PEMILIHAN Walikota dan Wakil Walikota Tasikmalaya yang akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024 mendatang, menjadi momen penting bagi warga untuk menentukan arah masa depan Kota Tasikmalaya.
Di balik harapan untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan positif, ancaman praktik politik uang (money politics) tetap menjadi isu krusial yang harus diwaspadai. Politik uang tidak hanya merusak prinsip demokrasi yang adil dan jujur, tetapi juga mengancam integritas proses pemilihan itu sendiri.
Praktik politik uang (money politics) di Kota Tasikmalaya mencerminkan masalah serius dalam proses demokrasi yang seharusnya jujur dan adil. Sebagai seorang kriminolog, saya berpendapat bahwa “politik uang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak integritas sistem demokrasi itu sendiri”. Bentuk-bentuk politik uang (money politics) sangat bervariasi dan dapat terjadi dalam berbagai tahapan proses pemilihan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti: pembagian uang tunai atau yang dikenal di masyarakat yaitu “serangan fajar”, pembagian barang atau hadiah (sembako, pakaian, alat-alat rumah tangga, atau barang lainnya yang dapat menarik simpati pemilih), pembiayaan kegiatan sosial atau acara publik (pesta, pertandingan olahraga, atau acara keagamaan, dengan harapan mendapatkan dukungan dari peserta atau masyarakat yang hadir), transportasi gratis, pembayaran untuk kelompok pemilih atau tokoh masyarakat, dan janji atau komitmen materi setelah pemilihan. Dengan menggunakan pendekatan teori kriminologi dan analisis peraturan perundang-undangan, kita dapat memahami bagaimana politik uang (money politics) merupakan bentuk kejahatan yang memiliki konsekuensi besar terhadap stabilitas politik dan kualitas kepemimpinan di daerah.
Dari sudut pandang Teori Strain Robert K. Merton, politik uang (money politics) dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi ilegal individu atau kelompok terhadap ketidakmampuan mencapai tujuan politik yang sah melalui jalur yang legal. Para calon politisi yang tidak yakin dengan popularitas atau kemampuan mereka untuk menang dengan cara yang sah, memilih untuk menggunakan uang sebagai alat untuk “membeli” suara. Ini menciptakan ketegangan dalam sistem demokrasi yang pada hakikatnya dirancang untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang, sehingga menjadikan kompetisi politik tidak adil.
Teori Differential Association yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland juga relevan dalam menjelaskan penyebaran politik uang. Dalam teori ini, Sutherland menekankan bahwa perilaku kriminal, termasuk praktik politik uang, dipelajari melalui interaksi dengan orang lain yang mempraktikkan perilaku serupa. Dengan demikian, jika politik uang dianggap normal atau diterima dalam lingkungan politik di Kota Tasikmalaya, maka politisi baru atau generasi muda calon pemimpin akan lebih cenderung meniru praktik ini, yang memperparah siklus korupsi politik di daerah tersebut.
Selain itu, Teori Kontrol Sosial yang dikemukakan oleh Travis Hirschi dapat membantu kita memahami mengapa sebagian politisi memilih untuk melanggar aturan. Hirschi berpendapat bahwa individu yang tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan norma-norma sosial yang berlaku cenderung melakukan tindakan yang melanggar hukum. Dalam konteks politik uang, politisi yang tidak memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai demokrasi, atau yang merasa tidak terikat dengan integritas politik, akan lebih mudah tergoda untuk menggunakan uang sebagai cara mencapai kekuasaan.
Dalam perspektif peraturan perundang-undangan, politik uang secara tegas diatur dalam Pasal 187A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Sayangnya, meskipun regulasi ini jelas, praktik politik uang masih marak terjadi di banyak daerah, termasuk Kota Tasikmalaya. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara peraturan yang ada dan pelaksanaan penegakan hukumnya di lapangan.
Sistem hukum yang lemah dalam menindak praktik politik uang semakin memperparah kondisi ini. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan seringkali diskriminatif, di mana pelaku politik uang (money politics) yang memiliki kedekatan dengan aparat penegak hukum atau elite politik sering kali lolos dari hukuman, menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap sistem peradilan. Hal ini berkontribusi pada rendahnya partisipasi politik warga, karena mereka merasa bahwa suara mereka tidak akan mempengaruhi hasil pemilihan jika politik uang terus menjadi norma.
Politik uang juga dapat dianalisis melalui pendekatan Teori Fungsionalisme Struktural. Menurut pandangan ini, setiap elemen dalam masyarakat, termasuk politik uang, memiliki fungsinya masing-masing dalam mempertahankan stabilitas sosial. Namun, dalam konteks politik uang, fungsinya bersifat disfungsional karena merusak proses demokrasi dan mengganggu integritas politik. Di Kota Tasikmalaya, politik uang (money politics) menyebabkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi politik dan mengancam kohesi sosial dengan menciptakan kesenjangan antara pemimpin dan rakyat.
Kehadiran politik uang (money politics) juga memiliki dampak jangka panjang terhadap kualitas pemerintahan. Pemimpin yang terpilih melalui politik uang cenderung lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang mendanai kampanye mereka daripada melayani kepentingan rakyat. Ini memperkuat budaya korupsi dan nepotisme yang menghalangi pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Di Kota Tasikmalaya, hal ini dapat terlihat dari kebijakan-kebijakan yang tidak efektif dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Jika kita melihat dari perspektif Teori Pilihan Rasional, praktik politik uang bisa dianggap sebagai pilihan yang rasional bagi aktor politik yang ingin memaksimalkan keuntungan pribadi. Mereka melihat bahwa risiko terjebak dalam tindakan ilegal ini relatif kecil dibandingkan dengan potensi keuntungan yang mereka dapatkan jika terpilih. Tanpa penegakan hukum yang kuat, para politisi ini akan terus melihat politik uang (money politics) sebagai investasi yang menguntungkan, meskipun itu berarti mengorbankan demokrasi.
Politik uang juga menciptakan lingkungan politik yang tidak sehat, di mana kompetisi politik tidak lagi didasarkan pada ide-ide dan program kerja yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melainkan pada siapa yang memiliki sumber daya finansial terbesar. Hal ini membatasi ruang bagi politisi yang jujur dan berkompeten, tetapi tidak memiliki dukungan finansial yang besar, untuk bersaing secara adil. Akibatnya, pemimpin yang terpilih bukanlah yang terbaik, melainkan yang memiliki modal terbesar.
Sebagai kriminolog, saya juga melihat bahwa politik uang (money politics) tidak hanya merusak demokrasi dari segi kualitas kepemimpinan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang lebih luas. Politik uang menciptakan budaya ketergantungan, di mana masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan visi atau misi kandidat, tetapi karena insentif materi yang mereka terima. Ini mengurangi kesadaran politik dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi.
Dalam jangka panjang, politik uang (money politics) di Kota Tasikmalaya dapat menciptakan siklus korupsi yang berulang. Pemimpin yang terpilih melalui politik uang cenderung menggunakan posisinya untuk mengumpulkan kembali modal yang telah dikeluarkan selama kampanye, baik melalui praktik korupsi, nepotisme, atau penyalahgunaan anggaran. Ini memperparah masalah kemiskinan, ketimpangan, dan stagnasi pembangunan di daerah tersebut.
Untuk menghentikan praktik politik uang, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten sangat penting untuk memberikan efek jera. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga harus ditingkatkan agar mereka memahami pentingnya memilih berdasarkan program kerja, bukan uang. Media juga berperan penting dalam mengawasi dan mengungkap praktik politik uang, sehingga masyarakat dapat lebih waspada terhadap kandidat yang menggunakan cara-cara ilegal untuk memenangkan suara.
Dalam hal ini, kerjasama antara berbagai pihak—aparat penegak hukum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), masyarakat sipil, dan media—sangat diperlukan untuk mencegah dan menindak pelaku politik uang. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita dapat berharap bahwa praktik politik uang di Kota Tasikmalaya, dan Indonesia pada umumnya, dapat diminimalisir, sehingga demokrasi yang sehat dan bermartabat dapat terwujud.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa politik uang adalah ancaman serius bagi demokrasi yang merusak integritas sistem politik, memperburuk kualitas kepemimpinan, dan menciptakan siklus korupsi yang sulit dihentikan. Tanpa tindakan tegas dari semua pihak yang terlibat, praktik ini akan terus menghancurkan fondasi demokrasi di Kota Tasikmalaya dan banyak daerah lainnya di Indonesia.
Penulis:
Robi Assadul Bahri, S.H., M.H.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Galunggung
085722114392
bahrirobi@gmail.com