RADAR TASIKMALAYA – Partai Politik merupakan “biang” dari pemerintahan di hampir semua negara di dunia saat ini. Mereka menyebarkan anggota-anggotanya di berbagai institusi vital pemerintahan lewat mekanisme pemilihan yang melibatkan rakyat (electoral), baik di eksekutif, legislatif maupun lembaga-lembaga politik lainnya. Hampir bisa dipastikan institusi-institusi tersebut dikuasai oleh “orang-orang partai tadi”.
Oleh karena pemerintahan didominasi oleh “orang-orang partai”, maka segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan di semua level tadi tentunya sangat dipengaruhi oleh kepentingan partai politik.
Kepentingan partai ini merupakan sesuatu yang biasa dalam proses politik ketika memasuki pemerintahan yang ada, dikarenakan akan sangat sulit bagi elit partai mengabaikan kepentingannya dalam jabatan pemerintahan. Problem kemudian adalah ketika kepentingan tersebut tidak selaras dengan kepentingan masyarakat yang dapat memicu apa yang disebut oposisi politik. Istilah oposisi dalam banyak kasus sering disamakan dengan penekan politik (political pressure).
Oposisi Politik dan Demokrasi
Robert A.Dahl (1989) mengemukakan bahwa oposisi dalam negara demokrasi tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi tolok-ukur sehat atau tidaknya negara demokrasi, dikarenakan pada dasarnya konflik tidak bisa dihindarkan dalam urusan manusia. Selain itu juga setiap warga negara memiliki hak inisiatif dan partisipasi dalam membangun pemerintahan yang lebih baik ke depannya. Namun perbedaan cara dan persepsi dalam memajukan pemerintahan akan sangat beragam dan menimbulkan gesekan.
Ilmuwan-ilmuwan politik Barat, termasuk salah satunya Dahl merekam jejak proses demokrasi Eropa, terutama Eropa Barat dan Amerika. Para ilmuwan tersebut memasukan presurre groups sebagai salah satu bagian dari oposisi politik. Grup penekan lebih pada berbagai kelompok yang muncul dimasyarakat yang kecewa dan menekan tapi belum tentu menentang pemerintahan yang ada atau bertujuan mengganti pemerintahan, kebijakan atau personil pemerintahan.
Sedangkan Oposisi politik lebih luas dari itu yakni bertujuan menentang pemerintahan, bisa berupa perubahan total ataupun bisa menolak perubahan yang dibawa pemerintah. Oposisi jenisnya tidak hanya mengganti pemerintahan secara total, tetapi mungkin yang diganti hanya personilnya saja atau kebijakannya saja seperti yang biasa dilakukan oleh presure groups.
Menimbang Kekuatan Oposisi di Indonesia
Dari pemahaman dan batasan tersebut, kita lanjutkan kajian pada oposisi di Indonesia. Pertanyaan sederhananya, adakah oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia? Sebagai contoh kasus misalnya di masa Presiden SBY di mana partai-partai anggota koalisinya dianggap “membelot” dari koalisi gabungan partai besar dalam kasus Century kala itu.
Kubu Demokrat menganggap koalisi sudah final dan para anggotanya harus mendukung dan menguatkan pemerintahan supaya stabil. Namun yang terjadi adalah justru sebaliknya di mana Golkar, Hanura, PKS dan lainnya di Pansus Century lebih banyak menyerang dan menyudutkan pemerintahan SBY bahkan sampai pada wacana pemakzulan, hal ini tentu saja dianggap pihak Demokrat saat itu dianggap “pembelotan” dari janji koalisi.
Di sisi lain, partai-partai koalisi yang dianggap membelot juga mempertahankan pendiriannya, bahwa koalisi jangan dipahami ketat dan kaku. Anggota-anggota koalisi tetap kritis terhadap pemerintahan, karena mendukung bukan berarti diam ketika ada kesalahan dalam pemerintahan.
Selain itu juga, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memang dari awal selalu kontra pemerintah SBY dikarenakan calon presidennya mengalami kekalahan dalam dua Pemilu sebelumnya, mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi.
Untuk mengkaji kasus di atas, ada baiknya kita melihat konsep koalisi, oposisi dan sistem pemerintahan. Saat ini populer dikenal dua sistem pemerintahan utama dan satu sistem Hybrid yakni sistem Presidensial, Parlementer dan Hybrid System.
Dalam sistem Presidensial, presiden dipilih oleh rakyat sebagai pemimpin eksekutif (kepala negara dan kepala pemerintahan), kekuasaan presiden sifatnya fixtem (sudah baku dalam konstitusi dasar negara). Legislatif juga dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Presiden bertanggung jawab pada rakyat lewat Majelis Perwakilan.
Legislatif sulit menjatuhkan presiden, tetapi bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung, lewat berbagai hak yang dimilikinya. Namun dalam kondisi darurat DPR dapat mengajukan ketidakpercayaan untuk menjatuhkan presiden dan disahkan Majelis Perwakilan Rakyat, namun sangat jarang terjadi.
Kedua-keduanya memiliki veto yang sama kuat, sehingga terkadang pengesahan satu undang-undang dalam sistem ini cenderung berlarut-larut. Dalam sistem ini oposisi partai yang cenderung bertujuan mengganti pemerintahan tidak dikenal, namun jikapun ada hanya sifatnya menekan dalam kontra kebijakan.
Dalam sistem parlementer, presiden dipilih oleh rakyat atau untuk di negara dengan sistem kerajaan dipilih oleh majelis tertentu. Kepala pemerintahan dipegang eksekutif dibawah perdana menteri yang justru paling vital karena fungsinya sebagai kepala pemerintahan.
Perdana menteri dipilih oleh parlemen (sejenis legislatif), palemen dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Dalam sistem ini sifatnya fluid (sewaktu-waktu bisa ada perubahan, tidak baku). Oposisi muncul tergantung konstelasi politik, dalam sistem ini partai oposisi diakui eksistensinya dalam negara.
Parlemen bisa dengan cepat menjatuhkan (replace) pemerintahan jika dipandang perlu, karena pemerintahan bertanggung jawab pada parlemen melalui majelis wakil rakyat. Dalam kasus dibeberapa negara penganut sistem ini, seperti Inggris dan beberapa negara Skandinavian, partai-partai oposisi menggelar pemerintahan tandingan (shadow government), lengkap dari perdana menteri sampai menteri-menteri di mana perannya menjadi saingan pemerintah yang sah.
Sedangkan dalam sistem Hybrid, presiden berfungsi sebagai kepala negara, dan berfungsi memilih kepala pemerintahan atau perdana menteri. Perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden dan parlement sama-sama dipilih oleh rakyat. Oposisi dalam model ini terjadi dalam level palemen dan sifatnya hanya pada pertarungan untuk perubahan kebijakan antar kepentingan partai. Model ini dipraktekkan di Prancis.
Dari kajian di atas, terlihat jelas bahwa dalam sistem presidensial seperti negara kita, oposisi hanya dikenal dalam konteks perubahan kebijakan. Oposisi yang kemudian disistemkan dalam sistem demokrasi hanya dikenal dalam sistem parlementer dan menjadi model tersendiri yang diberlakukan di banyak negara.
Oposisi yang tujuan akhirnya menjatuhkan pemerintahan atau personil pemerintahan sangat memungkinkan dilakukan dalam negara yang menganut sistem ini. Sedangkan di Indonesia saat ini kecil kemungkinan untuk dilakukan. Walaupun dapat dilakukan akan tidak mudah, karena sistem presidensial yang memberikan ruang perimbangan kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Jadi jikapun saat ini terdapat partai yang mendeklarasikan oposisi terhadap pemerintahan Prabowo misalnya, oposisi tersebut sifatnya tidak terinstitusi dalam pemerintah, hanya pada flat form sementara partai, yang kebetulan mengalami kekalahan dalam Pemilu oleh partai penguasa. Peran-peran oposisi pun tidak lebih strategis dengan apa yang dilakukan oleh interest groups atau presure groups yang melakukan kritik dan menekan pada perubahan kebijakan ke depannya.
Di sisi lain, dikarenakan oposisi tidak terinstitusi dalam pemerintahan sebagai common enemy-nya koalisi, maka koalisi pun di sistem presidensial tidaklah baku dan tidaklah ketat, karena batasan-batasan suatu partai keluar dari koalisipun tidak terlalu ketat. Sehingga partai-partai peserta koalisi dengan serta merta dapat dengan cepat merubah sikap dan menyerang pemerintah. Lihat kondisi ini pada kasus di masa SBY seperti yang disampaikan di atas tadi.
Ini menjadi penjelasan mengapa Golkar menyerang pemerintah yang merupakan partai penguasa pimpinan koalisi saat itu. Sedangkan di negara dengan oposisi yang ketat seperti dalam sistem parlementer, maka koalisi pun sangat ketat dan jika anggota koalisi melanggar, maka dengan serta merta partai penguasa mendudukkannya sebagai lawan politik atau oposisi. (Subhan Agung MA)
Penulis merupakan dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi