekutor menjadi seorang strategis.
  2. Perkuat Keterampilan Storytelling dan Copywriting. Di era digital, kemampuan menceritakan (storytelling) melalui tulisan (copywriting) dan visual adalah krusial. Bukan hanya promosi, tamu ingin mendengar cerita. Latihlah kemampuan Anda untuk ”mengemas” fasilitas atau sejarah hotel menjadi narasi yang menarik dan menggugah emosi.
  3. Jadilah ”Jembatan” Komunikasi Internal. Markom tidak bisa bekerja sendirian. Bahan cerita terbaik seringkali datang dari departemen lain, seperti Front Office, F&B, atau Housekeeping. Mahasiswa magang harus proaktif mengamati dan membangun relasi internal untuk ”menjemput” cerita-cerita otentik tersebut.
  4. Jadilah Adaptif, Namun Tetap Berpegang pada Identitas Merek. Dunia digital, terutama tren media sosial seperti TikTok, berubah sangat cepat. Markom harus lincah dan adaptif untuk merespons tren. Namun, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan tren tersebut tanpa kehilangan jati diri atau brand image hotel yang telah terbangun puluhan tahun. (Isti Loccita Rahima)

Penulis adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Garut yang berfokus pada konsentrasi Public Relations. Dengan kecintaan pada traveling, ia memiliki antusiasme tinggi terhadap industri hospitality dan komunikasi pemasaran. Saat ini, ia sedang menerapkan ilmunya secara langsung sebagai peserta magang di departemen Marketing Communication salah satu hotel bersejarah di Bandung. Di luar dunia akademik, Isti aktif mengembangkan keahlian di bidang seni dan olahraga, seperti menyanyi, bola voli, dan tenis meja. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *