Peran Keluarga dalam Kesehatan Mental Remaja

RADAR TASIKMALAYA – Menurut Word Health Organization (WHO), remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, sedangkan menurut Permenkes No. 25 Tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun.

Remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun.  Remaja terbagi menjadi tiga kelompok antara lain remaja awal dengan usia 10-14 tahun, remaja tengah usia 15-19 tahun  dan fase akhir remaja berusia 20-24 tahun. Dari masing-masing kelompok tersebut memiliki ciri-cirinya sendiri baik secara fisik, emosional maupun sosial (Hurlock, 1994).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada pertengahan 2023 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sebanyak 278,69 juta jiwa. Dari data tersebut diketahui semakin muda kelompok umur, maka semakin banyak populasinya. Remaja, dalam hal ini termasuk populasi kelompok umur 10-19 tahun sebanyak 44,25 juta orang. Berada di urutan kedua setelah kelompok umur 20-29 tahun (44,95) juta jiwa. Jumlah yang besar ini merupakan suatu bonus demografi, menjadi potensi yang luar biasa sebagai sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa di masa depan.

Remaja dianggap suatu periode kehidupan yang sehat, karena berada pada pertumbuhan dan perkembangan yang cepat (growth spurt). Namun, selain sebagai potensi yang besar bagi pembangunan, di sisi lain remaja juga tak luput dari berbagai permasalahan kesehatan. Beberapa jenis penyakit yang rentan menyerang remaja yaitu gangguan kesehatan mental, gangguan makan, wasting, obesitas, anemia, kecanduan rokok, diabetes, infeksi menular seksual. Masalah-masalah umum lain yaitu masalah penampilan, masalah akademik, masalah dengan orang terdekat, bullying atau perundungan, masalah percintaan dan aktivitas seksual, kecanduan gawai, tekanan dari teman sebaya, serta minuman keras dan obat terlarang.

Menurut UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, masalah kesehatan mental adalah orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan dan/atau orang dengan kualitas hidup yang buruk yang menyebabkan orang tersebut berisiko untuk mengalami gangguan mental. Kesehatan mental mengacu kepada tingkat atau derajat di mana seseorang mampu untuk menjalankan fungsinya secara penuh, fungsi-fungsi di sini berkaitan dengan berpikir, mengendalikan emosi, hubungan sosial, bekerja dan hal sehari-hari lainnya.

Hasil survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 mendapatkan temuan; 1) Satu dari tiga remaja (34,9%), setara dengan 15,5 juta remaja Indonesia, memiliki satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. 2) Satu dari dua puluh remaja (5,5%), setara dengan 2,45 juta remaja Indonesia, memiliki satu gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. 3) Gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja (26,7%). Selain itu, satu dari dua puluh (5,5%) remaja Indonesia memenuhi kriteria untuk satu gangguan mental. Berdasarkan data sensus terkini, prevalensi ini setara dengan 13 juta remaja (yang memiliki masalah kesehatan mental) dan 2 juta remaja (yang memiliki gangguan mental) (Statistik Indonesia, 2021).

Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan mental berasal dari aspek fisik, psikis, sosial dan spiritual. Sebagian dari faktor yang memengaruhi kesehatan mental seperti genetika, pola asuh dan sejarah hidup tidak dapat diubah, namun efeknya bisa dikendalikan. Karena itu penting sekali untuk mengerti akan kondisi kesehatan mental individu dan berbagai faktor dalam diri yang berperan besar terhadap kesehatan mental masing-masing. Pengetahuan ini merupakan langkah awal untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan mental.

Menurut hasil I-NAMHS dari semua yang mengalami masalah kesehatan mental disertai dengan hendaya (n = 1.257), hampir dua pertiganya (64,7%) melaporkan hendaya dalam domain keluarga disusul oleh hendaya dalam hubungan dengan teman sebaya (41,1%) dan sekolah/pekerjaan (39,3%) yang kurang lebih dilaporkan oleh dua perlima remaja yang melaporkan hendaya. Kesehatan mental juga dipengaruhi oleh kebiasaan buruk yang dilakukan di antaranya kurang tidur, malas bergerak, menyepelekan kondisi stres, menunda makan, kurang interaksi dengan orang lain, dan terlalu banyak penggunaan gawai.

Upaya kesehatan jiwa dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Menurut UU No.17 Tahun 2023, setiap orang berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan jiwa yang aman, bermutu dan terjangkau; dan informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa. Namun hasil survei menunjukkan hanya 2,6% dari remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah mengakses layanan yang menyediakan dukungan atau konseling untuk masalah emosi dan perilaku dalam 12 bulan terakhir. Penyedia layanan yang paling banyak diakses adalah petugas sekolah (guru). Pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan untuk masalah emosi dan perilaku dalam 12 bulan terakhir hanya sebesar 4,3%, meskipun, di saat yang sama, 34,9% remaja mengalami masalah kesehatan mental.

Hal ini tentu saja suatu hal yang patut dicermati dan ditindaklanjuti untuk mengetahui adanya perbedaan pandangan dalam kesehatan mental remaja. Pengetahuan dan literasi pengasuh utama remaja menjadi faktor yang berhubungan dengan hal ini. Upaya kesehatan jiwa harus dilaksanakan dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat. Upaya preventif dilakukan oleh keluarga bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan mental, mengurangi faktor resiko, dan mencegah timbulnya dampak masalah psikososial. Upaya preventif di lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa, komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga, dan kegiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Penelitian menunjukkan hubungan keluarga memiliki efek jangka panjang dan jangka pendek pada kesehatan mental seseorang. Hubungan keluarga yang negatif dapat menyebabkan stres, yang berdampak pada kesehatan mental dan menyebabkan gangguan fisik. Keluarga yang tidak mendukung dapat mengurangi kesehatan mental seseorang dan atau menyebabkan penyakit mental kian memburuk.  Hasil penelitian Fithriyah I (2022) menunjukkan ada hubungan antara keberfungsian keluarga dengan masalah mental emosional anak pada aspek difficulties.

Keluarga harus menjadi rumah bagi anak, remaja bukan hanya secara arti fisik, tapi betul-betul berfungsi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan seluruh anggota keluarga. Untuk mendukung hal tersebut maka program literasi kesehatan mental bagi keluarga (pengasuh) perlu di tingkatkan, termasuk juga pemberian edukasi kesehatan mental dan layanan kesehatan mental pada remaja perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik remaja dan perkembangan terkini teknologi informasi. (Siti Patimah)

Siti Patimah adalah mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *