Meretas Batas Perubahan

Separuhnya kesuksesan adalah keberanian memulai sebuah perubahan sekecil apapun itu

Pendidikan152 Dilihat

1990

Masa-masa pubertas benar-benar membutakan Aku tentang banyak hal. Tidak ada rasa mengerti tentang rasa takut, rasa tanggung jawab, apalagi rasa menghargai kepada guru. Bagi anak-anak yang baik, nongkrong di terminal, bolos, kebut-kebutan, ribut di kelas adalah hal yang sangat buruk dan haram untuk dilakukan. Guru mengajar wajahnya hanya lewat saja,  bagaikan sketsa lukisan pasir yang mudah pudar diterpa hembusan bibir. Suaranya samar terdengar, seolah-olah sudah diatur sensor bathin untuk reda di telinga kita masing-masing. Penjelasan materi guru di kelas, telah diburamkan oleh atensiku kepada yang lain. Menghapal akord gitar, menulis lagu baru, atau ngobrol dengan kawan-kawan barisan paling  belakang, itu lebih berkesan daripada mendengar uraian sejarah tentang neolitikum, megalitikum, bla-bla dan bla-bla.

Aku benar-benar tersesat dalam rimba pubertas yang makin ganas. Bermain musik, menonton konser GodBless, Nicky Astria, dan artis hebat lainnya di masa itu, menjadi agenda penting dari sekadar belajar. Ngebut sekencang-kencangnya tanpa lampu di malam hari, menghabiskan malam di perjalanan hingga pagi, menjadi ruang-ruang kebahagiaan yang tidak bisa dihindari. Kawan di jalan adalah kehidupan, kawan di jalan adalah keluarga yang tak terpisahkan. Itulah rimba pubertas dengan segala kebodohanku yang pernah terjadi. Meskipun hanya setahun, tapi masa-masa itu mampu menenggelamkan potensiku pada lautan kegagalan yang memalukan. Bayangkan saja, buku hanya satu yang digulung terselip di kantong celana pensilku saat itu. Semua disempurnakan dengan cerita cinta yang kulabuhkan. Setiap hari lebih banyak memelihara rasa rindu, berfantasi dengan wanita istimewa yang dominan ada di hati. Tak ingat belajar, tak sadar cita-cita akan kemana suatu saat nanti.  Ada lima nilai merah di semester 1 dan 2  menjadi berita tak berguna untuk Mak dan Babah yang tak pernah tahu Aku akan seperti itu. Semua sempurna menjadi potret buram, setahun perjalanan menjadi Anak jalanan berseragam putih abu-abu.

        Langit tak pernah bercerita tentang dinginnya hujan, deras air tak pernah peduli dengan batu yang lelah terkikis sepanjang hari. Demikian pula Aku dan anak-anak pubertas saat itu. Kami  tak kuasa berada di masanya, kami  tak memiliki kekuatan untuk  sadar dari rentannya sebuah perjalanan saat itu, tak ada yang mampu membuka pintu hati kami, tak ada yang peduli untuk berselancar di derasnya gelombang gerakan kami. Kami butuh guru sebagai sahabat di sekolah, kami butuh guru yang ikhlas masuk  ke dunia kami meskipun hanya sebentar saja.

Pagi itu adalah pagi yang terlalu berat untuk diceritakan kembali, peristiwa yang memalukan,  tapi menjadi awal Aku mampu meretas sebuah perubahan. Kami dikumpulkan di depan,  di barisan yang berbeda dengan anak lainnya. Pak Sukma dengan lantang berbicara dengan nada menekan  dan tatapan tajam terarah kepada kami.  “Perhatikan oleh kalian semua!!

“Teman kalian yang ada di depan ini, adalah anak-anak yang tidak layak untuk dicontoh, anak-anak yang sulit meraih masa depannya.”

Satu persatu, kata demi kata yang bersumber dari suara Pak Sukma merobek jantung, memicu aliran darah menjadi amarah yang terpendam dalam dada Aku dan kawan-kawan. Dalam ketidakberdayaan sebagai murid yang terhakimi karena telah melanggar untuk kesekian kalinya terjadi di sekolah. Rasa dendam lebih dominan hadir memenuhi rasa di jiwa kaula mudaku saat itu, tak ada suara bijak yang masuk di antara belukar masa-masa pubertas yang begitu terjal kami lalui. Tidak ada kelembutan kata yang masuk di hamparan hingar bingar kami para kaula muda yang tengah berada di persimpangan jalan perubahan.            Suara Pak Sukma penuh tekanan di lapangan upacara terus merasuk, mengalir deras dalam lintasan bathin. Butiran keringat sudah separuhnya menyapa kepala hingga  kening. Keringat terus bersemangat mengaliri seluruh badan. Punggung terisi barisan basah penuh peluh, kepala dipaksa tengadah kepada tiang bendera sebagai hukuman,  karena kami adalah pelaku bolos Sabtu pagi kemarin.

Aku dan tujuh kawan kawanku terus tegak berbaris, tak ada rasa takut, yang ada kami menikmati dan merasa bangga berada di tempat yang berbeda.   Semakin guru berkata kasar dan liar tanpa arah mengumbar amarah, semakin berteriak bathin kami, tertawa lucu dan puas melihat Bapak guru yang kehilangan wibawa, karena telah kalah menjadi pribadi yang sabar menghadapi murid-murid bermasalah seperti kami. Guru marah adalah target kami, dipisahkan dalam barisan upacara itu adalah misi kami, karena kami ingin beda, ingin punya panggung, karena pubertas adalah panggungnya eksistensi anak-anak seperti kami. Itulah yang tidak disadari para guru saat itu. Mereka berkhidmat pada kebenaran yang absolut, mereka tak mau mencari sisi lain, untuk mencari kunci bagaimana masuk ke dunia kami. Dunia kami sempit tapi luas, dunia kami beda tapi seru, itulah Pubertas.

Aku terus mengikuti langkah cepatnya Pak Suparno, sambil membawa gitarku, dia terus menerobos lorong kelas yang penuh dengan pandangan anak-anak  kepadaku. Warga sekolah sudah pasti bisa menebak, Charles kena hukum lagi.

Pubertas adalah ruang kolaborasi rasa, membersamai, membangun rasa nyaman di antara kita, membangun saling pengertian, baru bisa kita menemukan satu frekuensi yang sama untuk memulai sebuah pembicaraan. Itu yang ingin Aku tegaskan kepada siapa saja yang sedang menghadapi anak-anak pubertas sepertiku saat itu.

      Besarnya gelombang bukan untuk dilawan, tetapi dinikmati arusnya agar dapat bertemu dengan indahnya pantai. Itulah kalimat yang tepat untuk Aku sampaikan kepada guru terbaikku Pak Suparno. Beliau tidak melawan arus deras gelombang remajaku sebagai anak yang sering melanggar. Beliau berhasil memulai dari sisi lain, berbicara kepadaku bukan sebagai anak yang sedang melakukan kesalahan. Sangat tidak Aku duga apa yang dia lakukan kepadaku saat itu. Di warung samping sekolah, jauh dari keramaian anak-anak, karena semuanya sedang belajar di kelas. Aku masih ingat beliau mengambil 5 bala-bala (bakwan) ukuran besar lengkap dengan saosnya.

“Ayo Charles dihabisin masih anget!” Pak Suparno membuatku bahagia dan bangga karena dia memanggilku dengan nama julukan yang sering digunakan genkku. Wah buatku ini adalah sebuah kehormatan dan pengakuan.

“Iya Pak, makasih Pak.”  Dengan bangga dan bahagia aku membuka suara sambil mengambil satu balabala hangat  yang tidak akan aku sia-siakan itu.

“Apakabar Emakmu Charles, saya sangat kagum sama Emakmu.”“Kamu harus bisa menjaga mimpinya Mak, beliau ingin kamu jadi Sarjana.”

Ketika Pak Suparno memulai pertanyaanya tentang Emak, Perlahan indera bathinku terbuka, frekuensi suara hatiku memberikan sinyal untuk bisa mendengar nasihatnya. Beliau membawaku ke logika kehidupan yang sangat matematis, pendekatan probabilitasnya tentang masa depanku diurai dengan presisi dan kalkulasi yang sangat baik. Aku baru menemukan guru matematika yang sangat pandai mengolah rasa murid nakal seperti Aku ini. Bagiku Pak Suparno adalah Guru Mulia, guru yang selalu berusaha bahagia melihat benar salah, selalu dalam kesabaran untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan muridnya, karena  Dia tahu kami adalah anak-anak yang sedang belajar memulai kehidupan.  “Kita orang sederhana Charles, Emakmu hanya mengandalkan berjualanan nasi.”

“Semua ada akhirnya, kamu tidak boleh malas!”

“Emak ingin kamu bisa menjadi sarjana.”

“Guru lain mungkin banyak yang meragukan kamu, tapi saya tidak.”

“Kamu anak yang masih punya potensi.”

“Jangan gengsi berubah, jangan malu kalau kamu punya tujuan berbeda dengan mereka.”

Pak Suparno terus menyampaikan nasihatnya yang sangat logic, dengan berbagai perspektifnya sebagai orang yang pernah menikmati manis pahitnya kehidupan orang sederhana yang ingin hidup lebih baik.

“Charles, menyadari kelemahan diri adalah kekuatan sejati,’”

kamu tidak boleh miskin karena kemalasanmu.”

“Hidup sederhana saja sudah sangat sulit,” apalagi menjadi orang yang gagal karena mengabaikan nasihat orang yang sangat percaya sama kamu.”

Itulah kalimat terakhir yang beliau sampaikan, Pak Suparno perlahan menghilang dalam tatapanku penuh kesan, meninggalkan jejak di bathin yang sangat mendalam. Meninggalkan Aku dengan beberapa  potong bala-bala yang sejak tadi aku sudah tak sabar menikmatinya, terima kasih Pak Suparno atas waktumu di siang itu, siang yang menjadi awal perubahanku untuk bisa menjadi seperti saat ini. Bapak adalah guru terbaik yang selalu membangun frekuensi kebaikan, guru yang selalu membangun komunikasi dari kebiakan muridnya, selalu berbicara untuk kepentingan masa depan, dengan suara yang kuat dari dalam bathinnya. Suaranya keras dan tegas. ada emosi yang menekanku, namun isinya hal-hal baik, penuh keberpihakan yang menguatkan. Nasihatmu sampai ke hati, karena ada ketulusan, mulai berbicara dari suara yang baik dan nyaman.

  Kesalahan selalu menjadi bagian terbesar untuk menjadi yang terbaik di jalan yang berbeda. Ketika banyak orang yang melemahkan dengan segala prasangka, dan kita dipersalahkan atas apapun,  berbahagialah karena dengan cara itu kita semakin berkomitmen dalam kebaikan. Kelemahan kita adalah menikmati dan percaya saat orang mengatakan kita lemah, percaya bahwa ketiadaan itu menjadi sebuah alasan sempurna untuk tidak bisa berpikir lebih baik. Padahal di sekitar kita banyak orang yang sukses karena ketiadaannya, karena kesalahannya di masa lalu  dan mereka lebih berani berpikir dan bekerja keras untuk memulai sebuah perubahan.

Banyak orang tidak siap dengan kata kembali, padahal kembali itu  begitu banyak menitipkan pesan dan sesuatu yang akan diraih. Banyak pencapaian besar dari banyak orang, karena mereka begitu tegas pada dirinya untuk kembali. Kembali dari nol untuk semangat memperbaiki beberapa kekeliruan di masa kemarin, atau kembali mencoba hal-hal baru untuk bisa lebih baik.  Saat itu Aku yakinkan pada diri sendiri “tidak ada alasan bagiku menghianati Makhluk Allah yang agung yang bernama Ibu di dunia ini, tidak ada alasan bagiku menghianati Pak Sutarno Guru Mulia yang sangat logis mengatakan “Kalau kamu memilih malas, maka kemiskinan adalah hal terdekat yang akan kamu temukan di masa depan.” Daya pembeda antara ikhtiar dan kesuksesan adalah totalitas. Itulah yang harus Aku yakinkan pada diri saat memulai sebuah perubahan. Total meninggalkan kebiasaan buruk dari hal yang kecil dan paling sederhana. Perubahan kecil menuju hal yang baik, itu lebih hebat dari pada menumpuk, memaklumi kesalahan kecil  yang terjadi, dan  pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan menciptakan dosa besar.

Aku putuskan berhenti total menjadi anak motor, anak band, termasuk berhenti total mencintai gadisgadis cantik yang pernah aku singgahi di sekolah dan di kampung. Aku memulainya dengan mendekatkan diri kepada Allah, bergabung dengan pengajian bapak-bapak di mushola Kakek di belakang rumah sampai bada Isya setiap hari. Sengaja aku lakukan agar aku bisa keluar dari cyrcle yang sangat kuat di lingkungan rumah. Aku sudah pasrah dijulukin Anak Katro, Anak Kampung, dan sebutan lainnya. Aku sudah mampu untuk tidak peduli. Satu hal yang berhasil aku dapatkan saat itu adalah sebuah pemahaman bahwa “Menjadi sukses dan bahagia itu adalah pilihan kita di hari ini untuk masa datang. Waktu, dan orang lain tidak pernah mengerti dan membantu kita saat kita menjadi orang yang gagal.

Shalat lima waktu tidak pernah aku tinggalkan, selalu di mesjid berjamaah sampai Isya. Pulang sekolah membantu Emak di warung nasi, sambil merangkum materi yang diberikan bapak dan ibu guru di sekolah. Aku stabilo materi penting sebagai bahan materi yang aku rekam di tape reccorder saat itu. Menggunakan kaset kosong berdurasi 120 menit. Aku merekam semua materi pelajaran Ujian Nasional dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) menjelang tidur. Aku dengarkan rekaman itu berulang-ulang sampai suara di kaset itu sudah tidak stabil lagi. Aku ulangi sepanjang malam dengan materi yang bergantiganti sesuai persiapan ulangan atau ujian saat itu.  Aku membuatnya dengan fasilitas seadanya yang ada  di tape recorder jadul saat itu. Tak ada teknologi digital seperti sekarang, tak ada voice memos, voice note di handphone seperti kalian di jaman sekarang. Tidak ada Mbah Google untuk mengeksplore Ebook dan Video pembelajaran di youtube, yang ada semangat untuk sebuah perubahan penting. Keterbatasan bukan sebuah alasan penting untuk bisa menciptakan hal-hal baik untuk perubahan kebaikan.

Ada kegundahan yang hebat saat itu, Emak tidak setuju Aku mengambil Hubungan Internasional. Emak menyuruhku untuk menjadi guru saja.

“Emak gak ngerti itu jurusan Hubungan Internasional”

“Sudah jadi guru saja, biar langsung kerja”

“Di kampung kita banyak sarjana  yang nganggur, udah nurut sama Emak, jadi guru saja yah, kamu pasti akan bahagia, kalau nurut sama Emak.”

        “Ridha Allah terdapat dalam ridhanya kedua orangtua (ibu bapak) dan murka Allah terdapat dalam murkanya kedua orang tua” HR At-Tirmidzi. Itulah dasar keyakinanku untuk mengikuti saran Emak. Aku tidak menyesal, telah memilih kuliah di Fakultas  Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Fakultas yang bukan pilihanku, bukan cita-citaku. Aku memilih meyakini apa yang disampaikan Emak tentang masa depan. Aku bulatkan tekad menikmati kuliah untuk menjadi guru, pola belajar di SMA masih terus digunakan saat menyelesaikan semua studi di kampus. Dengan berbekal pernah menjadi anak gaul saat di SMA, disertai dengan bekal kesolehan di setengah perjalanan masa SMA, kuliah di kampus tidak menemukan tantangan yang sulit. Alhamdulillah S.1 selesai 3,5 tahun, disempurnakan dengan  beasiswa Super Semar dan Ibu Tri Sutrisno (Wakil Presiden RI). Emak dan Babah duduk di kursi VIP bersama para menteri sebagai tamu undangan kehormatan kampus saat wisuda sarjanaku. Aku diberi kesempatan berbicara di podium mewakili wisudawan di kampusku saat itu.

“Terima kasih Emak dan Babah, atas perjuangan hebat kalian Aku berada di podium ini, untuk mengucapkan rasa terima kasih, untuk membuktikan bahwa Aku bisa berubah, dan menjadi kebanggaan kalian dan keluarga. Hari ini aku berjanji, untuk menjadi guru sesuai dengan keinginan Emak dan Babah. Menjadi guru yang bahagia dengan pengabdian dan karya-karya terbaiknya. Saat itu mengalir deras air mata Emak, jelas aku melihatnya. Dia memegang togaku, memelukku.

“Biar jadi orang sukses ya Chaq” Biar cepet dapet kerjaan ya. Biar seneng hidup lu ya. Itulah doa-doa sederhana Emak dengan bahasa Betawi pinggirnya.

25 tahun Aku telah menjadi guru, apa yang Emak katakan bahwa menjadi guru kamu akan bahagia. Semua terbukti tak berkurang suatu apapun. Murid-murid yang pernah bersamaku di kelas telah menjadi anak-anak yang berhasil. Dosen, guru, pengusaha, artis terkenal, tentara,  dokter dan profesional, lainnya. Aku bukan hanya menjadi guru, atas doa-doa kedua orang tua, banyak talenta yang ditemukan, karena begitu banyak orang baik membersamai dalam perjuangan. Aku bisa menulis buku inspirasi ini, dan beberapa talenta movie maker yang berawal dari hoby tapi bisa menambah pendapatan. Aku bisa menjadi Motivator Sahabat Perubahan yang semangat berbagi perubahan dengan anak-anak Indonesia yang hebat. Aku bahagia, begitu banyak orang yang bersemangat membahagiakanku, para hamba Allah memberikan berbagai pendidikan untuk sebuah profesionalitasku sebagai seorang guru. Aku bahagia memiliki keluarga sempurna. Istri tercinta yang luar biasa dalam kebersamaan dalam perjuangan, dan anak-anakku yang hebat dengan pencapaian keberhasilannya masing-masing.

Aku hanya bisa menegaskan kapada siapa saja yang kini berada di zona apapun. Perubahan adalah pilihan, semangat memulai perubahan akan mengantarkan kita  pada suatu yang membahagiakan. Saya hanya ingin membantu meyakinkan  orang-orang yang masih ragu terhadap potensi dirinya. Sukses itu bukan hanya milik orang yang cerdas, tapi milik orang yang berani mengeraskan dirinya untuk sebuah perubahan. Sukses itu dalam genggaman orang-orang yang berani keluar dari zona nyaman, orang-orang yang pernah berada dalam rangkaian kegagalan.

         Allah telah menyiapkan apa yang kita inginkan, jangan menundanya dengan keraguan dan prasangka. Banyak orang yang berkata mengalir saja seperti air, tapi tidak  banyak yang merasakan perjuangan air untuk mengumpulkan kekuatan saat batu besar mencoba membendung arusnya. Banyak orang tidak siap dengan kata kembali, padahal kembali itu  begitu banyak menitipkan pesan dan sesuatu yang akan diraih. Banyak pencapaian besar dari banyak orang, karena mereka begitu tegas pada dirinya untuk kembali. Kembali dari nol untuk semangat memperbaiki beberapa kekeliruan di masa kemarin, atau kembali mencoba hal-hal baru untuk bisa lebih baik. Rasulullah mengatakan dalam hadisnya, “Orang beriman tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Cara terbaik mendekatkan kesuksesan dengan melengkapkan diri menjadi satu bagian penting untuk  sebuah tujuan mulia.

Kali Maya Cianjur 2023, Sahabat Perubahan

Penulis: C Saripudin, SPd, MM, CHMP. Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP-UNSIL. Pernah mengajar di Universitas Siliwangi 1996-1998. Saat ini bertugas Kepala Sekolah SMPI Al Azhar 20 Cianjur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *