RADAR TASIKMALAYA – Kumbakarna merupakan salah satu tokoh terpenting dalam cerita mashur Ramayana karya Rsi Walmiki dari India. Tokoh ini dikisahkan sebagai tokoh yang unik. Ia hidup dalam lingkungan kerajaan yang bergelimangan harta benda, namun ia sendiri tidak merasakan semua kemewahan tersebut. Separuh dari waktunya dihabiskan untuk menyepi (dalam cerita disimbolkan dengan tidur panjang)–beberapa cerita hal ini merupakan anugerah Dewa, sehingga ia mampu 6 bulan tidur, 6 bulan terjaga–.
Tokoh ini juga merupakan tokoh simbol kesaktian, kegagahan, kejujuran dan keberanian. Ia hidup dengan memegang prinsip kuat tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar kerajaan yang dipimpin pemimpin angkara murka, koruptif, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan rezim yang dipimpin oleh Kakaknya sendiri Nalendra Prabu Rahwana.
Proses Kelahiran, Ciri Fisik dan Kepribadian
Kumbakarna nama lengkapnya adalah Arya Kumbakarna. Dalam tradisi cerita wayang golek (Sunda) biasa disebut Raden Arya Kumbakarna atau sering disebut Arya Lemburgangsa. Kumbakarna merupakan putra kedua dari pasangan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ia mempunyai kakak bernama Rahwana (di kemudian hari menjadi Raja Alengka) dan adik perempuan bernama raksasi Sarpakenaka. Ketiga kakak beradik denawa – raksasa ini adalah buah cinta terlarang dari orang tua mereka. Wisrawa berasal dari Kerajaan Lokapala dan telah menyerahkan tahta kerajaan kepada anaknya, Prabu Danaraja. Beliau sendiri lebih memilih untuk menyepi dan mendalami ilmu religi sebagai seorang rsi. Demi meluluskan keinginan anaknya untuk mempersunting Dewi Sukesi, maka beliau pergi dan mengikuti sayembara untuk memperoleh istri bagi anak kesayangannya tersebut. Wisrawa mampu memenangkan satembara, namun ternyata Dewi Sukesi, Sang Putri tercantik dari Kerajaan Alengka mempunyai syarat lain, yaitu calon suaminya haruslah seorang ahli sastra yang dapat menjabarkan isi sitab sakti Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepadanya[1].
Wisrawa menyanggupi keinginan Sukesi. Pada suatu saat ketika mereka begitu seriusnya mempelajari kitab sakti, hingga mereka tidak sadar telah membangkitkan Supiyah – nafsu berahi dalam diri mereka yang menutup kesadaran dan akhirnya mendorong mereka melakukan sebuah aib besar. Nasi sudah menjadi bubur, Dewi Sukesi akhirnya mengandung dan melahirkan segumpal darah bercampur dengan sebentuk telinga dan kuku dari rahimnya. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia.
Telinga menjadi raksasa setinggi gunung yang bernama Kumbakarna, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi juga mempunyai seorang putera lagi bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berwujud manusia sempurna dengan wajah yang tampan, karena terlahir dari cinta sejati dan jauh dari hawa nafsu kedua orang tuanya[2].
Dalam cerita Ramayana dijelaskan bahwa nama Kumbakarna berasal dari dua kata, kumbha yang berarti kendi dan karna yang berarti telinga. Dalam bahasa Sanksekerta Kumbhakarna diartikan sebagai manusia yang bertelinga besar mirip kendi[3]. Kumbakarna memiliki kelebihan fisik sebagai raksasa setinggi gunung dan paling besar. Bentuk dan tampilan muka sangat mengerikan. Kesaktiannya tidak diragukan, bahkan digambarkan dapat menghancurkan ribuan manusia dalam satu hentakan tangannya.
Kumbakarna dikisahkan memiliki kepribadian baik, jujur, pemberani bahkan sering menasihati dan mengkritik Rahwana, sang Raja Alengka (kakak kandungnya sendiri) yang menjalankan pemerintahan negara dengan sewenang-wenang. Anak-anak Kumbakarna (Kumba Aswani dan Aswani Kumba) bahkan dipenjara oleh Rahwana karena sering mengkritik dan menjadi oposan, karena kesewenang-wenangannya. Kumba Aswani dan Aswani Kumba pada akhirnya meninggal oleh Hanuman dalam pertarungan sengit yang membuat Hanuman terluka parah.
Jiwa Pemberani dan Patriotik
Dalam cerita wayang golek[4] Kumbakarna, Raksasa Mahasakti dan ditakuti kawan- lawan, termasuk oleh kakaknya sendiri, Rahwana. Ia dengan tanpa pamrih maju ke medan perang melawan Batara Rama. Perang tersebut dilatarbelakangi oleh kewenang-wenangan Raja Alengka Dasamuka yang menculik istri Batara Rama, pewaris Tahta Ayodya. Peperangan pun terjadi yang banyak menewaskan wadia balad tamtama dari kedua belah pihak.
Dalam pertempuran pertama yang dahsyat para perwira tinggi Alengka banyak yang gugur, termasuk Mahapatih Prahasta, paman Rahwana, adik mereka Sarpakenaka juga gugur. Sedangkan Gunawan Wibiksana (Adik terkecil mereka) membelot ke pasukan Batara Rama).
Dalam suatu kisah, ketika Rahwana kebingungan dan sedang berbincang dengan Senopati sekaligus telik sandi negara, Sayungsrana yang dikejutkan oleh Raden Indrajit (putra Rahwana) yang berlari-lari ketakutan. Usut punya usut ternyata Raden Indrajit dikejar-kejar oleh pamannya Raden Arya Kumbakarna. Raden Indrajit kemudian disuruh ayahnya bersembunyi. Kumbakarna yang sedang amarah bertanya kepada kakaknya tentang keberadaan Indrajit. Dengan santai Rahwana mampu menenangkan Kumbakarna yang dicabut bulu betisnya oleh Indrajit.
Sampai kemudian terjadi dialog antara kedua kakak beradik ini. Terjadi konflik yang hampir membuat mereka berkelahi. Namun Rahwana sadar dan mengalah. Akhirnya Rahwana membujuk Arya Kumbakarna mau berperang membela negara, walaupun bukan atas dasar membela Rahwana.
Akhirnya Kumbakarna mau terjun ke medan jurit memimpin penyerangan pasukan raksasa ke perkemahan Batara Rama dengan niat membela negara dan bangsa Alengka yang diserang oleh pasukan Rama dan dirusak oleh kakaknya sendiri. Dia berniat membela lemah cai, bukan membela kemurkaan kakaknya yang sewenang-wenang.
Kematian Sang Patriotik
Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan wanara pimpinan Prabu Sugriwa dan banyak melukai petinggi pilihan yang sakti seperti Anggada, Sugriwa, Hanoman, Nila, dan lain-lain. Dengan panah saktinya, Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan wanara. Kemudian Rama memotong kedua kaki Kumbakarna dengan panahnya. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara. Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama. Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir. Panah tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka[5].
Dalam versi lain semisal cerita Wayang Golek Asep Sunandar, dalam lakon Kumbakarna Gugur, diceritakan Kumbakarna gugur oleh panah sakti Laksmana, adik Batara Rama. Lewat proses kematian yang mengerikan—tanggal satu persatu anggota tubuhnya—Kumbakarna semakin berbahaya dan mengamuk dengan niat membela negara dan menghancurkan kemurkaan kakaknya. Ia merasa semua penderitaan yang ia alami, bukan oleh Laksmana, ataupun Batara Rama namun oleh kesewenang-wenangan Raja Dasamuka, kakaknya. Kumbakarna akhirnya gugur dengan memberikan bekas hancurnya ribuan pasukan wanara dan luka parah para petingginya seperti Sugriwa, Hanuman, dan Anggada. Diiringi isak tangis Gunawan Wibiksana dan penghormatan Batara Rama atas jiwa patriotik tokoh ini. Tokoh ini memberi pelajaran berharga, baik bagi lawan maupun kawan.
Pelajaran Berharga
Tokoh Kumbakarna memang tokoh ciptaan dalam sebuah cerita mashur, Ramayana. Namun sifat yang dilambangkan dalam pribadi tokoh ini merupakan mutiara yang perlu ditiru oleh kita, termasuk para politisi kita saat ini. Pelajaran-pelajaran tersebut di antaranya : pertama, kelebihan tidak menjadikannya sombong, pongah dan bermegah-megahan. Kita tahu bahwa sebagai adik tertua dari Raja mashur dan disegani, tentunya semua keinginan apa pun akan terpenuhi. Namun tokoh ini justru hidup sederhana dan tinggal menyepi di luar keraton.
Kedua, selalu mengkritik dan menyerang raja, jikalau menurutnya salah dan sewenang-wenang. Walaupun pejabat tersebut masih kakak kandungnya sendiri. Bagi tokoh ini tidak ada tempat baginya untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Ketiga, tidak lari dari perjuangan ketika negara dalam bahaya. Keempat, tidak terpengaruh oleh kesewenang-wenangan dan kondisi lingkungan yang timpang. Tokoh ini rela di cap oposan oleh kakaknya sendiri. Bayangkan jika para politisi kita saat ini bermental seperti Kumbakarna ini, maka negara Indonesia akan makmur. Semoga saja. (Subhan Agung MA)
Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya