RADAR TASIKMALAYA – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke V, Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sejalan dengan hal itu, Aricfa Elfaningrum (2018) menyampaikan bahwa “Pendidikan merupakan proses pengembangan aspek pengetahuan, perasaan, dan keterampilan utuh bagi pertembuhan jiwa, rasa, dan raga manusia secara menyeluruh”, sedangkan Wajdi (2021) menyatakan bahwa pendidikan sebagai sarana dalam mengatur (mengelola) perilaku dan sikap manusia yang memiliki peran penting guna kehidupan ke depan.
Pemenuhan terhadap pendidikan juga merupakan amanat dari konstitusi yang secara rinci dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas kehidupan agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi”.
Dalam pendidikan yang bermutu, tentu harus ada rencana sebagai salah satu acuan langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan yaitu kurikulum. Kurikulum dalam pendidikan memiliki peranan penting sebagai sarana untuk mengukur kemampuan setiap individu dalam menentukan berkembangnya pendidikan di suatu negara. Sejalan dengan hal tersebut, Sukatin & Pahmi (2020:78) mengungkapkan bahwa peranan kurikulum dalam pendidikan sebagai rencana dan pengaturan mengenai perangkat pembelajaran serta pedoman cara penyelenggaraan pendidikan yang baik oleh satuan pendidikan.
Berdasarkan perkembangannya, sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, kurikulum pendidikan Indonesia telah berganti atau direvisi 11 kali, di antaranya (1) Rentjana Pelajaran 1947 (Kurikulum 1947), (2) Rentjana Pelajaran Terurai 1952 (Kurikulum 1952), (3) Rentjana Pendidikan 1964 (Kurikulum 1964), (4) Kurikulum 1968, (5) Kurikulum 1975, (6) Kurikulum 1984, (7) Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, (8) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, (9) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, (10) Kurikulum 2013 (K-13), (11) Kurikulum Merdeka.
Pergantian kurikulum ini dilandasi dengan hasil analisis, evaluasi, prediksi dan berbagai tantangan serta kebutuhan masyarakat di suatu negara, terutama untuk satuan pendidikan dan peserta didik, dimulai dari rentjana pelajaran 1947 (kurikulum 1947) sampai dengan saat ini kurikulum merdeka. Tujuan dari kurikulum merdeka adalah mempersiapkan manusia agar memiliki pribadi yang produktif, kreatif, dan inovatif. Dalam hal ini tenaga pendidik, yakni guru dituntut untuk lebih meningkatkan kinerjanya supaya ilmu yang diberikan kepada peserta didik, dalam hal ini siswa dapat terserap dan mampu meningkatkan motivasi belajar. Nadiem Makarim selaku Kemendikbud secara tegas menyebutkan bahwa konsep Merdeka Belajar yang digagasnya merupakan usaha untuk mewujudkan kemerdekaan dalam berpikir. Kebijakan ini dimulai dengan perbaikan standar mutu pendidik (Yustiyawan, 2019).
Akan tetapi, dari munculnya kurikulum merdeka sebagai pembaharu dari kurikulum yang lama nyatanya belum memberikan dampak positif bagi sebagian aspek, dalam hal ini banyaknya kemunduran dari segi karakteristik dan wawasan emosional yang dialami oleh peserta didik. Pergantian kurikulum yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengimbangi zaman yang semakin maju belum bisa menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh siswa, anak yang belum cukup umur dan memiliki tingkat labilitas yang tinggi dalam menyikapi suatu fenomena dan permasalahan sehingga perlu adanya bimbingan secara masif yang dilakukan oleh guru.
Dewasa ini, banyaknya kasus bernilai negatif yang dialami oleh anak sekolah, dimulai dari pelecehan seksual sampai dengan pernikahan dini. Hal tersebut disebabkan dengan perkembangan zaman dimulai dari teknologi yang bisa diakses kapan pun dan di mana pun sehingga memberikan efek/dampak terhadap kehidupan seorang remaja. Korelasi kurikulum pendidikan dengan permasalahan ini tentu adanya pengalihfokusan terhadap substansi kurikulum merdeka dengan fenomena yang terjadi dan menimpa anak sekolah. Korelasi pendidikan dengan perkembangan zaman tidak hanya harus terfokus pada kolaborasi sistem pendidikan dengan teknologi saja, tetapi kesadaran terhadap gejala emosional dan seksualitas yang kalau tidak segera diatasi akan menjadi suatu hal yang menakutkan bagi perkembangan generasi muda Indonesia.
Salah satu daerah sering menjadi pusat perhatian, seperti di Ponorogo. Kasus terbaru pada tahun 2022 jumlah perkara dispensasi pernikahan sebanyak 184 perkara. Hal ini berdasarkan data yang tercatat di Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo yang setiap tahunnya selalu meningkat. Kasus tersebut disebabkan karena kemerosotan moral anak dan kurangnya pemahaman wawasan yang didapatkan oleh anak sehingga kasus tersebut terjadi disebabkan karena telah hamil terlebih dahulu. (Ulfah, 2023).
Perlu adanya suatu langkah strategis dan masif sebagai bentuk penanggulangan/pencegahan terhadap fenomena tersebut. Tentu dengan menentukan sasaran yang tepat, seperti di lingkungan institusi pendidikan yang membantu anak yang masih dalam masa pubertasnya untuk memberikan muatan seperti pendidikan seksualitas sebagai bentuk dalam mengatasi masa depan yang sehat dan berwawasan.
Pendidikan Seks merupakan suatu cara mengajarkan, penyadaran, pendidikan, dan pemberian informasi yang dapat membantu anak untuk mengatasi masalah yang bersumber dari dorongan seksual (Chairilsyah, 2019; Ratnasari Risa Fitri &Alias M, 2016). Sejalan dengan itu, Chairilsyah (2019) juga menegaskan kembali bahwa pendidikan seks merupakan pengajaran yang berkaitan dengan hal-hal dari seksualitas manusia, termasuk di dalamnya hubungan emosional dan tanggung jawab, anatomi seksual manusia, aktivitas seksual manusia, organ sampai proses reproduksi seksual dan usia persetujuan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan bahwa perkawinan hanya diperbolehkan apabila pasangan laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun. (Kementerian Sekretariat Negara RI, 2019, hal. 2).
Dilansir dari CNN Indonesia – Bahaya menikah di bawah usia 19 tahun berdasarkan psikologis. (Indonesia, 2021)
- Putus sekolah.
- Perempuan rentan depresi.
- Pasangan belum matang secara psikologis.
- Putus sekolah dan memperburuk kemiskinan lintas generasi.
- Remaja masih punya kondisi sosio-emosional, kepribadian, dan kognitif mereka masih seperti masa anak.
- Remaja adalah masa pencarian jati diri.
- Rentan konflik rumah tangga.
- Rentan perceraian.
Kemudian secara biologis sebagai berikut.
- Walaupun dalam undang-undang pernikahan itu minimal 19 tahun, tetapi dari segi rahim perempuan baru akan matang pada usia 20-an.
- Bayi yang dilahirkan ibu di bawah usia 20 tahun berisiko kurang gizi dan stunting.
- Risiko meninggal saat melahirkan lebih tinggi akibat belum matangnya rahim ibu.
Oleh karena itu, untuk memberikan implikasi agar permasalahan itu tidak terulang kembali harus adanya suatu tindakan secara masif yang dilakukan oleh pihak pemerintah yang senantiasa berkolaborasi dengan satuan pendidikan di masing-masing daerah. Hal ini didasari bahwa melaksanakan pendidikan seksualitas dalam kurikulum sekolah merupakan suatu langkah penting untuk membantu siswa memahami topik-topik seperti reproduksi, hubungan sehat, kesehatan seksual, dan perlindungan diri. Adapun langkah yang harus ditempuh sebagai berikut.
- Konsultasikan dengan Pihak Terkait.
Sebelum memulai pengimplementasian pendidikan seksualitas dalam kurikulum sekolah, penting untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan orang tua, guru, dan pengambil kebijakan di sekolah. Memahami pandangan dan harapan dari masing-masing elemen tentu akan membantu sekaligus mengarahkan implementasi pendidikan seksualitas yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat.
- Tentukan Pendekatan yang Tepat.
Pendekatan yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan pendidikan seksualitas dalam kurikulum sekolah seperti pendekatan berbasis pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, atau pendekatan yang berpusat pada kesehatan dengan didasari karakteristik siswa.
- Kurikulum yang Terintegrasi.
Integrasikan pendidikan seksualitas ke dalam kurikulum yang sudah ada, seperti pendidikan kesehatan, biologi, atau studi sosial.
- Latih Guru.
Adanya pelatihan terhadap guru sebagai fasilitator penyampai topik tersebut sehingga guru nanti bisa menyampaikan informasi dengan penuh percaya diri, akurat, serta terampil dalam mengelola diskusi kelas dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa.
- Berkolaborasi dengan Lembaga Kesehatan.
Bekerja sama dengan lembaga kesehatan atau seorang ahli pendidikan seksualitas. Hal ini perlu dilakukan agar dapat memberikan sumber daya, bahan ajar, dan panduan untuk menyampaikan informasi secara akurat.
- Libatkan Orang Tua.
Partisipasi orang tua dalam pengajaran pendidikan seksualitas dapat memperkuat pendidikan yang diberikan di sekolah dan memabntu orang tua mendukung pendidikan seksualitas di rumah.
- Evaluasi dan Revisi.
Evaluasi terhadap program pendidikan seksualitas secara berkala untuk memastikan bahwa program tersebut efektif dan relevan. Revisi program jika diperlukan berdasarkan siswa, guru, dan orang tua.
Dewasa ini, melihat fenomena yang sedang marak di lingkungan masyarakat, khususnya institusi pendidikan, menerapkan pendidikan seksualitas dalam kurikulum sekolah tentu memerlukan pendekatan yang matang dan terencana. Dengan langkah-langkah yang tepat, sekolah dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam membantu siswa memahami dan menghormati topik yang berkaitan dengan seksualitas serta sebagai bentuk langkah konkret dalam menekan angka kehamilan dan pernikahan dini. (Najmi Muhammad Agus Nur)
Penulis adalah mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Indonesia FKIP-Unsil