RADAR TASIKMALAYA – Hiruk pikuk para tim sukses dari bakal calon presiden, wakil presiden, wali kota dan anggota legislatif menghadapi Pemilu tahun 2024 sudah mulai ramai.
Bukan hanya poster, baliho, atau spanduk yang terpampang di tempat-tempat strategis, yang dikemas memesona serta menggiurkan sebagai ‘pemikat’, ditambah dengan sosialisasi langsung kepada calon pemilih pun mulai gencar dilakukan, termasuk di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya. Hal itu sebuah kewajaran, dan tidak dilarang, karena sudah menjadi kebiasaan di saat musim kampanye tiba. Namun, lain lagi dengan berita yang membuat jantung ini berdetak keras, hati menjadi waswas, getir, trenyuh, dan miris ketika membaca tulisan yang berkaitan dengan maraknya miras serta banyak anak muda yang slebor di malam takbiran menyambut Hari Raya Idul Adha kemarin. Mungkin banyak masyarakat lainnya juga, termasuk penulis beristigfar.
Betapa tidak, andai menerawang ke masa lampau, baik dalam naskah maupun lirik lagu, Tasikmalaya adalah sebuah tempat yang asri, nyaman, hawanya sejuk, cur-cor caina, éndah pamandanganana, gemar ripah loh jinawi, répéh rapih, tur tatatingtrim kerta raharja. Adanya kejadian meneguk minum-minuman keras hingga mabuk yang dilakukan oleh para remaja itu, setidaknya mengusik nurani. Mengapa tidak, hal semacan itu tentunya tidak menuntup kemungkinan, jika dibiarkan dan tidak segera ditindak akan mengarah kepada terganggunya ketertiban umum, yang akhirnya Kota nan resik, asri dan tingtrim akan sedikit ‘terkontaminasi’. Adakah kiat khusus untuk menanggulanginya? Yang jelas bukan hanya kewajiban pemerintah atau pihak kemanan saja yang bergerak, tetapi semua pihak harus bergandengan tangan, bekerjasama mencari solusi terbaik, dengan melibatkan, unsur pendidikan formal, informal, maupun nonformal, untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan karakter bagi generasi muda penerus bangsa.
Keluarga dianggap sebagai pendidikan pertama dan utama bagi pembentukan karakter anak di rumah, khususnya ’Ibu’ memiliki peran penting, di samping ayah tentunya. Ibu sebagai garda terdepan memiliki peran membentuk karakter anak melalui pendidikan yang tidak diajarkan dan tidak diberikan di sekolah. Karena sekolah sebagai pendidikan formal, yang dibatasi waktu, hanya mengajar siswa yang berkaitan dengan kurikulum semata. Sedangkan pendidikan nonformal, anak harus beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan ini pun harus tetap diarahkan oleh orang tuanya, seperti mengikuti pelajaran agama/mengaji di madrasah, kursus bahasa, dan kegiatan penting lainnya, yang dapat menunjang pengetahuan sekolah/kuliahnya. Andaikan salah memilih teman, atau mengikuti pendidikan yang kurang baik, sedikitnya akan memengaruhi ’karakter’ anak itu sendiri. Keadaan ini mungkin karena diajak teman, dan hanya ikut-ikutan saja. Mungkin inilah yang terjadi pada remaja-remaja yang disinggung dalam masalah ini. Jika demikian halnya, mungkin sudah dapat kita telusuri apa penyebab dan bagaimana menanggulanginya.
Sekilas pandang ke belakang, ketika kami mengadakan penelitian ke daerah Ciletuh, Surade, Jampang Kulon, Jampang Wetan, dan pesantren lainnya di Kabupaten Sukabumi, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, Kuningan, Malangbong, Sumedang, dan pesantren lainnya yang ada di Jawa Barat, mendapatkan ratusan naskah dan Kitab Kuning. Isinya kebanyakan berkaitan dengan keislaman. Di setiap pesantren, ditemukan teks naskah ‘Pupujian’ yang pada umumnya masih digunakan oleh para Santri. Hasil penelitian terhadap pupujian menerbitkan beberapa buku, yakni Pupujian, Nadoman dan Pupujian, Pembentukan Karakter Berbasis Teks Naskah Pupujian Sunda, Pembentukan Karakter Berbasis Teks Naskah Pupujian dan Kitab Kuning, serta aspek lainnya. Yang cukup menarik, buku yang terakhir disebut, bisa menjadi acuan dan bermanfaat bagi generasi muda untuk membentuk karakter generasi muda bangsa Indonesia yang tangguh.
Kita tahu bahwa Tasikmalaya katelah Kota Santri. Mungkin hal ini ada benang merahnya dengan eksistensi keagamaan di masa lampau. Di era Kabataraan Galunggung, ketika tampuk kepemimpinan dipegang oleh Batari Hiyang Janapati atau Putri Citrawati, yang menggantikan suaminya karena ingin lebih memperdalam keagamaan, situasi dan kondisi Kabataraan Galunggung, khususnya yang berkaitan dengan keagamaan maju pesat. Pada zaman itu banyak kawikuan ’tempat menimba ilmu/memperdalam ilmu agama’. Batari Hiyang Janapati pada saat itu, selain berkedudukan sebagai Batari/Ratu Galunggung dan panglima perang, juga bertindak sebagai salah seorang ahli di bidang keagamaan/guru agama (pada zamannya), sehingga digelari Sang Sadu Jati.
Kawikuan Galunggung pada zamannya sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sangat terkenal. Banyak para catrik yang belajar di sana. Keadaan ini ada kaitannya dengan zaman berikutnya, karena setelah Islam masuk ke Jawa Barat, termasuk ke Tasikmalaya khususnya, banyak bermunculan pesantren. Mungkin itu sebabnya Tasikmalaya disebut sebagai Kota Santri. Malahan aksara Arab di Kabupaten Tasikmalaya digunakan untuk menulis nama instansi pemerintahan, ada yang digunakan untuk menamai sekolah maupun jalan. Tidak ada salahnya, selama tidak bertentangan dengan akidah keislaman. Sementara itu, di Kota Tasikmalaya nama jalan memakai dua aksara, yakni aksara Sunda dan Aksara Jawa (Cacarakan). Ini juga tidak salah, karena memang aksara Sunda, milik dan digunakan oleh masyarakat Sunda sebagai ajén inajén dan jati diri orang Sunda, yang pernah dipakai untuk menulis naskah (Aksara Sunda, Pégon, Cacarakan, dan Latin), karena naskah adalah dokumen budaya, yang isinya meliputi tujuh unsur budaya.
Berdasarkan kejadian maraknya miras dan digunakan saat malam Idul Adha hingga menyebabkan peminumnya tidak sadarkan diri alias mabuk/slebor, sungguh sangat ironis, dan sangat bertolak belakang dengan image Kota Santri. Itu sebabnya keadaan seperti ini sangat disesalkan. Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi hal ini? Kiat-kiat apa saja untuk menanggulangi keadaan seperti ini? Bukan saatnya saling menyalahkan, namun harus segera dicari permasalahannya, dikaji, didiskusikan dan dimusyawarahkan oleh pihak-pihak terkait, untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik, serta tidak merugikan pihak manapun, agar masyarakat Tasikmalaya (Kota & Kabupaten) hidup berdampingan tatatingtrim paramarta. Jika masalah teratasi dan kedamaian dapat dirasakan, kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Semoga para pemimpinnya mampu ngretakeun urang réya (memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat/rakyat banyak) serta mampu ngretakeun bumi lamba (memberdayakan dan menyejahterakan dunia), agar dikenal, dicintai, dikagumi, disayang, dan dikenang oleh rakyatnya, menjadi pemimpin yang harum namanya. Semoga! (Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S.)
Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.