Menjadi Federalis di Negara Unitaris, Menggali Wacana Kebangsaan Sutisna Senjaya

Sejarah43 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Selepas salat Jumat, saya dihubungi Pak Iip   Yahya lewat WhatsApp. Beliau mengajak saya menghadiri suatu pertemuan di kantor PCNU Kota Tasikmalaya, Jalan Dr Soekardjo No 047.  Dari poster undangan yang dibagikan, pertemuan yang digelar 21 Juni 2025 itu hendak mendiskusikan soal kemungkinan Sutisna Senjaya (Sutsen) untuk diusulkan menjadi calon Pahlawan Nasional. Acaranya terbuka untuk umum dan Pak Iip bertindak selaku narasumbernya.

Seingat saya wacana pengusulan Sutsen sebagai calon Pahlawan Nasional sempat bergulir di awal 2022. Dari Pak Iip juga kabar itu dulu saya ketahui. Tapi baru sebatas pembicaraan di internal teman-teman PCNU saja, katanya. Baru belakangan wacana ini akhirnya dirilis untuk publik.

Usaha PCNU Kota Tasikmalaya tentu patut diapresiasi. Setidaknya usaha tersebut menjadi langkah kecil yang berpotensi memantik diskusi dan pendalaman lebih lanjut tentang ketokohan Sutsen yang kajian akademisnya terbilang masih minim.

Sutsen yang namanya sudah diabadikan jadi nama jalan di pusat Kota Tasikmalaya itu dulunya dikenal sebagai seorang aktivis pergerakan. Ia tergabung bersama organisasi Paguyuban Pasundan dan pernah menjadi Ketua NU Tasikmalaya tahun 1930-an. Pada masa pendudukan Jepang, ia pernah dipercaya menjadi anggota Syu Sangikai, Chuo Sangi-in, dan Ketua Badan Penolong Keluarga Korban Perang Priangan dan Tasikmalaya. Lalu pada pertengahan 1950-an, Sutsen terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis).

Sutsen juga dikenal sebagai sosok berpengaruh dalam dunia jurnalistik Sunda. Sejumlah surat kabar berbahasa Sunda pernah ia nahkodai, mulai dari Pasoendan (1919-1921), Siliwangi (1921-1922), Langlajang Domas (1927-1928), majalah Al-Mawa’idz (1933), hingga Kalawarta Kudjang (1956). Koran Sipatahoenan (1923-1929) yang ia pimpin dan bidani tampil menjadi media perjuangan sekaligus corong politik masyarakat Sunda pada masanya.

Rekam jejak Sutsen dalam dunia jurnalistik dan pergerakan tak perlu diragukan. Ia termasuk tokoh yang konsisten membela hak dan kepentingan masyarakat pribumi, khususnya orang Sunda.

Namun, banyak orang melewatkan kontribusinya dalam proses dialektika pembentukan keindonesiaan. Bagi saya bagian ini menarik untuk dibincangkan karena menjadi sisi “kontroversi” dari ketokohan Sutsen yang hingga sekarang masih jadi perdebatan.

Di medio 1950-an, Sutsen pernah dicap sebagai seorang federalis. Usulannya tentang negara serikat dianggap tak sejalan dengan Soekarno dan PNI sebagai partai pemenang Pemilu 1955 yang menghendaki negara kesatuan (unitarisme). Pada saat itu, cap federalis berkonotasi negatif, kontra revolusioner karena dianggap menghidupkan lagi nuansa adu-domba Belanda.

Labelisasi politik tersebut terus melekat dan tak ayal menimbulkan kontroversi hingga hari ini. Lantas, muncul pertanyaan, apakah preferensi politik Sutsen di medio 1950-an ini serta-merta menghapuskan kontribusi besarnya selama era pergerakan kemerdekaan?

Tentu kita tak bisa melakukan penghakiman sepihak terhadap Sutsen tanpa memahami konteks dinamika sosial-politik pada era itu. Kita juga tak berhak melabeli gagasannya sebagai bentuk kejumudan berpikir tanpa menggali lebih lanjut motif apa yang ia ingin wujudkan sebagai representasi pergumulan intelektualitasnya.

Memasuki dekade 1950-an, situasi politik di Indonesia morat-marit pasca-perang revolusi yang berlarut-larut. Tidak meratanya distribusi politik dan ekonomi memantik gelombang protes di berbagai daerah. Legitimasi terhadap pemerintah pusat perlahan luntur dan puncaknya terjadi saat krisis ekonomi makin tampak memasuki 1956. Muncul satu anggapan di daerah bahwa segala kekacauan ini adalah buntut dari kelalaian umum Jakarta.

Saat riak-riak protes di berbagai daerah menyeruak, ide federalisme yang sudah dikubur Soekarno kembali mencuat. Kekuatan besarnya terdapat di luar pulau Jawa.

Di Jawa Barat, ide federalisme juga disuarakan oleh para pemuda, terutama yang tergabung dalam Front Pemuda Sunda (FPS). Munculnya ide tersebut mula-mula dipantik oleh kekecewaan mereka terhadap pemerintah pusat yang mengelompokkan masyarakat Jawa Barat ke dalam dua golongan, yaitu non-co dan co. Pengelompokkan tersebut diikuti pula dengan desakan pergeseran kedudukan di pemerintahan bagi orang-orang yang dianggap co secara tidak etis dan tanpa pemeriksaan.

Merespons persoalan tersebut, digelarlah Kongres Pemuda Sunda pada 4-7 November 1956. Dalam kongres tersebut para pemuda bersepakat untuk mengusulkan bentuk negara serikat alih-alih kesatuan sebagai solusi atas gejolak yang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Jawa Barat. Aspirasi para nonoman ini kemudian diperkuat melalui Konferensi Kesundaan dan Tokoh-tokoh Sunda pada 2 Desember 1956 di Bandung.

Dalam konferensi tersebut Sutsen tampil menjadi pembicara utamanya. Dalam pidatonya yang dimuat Kalawarta Kudjang (Des, 1956), Sutsen mencurahkan segala keresahannya. Menurutnya pemerintah pusat telah gagal mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian bagi rakyatnya. Meluasnya ketimpangan di banyak aspek kehidupan menunjukkan jika kemerdekaan yang sudah berumur 11 tahun itu seolah tak ada artinya. Ia juga menyoroti perpecahan di berbagai daerah sebagai bukti hilangnya otoritas, kewibawaan, dan kedaulatan negara di tengah rakyat.

Bagi Sutsen persatuan adalah suatu keharusan. Namun, tetap harus proporsional.  Menurutnya jangan sampai yang penting disatukan dalam satu ikatan, tapi rakyatnya tidak pernah merasa diikat karena ketidakpercayaan dan kekecewaan.

Sutsen meminta agar pemerintah mau mempertimbangkan usulan para nonoman tentang susunan negara serikat untuk menumbuhkan kembali rasa persatuan, kepercayaan dan keadilan. Pada faktanya negara tunggal menurutnya belum mampu mengakomodasi kehendak rakyat Indonesia yang beranekaragam.

Ide federalisme sebetulnya bukan hal baru bagi Sutsen. Jika kita ikuti kiprahnya, gagasan ini sudah ia suarakan jauh sebelum menjadi agenda politik para aktivis Sunda. Wacana kebangsaan yang ia gagas tahun 1918, misalnya, sudah memuat inti-inti federalisme. Hanya saja saat itu konsepsi tersebut terbilang masih asing, termasuk bagi Sutsen sendiri yang tidak membicarakannya secara gamblang.

Tulisan Sutsen berjudul “Panoehoen” yang dimuat koran Padjadjaran, 14 September 1918, mendiskusikan wacana kebangsaan yang bertumpu pada heterogenitas sosiokultural. Persatuan yang ideal menurutnya adalah ketika (suku) bangsa yang heterogen itu dapat bekerja sama tanpa menanggalkan identitasnya yang sudah lama tinggal. “Maka dari itu, setiap (suku) bangsa di Tanah Hindia tak bisa dipaksa agar seragam. Biarkan mereka berkontribusi dengan caranya sendiri untuk mewujudkan persatuan dan kemajuan bersama,” ujarnya.

Tulisannya berjudul “Sparatisme?” yang dimuat Sipatahoenan, 14 Juli 1925, mempertajam gagasan tersebut. Sutsen menegaskan bahwa konsekuensi dari heterogenitas adalah adanya otoritas bagi setiap (suku) bangsa dalam mengelola dan memajukan tanah airnya masing-masing. Sebab, ia percaya bahwa yang paling memahami kebutuhan suatu bangsa adalah (suku) bangsa itu sendiri. “Biarkan orang Sunda bertanggung jawab atas segala permasalahan di tanah Sunda, begitu pun dengan persoalan (suku) bangsa lain, seperti Jawa, Madura, Bali, dan Bugis merupakan tanggung jawab bangsanya masing-masing,” pungkasnya.

Wacana kebangsaan yang disuarakan Sutsen kemudian menjadi visi politik Paguyuban Pasundan (PP) pada 1930-an. Dalam kongresnya ke-16 di Bogor, 4–5 April 1931, PP membahas secara khusus masalah uni dan federasi. Tujuannya adalah untuk menimbang jalan mana yang mesti ditempuh oleh PP dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Merdeka. Kongres ini menghasilkan suatu resolusi bahwa PP akan menempuh jalan federasi untuk membangun persatuan dalam mewujudkan kemerdekaan.

Resolusi tersebut lantas menjadi cita-cita bersama anggota PP, termasuk Sutsen yang konsisten menyuarakan wacana tersebut hingga masa kemerdekaan.

Dalam sidang-sidang Konstituante, Sutsen terus mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan ide negara serikat yang diusulkan sejumlah daerah, termasuk di Jawa Barat. Sutsen tak setuju jika usulan tersebut adalah bentuk dari sentimen kesukuan dan kedaerahan sebagaimana dituduhkan pemerintah. “Dapat saya katakan, bahwa di dalam negara kesatuan pun kesukuan/kedaerahan itu tetap ada. Justru sebaliknya, Saudara Ketua yang terhormat, tindakan Pusat negara kesatuan yang tidak bisa meraba-raba isi dada daerah, yang tidak jarang membangkitkan sentimen-sentimen kesukuan itu,” ucap Sutsen dalam pidatonya pada Sidang Konstituante, 25 Mei 1959.

“Kami pun – federalisten – hanya mengakui satu bahasa Negara, ialah bahasa Indonesia, hanya satu bangsa, Bangsa Indonesia, hanya satu tanah air, Negara Indonesia. . . Yang jadi rebutan, hanya cara mengisi kemerdekaan, apakah di hari kemudian negara dalam ciptaan itu berbentuk federalistis atau unitaristis. Tidak diciptakan dua atau tiga negara oleh siapa pun juga,” pungkas Sutsen dalam pidatonya. Lantas, muncul lagi pertanyaan: berdosa kah menjadi seorang federalis di negara unitaris? (Irfal Mujaffar MHum)

Penulis merupakan Dosen Prodi Sejarah FKIP Unsil. Ia lahir di Tasikmalaya, 1993. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Departemen Ilmu Sejarah FIB-UI pada 2022. Saat ini penulis aktif sebagai dosen (CPNS) di Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Unsil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *