RADAR TASIKMALAYA – 2024 dianggap sebagai tahun politik bagi Republik Indonesia. Tepat pada 14 Februari 2024, Republik Indonesia melaksanakan Pemilu serentak. Dari Sabang-Merauke semuanya menentukan pilihan untuk negara dan daerah masing-masing dalam Pilpres dan Pileg pada Pemilu 2024.
Gegap gempita Pemilu memang sudah terasa dari berbulan-bulan sebelum hari pelaksanaannya. Partai politik, para calon legislatif, hingga eksekutif berlomba-lomba menggaet suara rakyat melalui berbagai media kampanye. Juga melalui berbagai strategi dan gaya kampanye yang beragam.
Pemilu serentak yang diselenggarakan lima tahun sekali ini memang menjadi satu perhatian besar bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Masyarakat sangat antusias menyambut pesta demokrasi yang “diharapkan” menjadi momen keberlanjutan bangsa Indonesia ke depannya. Atmosfer tersebut pun dirasakan hingga hari-hari menjelang pemungutan suara bahkan setelahnya. Bukan Indonesia namanya jika tak ada tradisi masyarakat yang rutin dilakukan di hari-hari besar baik keagamaan atau pun kenegaraan.
Bagi sebagian masyarakat, Pemilu diibaratkan sebagai “Lebaran Ketiga” setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Melansir berita dari Tempo.co bahwa Kapolda Metro Jaya menyebut situasi menjelang Pemilu 2024 mirip situasi Idul Fitri. Menurutnya, kondisi jalanan di Jakarta tak seperti biasanya yang cenderung padat bahkan macet.
Kondisi lalu lintas Jakarta saat Pemilu cenderung sepi, sebab banyak para perantau yang mudik untuk melaksanakan pencoblosan di TPS di daerahnya masing-masing. Dan IDN Times merekam momen masyarakat yang merasakan atmosfer lebaran karena bisa bertemu dengan kawan-kawan dan kerabat lama di TPS tempat mereka mencoblos.
Di sebuah desa di kawasan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, suasana lebaran saat Pemilu semakin terasa. Setiap gelaran Pemilu, masyarakat di sana membuat opor ayam, sapi, atau sekadar sayur labu, lengkap dengan lontong maupun ketupat.
Kegiatan memasak opor dan ketupat saat pemilu bukan tanpa alasan. Oleh karena mayoritas masyarakat—terutama laki-laki—di sana bekerja merantau ke kawasan Jabodetabek atau luar kota lainnya, maka Pemilu menjadi salah satu ajang kumpul keluarga selain Idul Fitri dan Idul Adha.
Sebelum mencoblos di TPS masing-masing, seluruh anggota keluarga akan berkumpul menyantap sarapan opor dan ketupat. Setelah mencoblos, mereka kembali berkumpul untuk membicarakan soal pandangan dan prediksi politik ke depannya, dan diakhiri dengan menyaksikan penghitungan hasil pemungutan suara di TPS terdekat.
Peristiwa tersebut tentu menjadi penting, sebab selain bertemu anggota keluarga satu rumah, sanak saudara jauh pun akan saling mampir untuk saling bertukar kabar. Dan pasti, ketupat-opor jadi sajian utamanya.
Tradisi memasak opor, nyatanya terjadi pula di salah satu daerah di Langkaplancar, Pangandaran. Masyarakat sudah terbiasa dengan hal tersebut sebab Pemilu dianggap sebagai salah satu hari raya bagi mereka.
Terlepas dari panasnya suasana Pemilu setiap periodenya, budaya dan tradisi masyarakat menyambut pesta demokrasi tersebut adalah satu khazanah yang menjadi nilai luhur Bangsa Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah potret kecil tradisi masyarakat dalam menyemarakkan Pemilu di Nusantara. Masih banyak tradisi-tradisi lainnya yang menjadi pemanis bagi masyarakat itu sendiri. Sejatinya, kerukunan antarkeluarga dan kerabat—dengan tidak bermaksud untuk nepotisme—adalah awal membangun kekuatan bangsa. Terakhir, siapa pun pilihannya, opor yang menyatukannya. (Azis Fahrul Roji)
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Unsil. Aktif di UKM Teater 28 dan komunitas sastra, Langgam Pustaka Indonesia.