Pendidikan Jasmani sebagai Media Latihan Resiliensi

Pendidikan212 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Memasuki dekade ke 2 abad ke-21, perubahan-perubahan terjadi sangat cepat di segala lini kehidupan, baik bidang ekonomi, transportasi, teknologi, komunikasi, informasi, termasuk bidang pendidikan.

Perubahan ini perlu diantisipasi dengan menguasai keterampilan abad ke-21 meliputi berpikir kritis dan pemecahan masalah, kreativitas dan inovasi, komunikasi, dan kolaborasi. Pengembangan keterampilan abad ke-21 ini dapat dilakukan pada semua disiplin, termasuk Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK) dapat menjadi media pengembangan keterampilan abad ke-21.

Dampak positif dari era disrupsi sudah banyak dirasakan, semuanya serba mudah di dapat, serba cepat diketahui yang menuntut adaptasi dari semua individu. Dalam kurun tahun 2020-2023 kasus bunuh diri usia remaja banyak terjadi di berbagai daerah. Pada tahun 2007 saja ditemukan beberapa anak usia 12 tahun sampai 23 tahun di daerah Garut, Lembang, dan Jakarta melakukan bunuh diri. Tahun 2012, WHO memperkirakan kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 4,3% per 100.000 populasi.

Fenomena di atas berkaitan erat dengan kondisi broken home yang dalam beberapa hal ditandai dengan peristiwa kematian salah satu atau kedua orang tua, Perceraian (divorce), disharmonis (poor marriage), komunikasi buruk (poor parent-child relationship), kesibukan (parent’s absence), dan gangguan kejiwaan (personality or psychological disorder).

Resiliensi

Reivich, K & Shatte, A. mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dikenal dalam dunia Psikologi Olahraga. Pakar Psychological resilience, Stephen P. Gonzalez menjelaskan  Psychological resilience, or the ability to experience and overcome stress or adversity, is an area of research in sport psychology that has grown quite substantially in the last decade.

Ketangguhan seseorang dalam menghadapi segala persoalan baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangat diperlukan. Remaja Indonesia yang rata-rata sedang menginjak pendidikan di SMP dan SMA, sangat perlu dilatih untuk selalu tangguh dalam menghadapi semua persoalan, bukan dengan lari dari masalah hingga bunuh diri. Isabella Caroline Belem menjelaskan Resiliensi dalam dunia olahraga diindikasikan sebagai salah satu elemen yang memungkinkan atlet untuk mencapai kesuksesan. Atlet yang tangguh lebih stabil memiliki kadar yang sehat fungsi psikologis dan kompetensi fisik, dan cenderung mengalami adaptasi positif setelah mengalami kesulitan yang signifikan.

Selaras dengan pernyataan ahli di atas, Pendidikan Jasmani menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan menggunakan media aktivitas fisik untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik baik jasmani, rohani, sosial dan spiritual.

Dalam Pendidikan Jasmani, peserta didik dapat dengan bebas mengeluarkan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di dalam kelas. Berjalan, berlari, melempar, melompat, meloncat, berguling, berteriak, dll, menjadi ruang baru peserta didik untuk memperoleh katarsis. Ekspresi ini tentu bukan tanpa pedoman ilmiah, peserta didik tetap harus mengikuti regulasi pertandingan permainan yang fairplay.

Aktivitas fisik atau olahraga yang diikuti merupakan miniatur dalam kehidupan di masyarakat, keharusan bekerja sama untuk mencapai tujuan, menghargai lawan atau dalam arti yang lebih luas menjunjung tinggi nilai-nilai dan karakter sportivitas. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta karakter sportivitas inilah sesungguhnya dalam Pendidikan Jasmani yang dinamakan role-model adaptif untuk tetap teguh dalam situasi sulit dalam menyelesaikan permasalahan.

Olahraga bukan sekadar seberapa besar keringat keluar, namun lebih daripada itu mengajari kita untuk mampu tetap tenang di bawah tekanan, dilatih mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Pendidikan Jasmani mengajari untuk memiliki harapan pada masa depan, kemampuan membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis. Dengan demikian fenomena suicide di kalangan remaja dapat distop dengan dilakukannya pembimbingan dan penyaluran bakatnya pada bidang olahraga. (Dr. Gumilar Mulya, M.Pd.)

Dr. Gumilar Mulya, M.Pd. adalah Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, Dosen Penjas FKIP-Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *